Wajib Tahu
Ini Alasan Kenapa Dokter, Dosen, dan Polisi Justru Jadi Pelaku Kekerasan Seksual
Deretan kasus ini menambah daftar panjang pelaku kekerasan seksual yang berasal dari profesi-profesi yang justru identik dengan kemanusiaan
TRIBUNMANADO.CO.ID - Kasus dugaan pelecehan seksual kembali mencuat, kali ini melibatkan seorang dokter yang diduga melakukan tindakan tidak senonoh terhadap pasiennya.
Peristiwa ini mendadak viral setelah video dan kesaksian korban beredar luas di media sosial, memicu kemarahan publik dan desakan agar pelaku segera diproses secara hukum.
Dalam rekaman yang tersebar, terlihat seorang pasien perempuan mengaku dilecehkan saat menjalani pemeriksaan medis di sebuah klinik swasta.
Korban mengungkap bahwa dokter tersebut melakukan tindakan yang tidak sesuai prosedur medis dan tanpa persetujuan.
Baca juga: 3 Kasus Kekerasan Seksual Sejak Awal 2025 di Bolsel, Polisi Sebut Konten Pornografi jadi Penyebab
Dalam beberapa bulan terakhir, kasus kekerasan seksual terus bermunculan di berbagai wilayah Indonesia.
Ironisnya, kejahatan ini tak lagi mengenal batas usia, menimpa orang dewasa hingga anak-anak.
Hal yang lebih memprihatinkan, banyak dari kasus tersebut terjadi dalam relasi kekuasaan, yakni dilakukan oleh orang-orang yang justru seharusnya menjadi pelindung dan teladan.
Sebut saja Kapolres Ngada AKBP Fajar yang dilaporkan mencabuli tiga anak di bawah umur di NTT.
Lalu ada Guru Besar UGM, Prof Edy Meiyanto, yang dilaporkan melakukan kekerasan seksual terhadap mahasiswinya.
Kasus serupa juga terungkap di lingkungan pondok pesantren, hingga yang terbaru, pemerkosaan oleh dokter PPDS Unpad di RS Hasan Sadikin, Bandung dengan korban keluarga pasien.
Deretan kasus ini menambah daftar panjang pelaku kekerasan seksual yang berasal dari profesi-profesi yang justru identik dengan kemanusiaan, seperti polisi, dosen, dokter, hingga tokoh agama.
Mengapa mereka tega melakukan kekerasan seksual?
Psikolog forensik Reza Indragiri menjelaskan, bahwa tak ada jawaban sederhana mengenai mengapa seseorang bisa menjadi pelaku kekerasan seksual.
Namun, ia menyebut ada tiga pendekatan teori yang bisa digunakan untuk memahami fenomena ini, khususnya yang berbasis relasi kuasa.
Pertama, pendekatan feminis menyebutkan bahwa kekerasan seksual terjadi karena ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban.
"Power asymmetry alias relasi kuasa yang tidak berimbang itulah yang menjadi penyebab mengapa ada pelaku, mengapa ada korban," kata Reza saat diminta pandangan Kompas.com pada Minggu (13/3/2025).
Kedua, teori sosial melihat fenomena ini sebagai produk dari industri hiburan dan media yang sudah terlalu sering menampilkan narasi vulgar hingga membuat publik kehilangan sensitivitas terhadap nilai-nilai sakral seputar seksualitas.
Ketiga, dari sudut pandang teori evolusi, kekerasan seksual bisa dilihat sebagai dorongan primitif untuk mempertahankan keturunan, meski jelas tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan secara hukum maupun moral.
Faktor pendorong
Dalam kasus dokter PPDS Unpad pemerkosa keluarga pasien, Reza menyebut bahwa faktor pekerjaan bisa turut memengaruhi.
Menurutnya, profesi seperti dokter dikenal memiliki beban kerja tinggi, jam kerja panjang, rutinitas membosankan, dan tekanan mental yang besar.
“Dalam situasi seperti itu, seks bisa dianggap sebagai bentuk kompensasi atas kejenuhan yang menumpuk,” jelas Reza.
Namun selain faktor pemicu, ada pula faktor penarik, yakni peluang dan lemahnya pengawasan.
Reza mengatakan, degradasi moral dalam beberapa tahun terakhir bisa membuat pelaku merasa punya ruang untuk bertindak, apalagi saat etika tak lagi dijunjung tinggi dan sistem pengawasan melemah.
“Ketika etika ditinggalkan dan pengawasan longgar, di situlah celah dimanfaatkan oleh pelaku untuk mencari kepuasan pribadi, bahkan lewat cara yang melanggar hukum,” ujar Reza.
Kondisi ini mempertegas perlunya sistem perlindungan dan pengawasan yang kuat, terutama di lingkungan yang memiliki ketimpangan kuasa tinggi antara individu, seperti rumah sakit, kampus, institusi keagamaan, dan kepolisian.
Fakta dari Penelitian dan Studi
-
UN Women & WHO: Kekerasan seksual sangat rentan terjadi dalam hubungan di mana ada dominasi dan kontrol. Dalam konteks profesional, pelaku kerap memanfaatkan status atau kepercayaan yang diberikan oleh korban.
-
Komnas Perempuan (Indonesia): Dalam Laporan Tahunan 2022, banyak kekerasan seksual yang dilaporkan terjadi di institusi pendidikan dan tempat kerja, dengan pelaku berposisi lebih tinggi secara struktural. Ini menunjukkan adanya pola relasi kuasa yang dimanfaatkan untuk melakukan kekerasan seksual.
-
Penelitian akademik (Misalnya, oleh Sara Ahmed & Michel Foucault): Menunjukkan bahwa kekerasan seksual bukan hanya soal hasrat seksual, tapi juga soal kekuasaan dan kontrol. Pelaku mencari kepuasan dari menundukkan korban secara fisik dan psikologis.
-
Studi di Lingkungan Pendidikan Tinggi: Banyak kampus yang jadi tempat subur kekerasan seksual karena ada hierarki yang jelas antara dosen dan mahasiswa, ditambah lagi dengan budaya diam dan minimnya perlindungan terhadap korban.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com
-
Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Manado dan Google News Tribun Manado untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.
Baca berita lainnya di: Google News
WhatsApp Tribun Manado: Klik di Sini
Siapa Pemilik Sirup Marjan? Minuman yang Iklannya Selalu Jadi Pertanda Datangnya Ramadhan |
![]() |
---|
Akhirnya Terungkap Alasan Pilot Militer Sering Ucapkan “Roger”, Ini Maknanya dalam Dunia Penerbangan |
![]() |
---|
Siapa Pemilik Pakuwon Mall Semarang? Calon Mal dan Proyek Raksasa Superblok Terbesar di Indonesia |
![]() |
---|
Siapa Pemilik BCA? Bank Swasta Tersukses di Indonesia, Jawara Laba Bersih Terbesar Versi Fortune |
![]() |
---|
Siapa Pemilik Bedak Marcks, Produk Legendaris yang Tak Lekang Waktu |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.