Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Setya Novanto Bebas

Setya Novanto Terpidana Korupsi e-KTP Kini Bebas Bersyarat, Ini Tanggapan KPK hingga Pakar Hukum

Sedang menjadi sorotan publik terkait bebasnya terpidana kasus korupsi e-KTP yakni Setya Novanto.

Editor: Glendi Manengal
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
BEBAS BERSYARAT: Setya Novanto terpidana kasus korupsi KTP Elektronik menjalani sidang peninjauan kembali (PK) di gedung Tipikor, Jakarta, Rabu (28/8/2019). Tanggapan KPK hingga pakar hukum mantan Ketua DPR Setya Novanto kini bebas bersyarat 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Sedang menjadi sorotan publik terkait bebasnya terpidana kasus korupsi e-KTP yakni Setya Novanto.

Adapun Setya Novanto resmi bebas bersyarat, setelah beberapa kali mendapat remisi dan hukumannya semakin ringan karena Mahkamah Agung (MA) menyunat vonisnya. 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), remisi adalah pengurangan hukuman yang diberikan kepada orang yang terhukum.

Hal ini mendapat tanggapan dari Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Setyo Budiyanto angkat bicara soal bebas bersyaratnya Setya Novanto yang merupakan terpidana kasus korupsi KTP elektronik atau e-KTP.

Ia mengatakan, pasti ada yang merasa tidak adil terhadap keputusan bebas bersyarat untuk Setya Novanto. Namun, bebas bersyarat disebutnya bagian dari sistem hukum pidana.

"Bebas bersyarat bagian dari sistem hukum pidana yang ada, prosedur itu harus dijalankan, meskipun saya yakin ada yang merasa kurang adil," kata Setyo melalui pesan singkat kepada Kompas.com, Selasa (19/8/2025).

Penuhi Syarat

Diketahui, Setya Novanto bebas dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, usai mendapatkan program Pembebasan Bersyarat (PB) dari Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Kementerian Imigrasi).

"Iya betul, sejak 16 Agustus," kata Kabag Humas dan Protokol di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Rika Aprianti, saat dikonfirmasi Kompas.com, Minggu (17/8/2025) lalu.

Rika mengatakan, berdasarkan Pasal 10 ayat (3), Setya Novanto telah memenuhi ketentuan telah menjalani 2/3 masa pidana.

Selain itu, Setya Novanto telah membayar denda sebesar Rp 500.000.000 uang pengganti, dibuktikan dengan surat keterangan LUNAS dari KPK No.B/5238/Eks.01.08/26/08 2025 tanggal 14 Agustus 2025, juga sudah membayar Rp 43.738.291.585 pidana uang pengganti, sisa Rp 5.313.998.118 (subsider 2 bulan 15 hari).

Berdasarkan hal tersebut, pada 16 Agustus 2025, Setya Novanto dikeluarkan dari Lapas Sukamiskin dengan Program Bersyarat, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan tanggal 15 Agustus 2025 Nomor PAS-1423 PK.05.03 Tahun 2025.

"Sejak tanggal 16 Agustus 2025, maka status Setya Novanto berubah dari narapidana menjadi klien pemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan (Bapas) Bandung, mendapatkan bimbingan dari Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Bandung sampai tanggal 1 April 2029," ujar Rika.

Kasus e-KTP

Setya Novanto sebelum terseret kasus korupsi e-KTP merupakan sosok yang sudah malang-melintang di kancah perpolitikan Indonesia.

Karier politiknya dimulai sebagai kader Kosgoro pada 1974 dan menjadi anggota DPR Fraksi Partai Golkar untuk pertama kalinya pada 1998.

Sejak saat itu, ia enam periode berturut-turut selalu mengamankan kursi di parlemen hingga 16 Desember 2015.

Setya Novanto juga merupakan sosok yang pernah menduduki kursi Ketua Umum Partai Golkar (17 Mei 2016 – 13 Desember 2017) dan Ketua DPR (30 November 2016 – 11 Desember 2017).

Singkat cerita, nama Setya Novanto menjadi tersangka kasus mega proyek e-KTP oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 17 Juli 2017.

Kasus korupsi e-KTP sendiri bermula saat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada 2009 merencanakan pengajuan anggaran untuk penyelesaian Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAP).

Salah satu komponen program penyelesaian SIAP tersebut adalah Nomor Induk Kependudukan (NIK). Pemerintah pun menargetkan pembuatan e-KTP dapat selesai pada 2013.

Proyek e-KTP merupakan program nasional dalam rangka memperbaiki sistem data kependudukan di Indonesia.

Dilansir dari Kompas.com, Jumat (4/2/2022), lelang e-KTP dimulai sejak 2011, tetapi banyak bermasalah karena terindikasi banyak penggelembungan dana. Kasus korupsie-KTP pun terendus akibat kicauan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.

KPK kemudian mengungkap adanya kongkalikong secara sistemik yang dilakukan oleh birokrat, wakil rakyat, pejabat BUMN, hingga pengusaha dalam proyek pengadaan e-KTP sepanjang 2011-2012.

Akibat korupsi mega proyek secara berjemaah ini, negara mengalami kerugian mencapai Rp 2,3 triliun.

Keterlibatan Setya Novanto semakin kuat setelah namanya disebut dalam sidang perdana kasus tersebut dengan dua mantan pejabat Kemendagri, yakni Sugiharto dan Irman sebagai terdakwa.

Dalam dakwaan yang dibacakan jaksa di Pengadilan Tipikor, Kamis (9/3/2017), Novanto disebut memiliki peran dalam mengatur besaran anggaran e-KTP yang mencapai Rp 5,9 triliun.

