Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Rusia dan Tiongkok Desak Trump Cabut Sanksi Iran dan Berunding Nuklir

Perwakilan Iran, Rusia dan Tiongkok telah mendesak pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk mengakhiri sanksi yang dijatuhkan.

Editor: Arison Tombeg
TM/Al Jazeera
DESAK - Tangkapan layar Presiden AS Donald Trump dan Pemimpin Iran Ayotullah Ali Khamenei. Perwakilan Iran, Rusia dan Tiongkok telah mendesak pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk mengakhiri sanksi yang dijatuhkan. 

TRIBUNMANADO.COM, Teheran - Perwakilan Iran, Rusia dan Tiongkok telah mendesak pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk mengakhiri sanksi yang dijatuhkan terhadap Teheran atas program nuklirnya yang berkembang pesat, sembari menyerukan dimulainya kembali perundingan multilateral mengenai masalah tersebut.

Ketiga negara tersebut "menekankan perlunya mengakhiri semua sanksi sepihak yang melanggar hukum", kata Wakil Menteri Luar Negeri Tiongkok Ma Zhaoxu dalam pernyataan bersama yang dikeluarkan pada hari Jumat. Ia didampingi oleh mitranya dari Rusia, Ryabkov Sergey Alexeevich, dan Iran, Kazem Gharibabadi.

“Pihak-pihak terkait harus berupaya menghilangkan akar penyebab situasi saat ini dan meninggalkan sanksi, tekanan, dan ancaman penggunaan kekuatan,” kata Ma.

Gharibabadi dari Iran memuji pertemuan itu sebagai “sangat konstruktif dan positif”, bahkan ketika ia menuduh “beberapa negara” menciptakan “krisis yang tidak perlu” untuk menggagalkan Teheran.

Kemudian pada hari Jumat, Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi dijadwalkan bertemu dengan tiga diplomat senior.

Pembicaraan tersebut merupakan upaya terbaru untuk menyelesaikan kebuntuan Iran, saat Trump mencoba menghubungi Pemimpin Tertingginya Ayatollah Ali Khamenei dalam upaya untuk memulai pembicaraan.

Setiap kemajuan dalam perundingan Iran dengan pemerintahan Trump membutuhkan dukungan Rusia dan China, yang keduanya merupakan anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa bersama AS, Prancis, dan Inggris.

Persetujuan Dewan Keamanan membuka jalan bagi pelaksanaan kesepakatan nuklir Iran 2015, yang ditinggalkan Trump pada tahun 2018 selama masa jabatan pertamanya sebagai presiden, yang memicu serangan dan ketegangan selama bertahun-tahun di Timur Tengah yang lebih luas.

Berdasarkan kesepakatan nuklir awal tahun 2015, Iran hanya diizinkan untuk memperkaya uranium hingga kemurnian 3,67 persen dan mempertahankan persediaan uranium sebanyak 300 kilogram (661 pon).

Laporan terakhir oleh Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) tentang program Iran menyebutkan persediaannya sebanyak 8.294,4 kg (18.286 pon) karena Iran memperkaya sebagian kecilnya hingga kemurnian 60 persen.

Iran bersikukuh program nuklirnya bersifat damai.

Meskipun Iran bersikeras tidak akan bernegosiasi jika terancam, ekonominya telah hancur akibat sanksi AS. Protes atas hak-hak perempuan , ekonomi, dan teokrasi Iran dalam beberapa tahun terakhir telah mengguncang pemerintahannya.

Jumat lalu, Trump mengatakan dia telah mengirim surat kepada Khamenei, mendesak negosiasi tetapi juga memperingatkan kemungkinan tindakan militer.

Sebagai tanggapan, dikutip Al Jazeera, Khamenei mengejek presiden AS dengan mengatakan bahwa dia tidak tertarik berunding dengan "pemerintah yang suka menindas". Dia mengeluh bahwa Teheran "berunding selama bertahun-tahun, mencapai kesepakatan yang lengkap dan ditandatangani", dan Trump "merobeknya".

Presiden Iran Masoud Pezeshkian juga mengatakan bahwa ia tidak akan berunding dengan AS saat "diancam", dan Iran tidak akan tunduk pada "perintah" AS untuk berunding. Namun, ia sebelumnya mengatakan dalam pidatonya di PBB bahwa Teheran "siap untuk terlibat".

Pejabat Iran lainnya telah memberikan beberapa sinyal mengenai kemungkinan negosiasi, dan pertemuan terakhir di Beijing dapat menunjukkan keterbukaannya untuk pembicaraan baru. (Tribun)

Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved