Manado Sulawesi Utara
Kisah Ikra dan Raisa, Siswa SMP di Manado Tak Tahu Harus Sekolah di Mana, Kepsek: Saya Tidak Jamin
Semua sekolah yang didatangi menjawab sama: kuota penuh. Tak ada tempat. Tak ada ruang. Tak ada harapan
Penulis: Indry Panigoro | Editor: Indry Panigoro
TRIBUNMANADO.CO.ID – Di tengah gemuruh semangat tahun ajaran baru 2025, ada dua anak kecil yang tak bisa tersenyum.
Hari yang seharusnya jadi langkah awal menuju cita-cita, justru berubah jadi labirin tanpa pintu keluar.
MRJF biasa disapa Ikra, dan RPM, adalah dua anak dari Kecamatan Singkil, Kota Manado.
Mereka bukan anak-anak biasa. Keduanya tumbuh dalam keluarga yang berjuang keras di bawah bayang-bayang kemiskinan.
Mereka penerima Program Keluarga Harapan (PKH) dan Program Indonesia Pintar (PIP), bukti nyata bahwa negara tahu, mereka butuh uluran tangan. Tapi tangan itu kini terasa hilang entah ke mana.
Sebelumnya keduanya sudah mendaftar ke SMP Negeri 1 Manado, salah satu sekolah unggulan di kota Manado.
Raisa memilih jalur afirmasi, yang seharusnya menjadi gerbang terbuka bagi anak-anak kurang mampu. Tapi sistem menolaknya. Hanya satu kata yang muncul di layar: “mengusul.”
Hari demi hari berlalu. Anak-anak lain sudah berseragam rapi, berjalan penuh semangat ke sekolah.
Tapi Ikra dan Raisa hanya bisa menatap dari jauh. Di rumah, ibu mereka mulai putus asa. Beberapa sekolah yang tidak jauh dari domisili mereka telah ditelusuri.
Semua menjawab sama: kuota penuh. Tak ada tempat. Tak ada ruang. Tak ada harapan.
"Kasiang ya Allah, baru mo sekolah di mana dang kasiang Ikra," ujar Iyam, ibu dari Ikra dengan suara bergetar, matanya sembab.
"Ikra ingat baik-baik dek, susah sekali mau sekolah, kalau sudah sekolah dengar-dengaran ke guru supaya Ikra mo sukses," ucap Iyam yang dijawab dengan pelukan erat dari Ikra.
Perjuangan mereka sampai ke telinga wakil rakyat. Komisi IV DPRD Kota Manado memanggil mereka. Dalam ruangan ber-AC, mereka duduk gelisah.
Tangan Raisa menggenggam ujung baju ibunya. Harapan kembali tumbuh ketika rapat memutuskan Ikra dan Raisa boleh masuk SMP Negeri 16 Manado.
Setelah rapat usai, mereka berlari kecil menuju sepeda motor usang yang terparkir di halaman DPRD.
Ayah Ikra segera menyalakan mesin, dan dengan tergesa-gesa mereka melaju ke SMP 16 Manado.
"Kami ingin cepat-cepat daftar, supaya besok bisa ikut sekolah," kata Raisa, matanya berbinar.
Namun harapan itu hanya sebentar. Sesampainya di sana, yang mereka temukan bukan pintu yang terbuka, tapi lagi-lagi penolakan.
Dari pihak sekolah mengatakan kalau kuota memang sudah penuh.
Saat dikonfirmasi Tribun Manado via WhatsApp, Kepala SMP Negeri 16 Manado, Dolvie Singal menjelaskan sekolah tak bisa menerima mereka karena kuota penuh dan nama mereka tidak tercatat dalam sistem Dapodik.
Bila dipaksakan masuk, justru akan merugikan mereka karena tidak akan bisa tercatat sebagai siswa resmi.
"Semua kepala sekolah pasti ingin semua siswa yang mendaftar dapat ditampung di sekolah masing-masing. Masalahnya, kedua siswa tersebut tidak mendaftar di SMP 16 Manado, tapi orang tua mereka mendaftarkan anak mereka di SMP Negeri 1 Manado," tulis Dolvie melalui pesan teks.
Kata dia lagi, Sistem aplikasi Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) tidak di bawah kendali kepala sekolah.
Untuk SMP 16 Manado, kuota sudah terpenuhi pada tahap 1 SPMB.
Pihaknya tidak mendapat kesempatan untuk membuka tahap 2 karena kuota yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hanya 6 rombel.
"Mungkin lebih berkompeten untuk menangani masalah ini adalah kepala SMP Negeri 1 Manado, karena orang tua yang mendaftarkan anak mereka di SMP 1, bukan di SMP 16,"
"Jika dipaksakan, saya boleh menampung siswa tersebut, tapi saya tidak menjamin mereka masuk dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik), karena mereka tidak ada nama di daftar SPMB SMP Negeri 16 Manado," tulis Dolvie.
Padahal, anak-anak ini sekarang bukan sedang memilih sekolah favorit.
Mereka hanya ingin sekolah. Titik. Tapi sistem seperti menutup semua celah bagi mereka.
Celah yang seharusnya diberikan justru menjadi tembok tak kasat mata yang berdiri kokoh didukung data, angka, dan aturan yang kaku.
Akademisi Prof. Dr. Ferdinand Kerebungu, dari Universitas Negeri Manado, menyesalkan situasi ini. Menurutnya, sistem PPDB saat ini sering mengabaikan prinsip keadilan sosial dalam pendidikan.
"Apa arti konstitusi, apa arti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, jika dua anak miskin bahkan tidak bisa masuk SMP di kotanya sendiri?," tegasnya.
Dalam konstitusi, dalam undang-undang, bahkan dalam hati nurani bangsa, pendidikan adalah hak, bukan kemewahan. Tapi hari ini, di Manado, dua anak bangsa terdiam di ambang pintu sekolah yang tidak pernah terbuka.
Kini, Ikra dan Raisa masih di rumah, menatap buku-buku lama yang tak tahu kapan bisa digunakan lagi karena nasib mereka masih tergantung di udara.
Dan mungkin, malam ini, saat anak-anak lain mempersiapkan seragam untuk esok hari, Ikra dan Raisa hanya bisa memeluk harapan yang makin tipis sambil menunggu, entah sampai kapan ada tangan yang benar-benar mau menolong. (Tribun Manado/Indri Panigoro)
Pembuang Sampah Sembarangan yang Viral di Manado Dihukum Penjara Sebulan dan Denda Rp 10 Juta |
![]() |
---|
Harga Daging Babi di Manado Sulawesi Utara Mulai Turun, Bawa Angin Segar Bagi Warga |
![]() |
---|
Fakultas Hukum Unsrat Manado Masih Jadi Favorit, Sejumlah Mahasiswa Beberkan Alasannya |
![]() |
---|
Sering Dianggap Remeh, Segini Penghasilan Tukang Jahit di Manado Sulawesi Utara |
![]() |
---|
Kisah Fajar, Penjahit di Calaca Kota Manado, Merajut Hidup di Balik Jarum dan Benang selama 30 Tahun |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.