Setelah melalui serangkaian proses hukum, majelis hakim memberikan vonis kepada para pelaku atas keterlibatan dalam tindak pidana korupsi proyek pengadaan e-KTP.

Delapan pelaku telah divonis bersalah oleh pengadilan dan mendapat hukuman berbeda tergantung sejauh mana keterlibatan mereka. Adapun Setya Novanto divonis 15 tahun penjara pada 24 April 2018.

Profil Setya Novanto

Setya Novanto merupakan pria kelahiran Bandung, Jawa Barat, pada 12 November 1955. Tahun ini, memasuki usia 70 tahun. 

Ia lahir pasangan R Soewondo Mangunratsongko dan Julia Maria Sulastri.

Mengenai akademisnya, Setya Novanto menempuh pendidikan Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar (SD) di Bandung, Jawa Barat. 

Ketika Sekolah Menengah Pertama (SMP), ia pindah ke Jakarta. Ia sekolah di SMP Negeri 73 Tebet.

Pada tahun 1970, ia masuk ke SMA Negeri 9 Jakarta.

Dikutip dari TribunnewsWiki.com, Setya Novanto melanjutkan pendidikan di Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, jurusan akuntansi.

Di kampus tersebut, ia lulus pada tahun 1979.

Kemudian, Setya Novanto melanjutkan pendidikan di Universitas Trisakti Jakarta jurusan akuntansi manajemen dan selesai pada tahun 1983.

Perjalanan Karier 

Setya Novanto pernah bekerja sebagai sopir dan pembantu rumah tangga.

Pekerjaan itu, dilakukannya ketika sedang menempuh pendidikan di Universitas Trisakti.

Bahkan, Setya Novanto menumpang di rumah keluarga Hayono Isman, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga.

Ia bertugas mengantar anak-anak Hayono Isman ke sekolah, mencuci baju, dan membersihkan lantai rumah.

Sementara itu, untuk membiayai hidup ketika kuliah di Universitas Widya Mandala Surabaya, Setya Novanto berjualan beras.

Kehidupan mulai berubah setelah ia lulus kuliah.

Pada tahun 1987, Setya Novanto menjadi Komisaris Utama PT Nagoya Plaza Hotel, yang diemban hingga tahun 2004.

Pada tahun 1999, Setya Novanto terpilih sebagai anggota DPR RI dari Partai Golkar.
Ia lantas terpilih sebagai anggota dewan, hingga tahun 2009 menjadi Ketua Fraksi Partai Golkar.

Politisi Partai Golkar itu, juga pernah menjadi Ketua DPR RI periode 2014-2019.

Tanggapan Pakar Hukum

Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menanggapi terpidana kasus korupsi pengadaan e-KTP atau KTP Elektronik Setya Novanto yang baru saja bebas dari bui.

Feri Amsari meyakini, pembebasan bersyarat Setya Novanto sudah sesuai prosedur hukum yang ada, tetapi yang harusnya diperhatikan adalah soal keberpihakan hukum.

Namun, kata Feri, pembebasan bersyarat ini tidak wajar untuk koruptor, apalagi di Indonesia, negara yang 'penyakit' korupsinya sudah kronis.

Feri pun menyinggung pernyataan Presiden RI Prabowo Subianto yang mengaku bertekad akan mengejar koruptor hingga ke Antartika dalam acara penutupan Rapimnas Partai Gerindra Sabtu, (31/8/2024).

"Ya, kalau sesuai prosedur, saya yakin sesuai prosedur. Tapi ini bicara keberpihakan," kata Feri, dikutip dari tayangan Sapa Indonesia Malam yang diunggah di kanal KompasTV, Senin (18/8/2025).

"Jadi, kalau prosedur kan bisa dibuat agar kemudian sesuai dan itu layak untuk diberikan kepada siapa pun termasuk dalam kasus korupsi. Tapi, tidak lumrah di sebuah negara yang bercita-cita akan mengejar koruptor hingga ke Antartika," jelasnya.

Feri juga menyinggung sejumlah keringanan yang didapat oleh Setya Novanto yang mengurangi masa hukumannya.

Menurutnya, pengurangan masa hukuman terkesan begitu mudah terhadap terpidana kasus koruptor.

Padahal, seharusnya kasus korupsi harus ditindak secara tegas dan keras.

Hal ini menunjukkan bahwa orang yang berkuasa lebih mudah mendapat keringanan, dan upaya pemberantasan korupsi tidak didukung maksimal.

"Lalu diberikan kemudahan-kemudahan yang signifikan mengurangi masa pidana mereka. Bagi saya, [ini, red] keberpihakannya yang tidak terlihat," papar Feri.

"Apalagi sepengetahuan saya, konsep pemberantasan kasus-kasus extraordinary ya, white collar crime (sebutan lain untuk tindak pidana korupsi, dalam bahasa Indonesia artinya kejahatan kerah putih, red.) ini biasanya jauh lebih keras tegas begitu ya. gitu," ujarnya.

"Nah, pemberian seperti dicicil potongan remisinya berkali-kali, PK juga dimenangkan, memang tidak menunjukkan keberpihakan kita dalam upaya pemberantasan korupsi," jelasnya.

"Orang yang punya kuasa begitu mudah mendapatkan remisi dan mereka bisa bebas sedemikian rupa dalam hal-hal yang menurut kita tidak dialami oleh pelaku tindak pidana lain, terutama kasus-kasus yang juga dianggap sebagai extraordinary, misalnya tindak pidana terorisme. Itu tidak akan pernah dapat yang begini-beginian begitu ya," sambung Feri.

Artikel telah tayang di Kompas

-

Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Manado dan Google News Tribun Manado untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.

Baca berita lainnya di: Google News

WhatsApp Tribun Manado: Klik di Sini

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved