Monumen Lokal Sulut
Tugu Keter Ma’ayang di Desa Sea Minahasa, Monumen Lokal Sulut yang Sarat Makna Pantang Menyerah
Monumen Lokal Sulut Tugu Keter Ma’ayang di Desa Sea, Minahasa. Sarat makna tentang pribadi yang pekerja keras pantang menyerah.
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Frandi Piring
TRIBUNMANADO.CO.ID - MINAHASA - Mengenal monumen bersejarah di Sulawesi Utara (Sulut).
Salah satunya Tugu Keter Ma’ayang yang berdiri gagah di jantung keramaian Desa Sea, Kabupaten Minahasa.
Tugu Keter Ma’ayang juga menjadi menjadi ikon lokal Desa Sea sendiri dan tentunya sarat akan makna.
Tugu ini mudah terlihat oleh penduduk maupun pengunjung desa karena letaknya berada di lokasi strategis.
Monumen ikon lokal Desa Sea ini dibangun pada 20 Mei 2016 dan diresmikan oleh Jantje Sajow sebagai Bupati Minahasa kala itu.
Pantauan langsung Tribun Manado pada Rabu (6/8/2025), tugu ini berbentuk sosok pria yang memegang palu dengan kedua tangan.
Pada bagian alas patungnya tampak ada beberapa bongkahan batu besar yang tersusun alami.
Herman Kamu, salah satu tokoh masyarakat Desa Sea, menjelaskan bahwa sosok pria di patung itu bukanlah pahlawan atau tokoh bersejarah.
Tapi sebagai simbol semangat kerja keras masyarakat Desa Sea.
"Ini simbol kami sebagai masyarakat," ucapnya saat diwawancara di rumahnya, Jalan Sea-Manado, Desa Sea, Minahasa, Sulut, Rabu (6/8/2025).

Menurut Herman, mayoritas warga desa bermata pencaharian dari pertambangan batu.
"Karena desa (Sea) ini kaya akan bahan batu alam," ujarnya.
Nama Keter Ma’ayang ( Keter Maayang ) berasal dari bahasa daerah Minahasa, yang bermakna pekerja keras nan pantang menyerah.
Kata Herman lagi, nama ini mencerminkan filosofi warga, yakni kegigihan dan kekuatan dalam bekerja untuk membangun kehidupan bersama.
Monumen Bersejarah Lainnya di Sulut
Selain Tugu Keter Ma’ayang di Desa Sea, Minahasa, di Kota Manado juga terdapat monumen lokal Sulut bersejarah lainnya.
Yaitu monumen legenda Minahasa, Toar Lumimuut.
Patung Toar Lumimuut berdiri gagah di Pertigaan Jembatan Miangas, Jalan Jenderal Sudirman, Kelurahan Komo Luar, Kecamatan Wenang, Manado, Sulawesi Utara.
Keberadaan patung ini mengingatkan akar budaya masyarakat Minahasa.
Patung ini dibuat oleh seniman Noldy Kumaunang pada 1972.
Inisiatif pembangunan monumen ini dilakukan oleh Gubernur KDH Sulawesi Utara saat itu, Mayjen H.V. Worang.
Keterangan yang tertulis dalam monumen tersebut menyebut, bangsa atau etnik Minahasa dimulai dari kisah leluhur mereka yaitu Toar dan Lumimuut.

Dua orang ini bersama Karema menjadi leluhur orang Minahasa.
Menurut legenda, para leluhur orang Minahasa ini berasal dari seberang utara lautan.
Setelah keduanya sudah dewasa untuk menikah, maka Karema menyuruh keduanya untuk berjalan berpisah berlainan arah.
Karema berpesan apabila keduanya menemukan seorang lawan jenis di tengah jalan, cocokkan tinggi tongkat keduanya, apabila kedua tongkat itu tidak sama, maka keduanya boleh menikah.
Singkat cerita keduanya bertemu kembali dan mencocokkan kedua tongkat mereka yang tidak sama tingginya, sehingga mereka akhirnya menikah.
Versi lainnya menyebutkan bahwa Lumimuut dan Toar diasuh oleh seorang perempuan tua yang bernama Karema.
Sesudah keduanya dewasa untuk berkeluarga, keduanya disuruh berjalan berpisah oleh Karema dengan jurusan bertentangan arah.
Karema berpesan apabila keduanya bertemu dengan orang lain yang berlainan jenis agar mencocokkan tongkat yang dibawanya apakah sama panjang, apabila tidak sama maka keduanya diperbolehkan menikah.
Keduanya dibekali dengan tongkat yang terbuat dari batang tuis.
Dalam perjalanan mengembara, keduanya akhirnya bertemu dan mencocokkan tongkat mereka.
Ternyata tinggi kedua tongkat itu tidak sama karena tinggi tongkat Lumimuut lebih rendah daripada tongkat Toar.
Akhirnya keduanya menikah dan mendapat banyak anak yang menjadi cikal bakal bangsa Minahasa.
Diceritakan, pada mulanya keluarga Toar Lumimuut tinggal di kompleks pegunungan Wulur Mahatus (di Minahasa bagian selatan), yaitu bukit Watu Nietakan.
Di puncak bukit ini terdapat sebuah batu bernama Watu Rerumeran/Lisung Watu.
Letak dari batu ini berada di sisi barat daya Tompaso Baru.
Diperkirakan keturunan Toar Lumimuut tinggal di sekitar Mahwatu/Batu Nietakan atau yang dahulu disebut Mahwatu Munte Popontolen selama empat generasi.
Sedangkan Minahasa pada masa itu masih disebut sebagai Malesung. (Pet/Alp)
-
#Monumen Bersejarah di Sulut #Monumen di Sulut #Monumen Lokal Sulut
Baca juga: 40 Tempat Wisata di Kota Manado yang Wajib Dikunjungi, dari Pantai hingga Monumen Sejarah
Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Manado dan Google News Tribun Manado untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.
Monumen
patung
tugu
Keter Maayang
Sea
Minahasa
Sulawesi Utara
Monumen Lokal Sulut
Monumen di Sulut
Monumen Bersejarah di Sulut
Sejarah
Kisah Pahit Mongol Stres Kehilangan Rp53 Miliar yang Dipinjamkan ke Cagub, Orangnya Ditangkap KPK |
![]() |
---|
Prakiraan Cuaca Kota Manado Sulawesi Utara Hari Ini Kamis 18 September 2025 |
![]() |
---|
4 Titik di Kota Manado Terdampak Mati Lampu Hari Ini Kamis 18 September 2025 Pukul 11:00-13:00 Wita |
![]() |
---|
Chord Lagu Haruskah Aku Relakan - Ressa - Kunci Gitar Gm |
![]() |
---|
Gempa Bumi di Papua Barat Kamis 18 September 2025, Info BMKG Titik dan Magnitudonya |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.