Opini
Joey Pelupessy
Joey bukan kubah, dinding berlapis granit, atau lantai marmer. Tapi hanya batu penjuru, makanya ia tak nampak.
Penulis: Arthur_Rompis | Editor: Isvara Savitri
Oleh: Arthur Rompis
Indonesia dan sepak bola bagaikan cinta tak berbalas.
Sering cinta kita begitu dashyat, dengan kobaran maksimal, tulus, dan tanpa pamrih.
Tapi timnas begitu dingin dan kejam, selalu mengecewakan dengan permainan buruk nan berkubang skandal.
Tapi belakangan ini kasih itu tak lagi tak sampai.
Revolusi bola lewat naturalisasi melahirkan permainan memukau.
Timnas menang, menang, dan menang lagi.
Siapa sangka kita kini di ambang piala dunia.
Kita memasuki periode yang langka yang mungkin belum pernah ada; saat setiap orang bicara bola dengan cinta dan semua serasa pujangga.
Begitu pula saat kita bicara kemenangan Indonesia atas Bahrain dengan skor 1-0 di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta.
Sekira 70 ribu penonton jadi saksi permainan efektif, bersemangat, dan atraktif dari Jay Idzes dan kawan kawan.
Semua pemain tampil gemilang.
Trio bek Jay Idzes, Rizki Ridho, dan Justin Hubner layaknya karang yang mampu membuat tsunami jadi aliran kecil di halaman rumput GBK.
Thom Haye bak seniman, Ole Romeny bak kereta api, Calvin Verdonk dan Kevin Diks gemilang, pun Marceng.
Bangunan megah timnas tersebut ditopang oleh batu penjuru yang bernama Joey Pelupessy.
Joey bukan kubah, dinding berlapis granit, atau lantai marmer.
Tapi hanya batu penjuru, makanya ia tak nampak.
Tapi batu itu adalah titik awal yang menyatukan berbagai tembok sekaligus titik pusat penentu seluruh struktur bangunan.
Di lapangan Joey seolah tak ada, tapi hadirnya terasa di mana-mana.
Joey tak banyak pegang bola.
Tapi posisinya selalu menentukan untuk tim.
Baca juga: Lirik Lagu Timur Andalan - Dj Qhelfin, Su Terlalu Manis Sio Tarada Lawan
Baca juga: Lantik Johny Suak Jadi Kaban Kesbangpol Sulawesi Utara, Ini Pesan Gubernur YSK
Yang tidak tampak dalam kamera adalah Joey senantiasa menggerakkan kepalanya untuk scanning.
Efisiensi gerak tapi efektif dari Joey menciptakan kohesi antara lini belakang dan tengah.
Fungsi ini yang tak jalan saat Australia hingga Indonesia dipermak 5-1.
Tak hanya aspek fisik, Joey juga menunjukkan nasionalisme yang kuat.
Ia berani beradu dengan lawan dan selalu unggul dalam duel.
Kisah indah Joey diawali keraguan.
Sewaktu disebut akan menjalani naturalisasi, banyak yang mengangap remeh.
Ia dianggap sudah kedaluwarsa, bukan grade A pula.
Kemunculannya sungguh jauh dari glamor.
Tapi sesuatu yang sederhana itu terbukti kepingan yang hilang.
Selama ini kita tak pernah punya pemain nomor 6, pekerja keras dalam sunyi, yang sukses tanpa dipuja-puja.
Pemain nomor 10 sudah banyak, pun yang nomor 7 dan sayap.
Kita suka melihat mereka, riuh dalam gocekan, terbang dalam glamor dan sensasi.
Tapi Nyong Ambon ini mengajarkan kita mengenai kerendahan hati.
Baca juga: Info BMKG Cuaca di Sulawesi Utara Minggu 6 April 2025, Diperkirakan Berpotensi Hujan Ringan
Baca juga: Gempa Bumi Terkini Guncang Sulawesi Minggu 6 April 2025, Gempanya Baru Saja Terjadi Pagi Ini
Usai tampil gemilang lawan Bahrain, Joey pun dipuja-puja.
Bahkan dijuluki Rodri-nya Indonesia atau Xabi Alonso-nya PSSI.
Tapi Joey tetap merendah.
"Saya masih terlalu jauh, saya hanya ingin memberikan yang terbaik untuk Indonesia," kata dia.
Dari sepak bola, bangsa ini bisa berkaca kita terlalu riuh.
Glamor, sibuk pencitraan sana sini.
Para elite terjebak populisme.
Kebijakan seolah pro rakyat, tapi sesungguhnya hanya menara mercuruar, yang terlalu jauh dari hati bangsa yang menderita.
Kerja keras, jujur, efektif dan berorientasi pada rakyat, namun sunyi, jauh dari puja puji.
Itulah kepingan bangsa yang hilang.(*)
Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Manado dan Google News Tribun Manado untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.