Presiden Yoon Terancam Hukuman Mati: PM Korsel Ambil Alih Tugas
Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol dilarang meninggalkan negara itu karena upaya yang gagal dalam menerapkan darurat militer.
Presiden memberi militer kewenangan darurat yang luas pada tanggal 3 Desember untuk membasmi apa yang disebutnya sebagai "pasukan anti-negara" dan lawan politik yang suka menghalangi.
Ia mencabut perintah tersebut enam jam kemudian, setelah parlemen menentang pengepungan militer dan polisi untuk memberikan suara bulat menentang dekrit tersebut.
Pada hari Sabtu, Yoon menyampaikan permintaan maaf atas keputusan tersebut, dan mengatakan bahwa ia tidak akan mengabaikan tanggung jawab hukum atau politik atas tindakan tersebut, yang lahir dari “keputusasaan”.
Yoon bersikeras bahwa darurat militer diperlukan, dan menuduh anggota oposisi di Majelis Nasional melancarkan sejumlah upaya pemakzulan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap anggota pemerintahannya, yang secara efektif melumpuhkan operasi utama pemerintah, dan menangani anggaran dengan cara yang merusak fungsi mendasar pemerintah, termasuk keselamatan publik.
Kekacauan di Seoul terjadi pada momen geopolitik penting di kawasan itu, dengan Korea Utara diduga mengirim pasukan untuk membantu perang Rusia melawan Ukraina di tengah meningkatnya hubungan militer antara Moskow dan Pyongyang.
Fakta dan perkembangan baru Korsel:
Umumkan Darurat Militer
Yoon mengumumkan Selasa malam kepada rakyat bahwa darurat militer diberlakukan. Ini merupakan pertama kalinya darurat militer diberlakukan di Korsel dalam lebih dari empat dekade terakhir.
Dalam pidato tersebut, Yoon menjelaskan hal ini dilakukan karena adanya ancaman serius dari oposisi terhadap pemerintahannya. Dekritnya tersebut kemudian menempatkan militer sebagai penanggung jawab.
"Penangguhan pemerintahan sipil dimaksudkan untuk melindungi dari ancaman yang ditimbulkan oleh pasukan komunis Korea Utara dan untuk melenyapkan elemen-elemen anti negara yang merampas kebebasan dan kebahagiaan rakyat," kata Yoon.
Tak lama setelah pengumuman, sekitar pukul 23:00 waktu setempat, militer mengeluarkan dekrit yang melarang protes dan aktivitas oleh parlemen dan faksi politik. Media juga ditempatkan dalam kendali pemerintah.
Pengumuman ini terjadi setelah Yoon berada dalam posisi terpojok tatkala oposisinya memenangkan parlemen pada April lalu. Pemerintahanya sejak saat itu tidak dapat meloloskan RUU yang mereka inginkan dan malah dipaksa untuk memveto RUU yang disahkan oleh oposisi liberal.
Kejadian di Parlemen
Liputan media lokal menunjukkan pasukan bertopeng dan bersenjata memasuki gedung parlemen sementara staf parlemen mencoba menahan mereka dengan alat pemadam kebakaran. Hal ini pun mengundang sorak-sorai dari ribuan pengunjuk rasa yang mengibarkan bendera nasional dan meneriakkan agar Yoon ditangkap.
Walau ketegangan semakin tinggi, Majelis Nasional tetap mengambil posisi untuk menentang situasi darurat tersebut. Setelah pukul 01:00 pada hari Rabu, Majelis Nasional, yang dihadiri 190 dari 300 anggotanya, menolak tindakan tersebut dan dengan demikian, deklarasi darurat militer Presiden Yoon dinyatakan tidak sah.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.