Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Advetorial

Serikat Pekerja PLN Tolak Power Wheeling, Benalu Dalam Transisi Energi Nasional

Sementara Retail Wheeling memungkinkan pembangkit listrik menjual energi listrik langsung ke konsumen akhir di luar wilayah operasinya.

|
Editor: Alpen Martinus
HO
Serikat Pekerja PLN 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Power Wheeling, kini menjadi sorotan tajam dalam perdebatan kebijakan energi Indonesia.

Skema yang telah lama dikenal dalam struktur liberalisasi pasar ketenagalistrikan yang menciptakan mekanisme Multi Buyer Multi Seller (MBMS) ini memungkinkan pihak swasta dan negara untuk menjual energi listrik di pasar terbuka atau langsung ke konsumen akhir.

Menurut Ketua Umum Serikat Pekerja (SP) PLN, M.Abrar Ali, power wheeling terdiri dari dua jenis transaksi, yakni Wholesale Wheeling dan Retail Wheeling.

Baca juga: Masyarakat Desa Laotongan Kini Nikmati Listrik Bersih dari PLTS PLN, Kapasitas 180 kWp

Press Conference Pengurus SP PLN terkait aksi penolakan Power Wheeling
Press Conference Pengurus SP PLN terkait aksi penolakan Power Wheeling (HO)

Wholesale Wheeling terjadi ketika pembangkit listrik (baik milik swasta maupun negara) menjual energi listrik dalam jumlah besar ke perusahaan listrik atau konsumen di luar wilayah usahanya.

Sementara Retail Wheeling memungkinkan pembangkit listrik menjual energi listrik langsung ke konsumen akhir di luar wilayah operasinya.

“Kedua model ini menggunakan jaringan transmisi dan distribusi sebagai “jalan tol” dengan skema open access, di mana semua pembangkit listrik dapat menggunakannya dengan membayar “Toll Fee”,” kata Abrar dalam jumpa pers yang digelar SP PLN di kantor Pusat PLN, Jakarta, Jumat (06/9).

Namun ia menegaskan, bahwa penerapan power wheeling dapat menimbulkan dampak negatif signifikan, baik dari segi keuangan, hukum, teknis, maupun ketahanan energi.

“Power wheeling adalah benalu dalam transisi energi kita. Penerapan skema ini berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi ekonomi negara dan ketahanan energi nasional. Kebijakan ini harus segera ditinjau ulang agar dampak negatif yang mungkin timbul dapat diminimalisir,” tegas Abrar.

Namun demikian, Abrar memastikan bahwa SP PLN akan mengedepankan langkah diplomasi, dengan membangun komunikasi dengan pihak-pihak terkait, antara lain melalui DPD, DPR, hingga tim transisi pemerintahan untuk mengkomunikasikan mengenai penolakan skema power wheeling tersebut dan berbagai macam bahayanya.

“Kami menyampaikan surat ke fraksi-fraksi di DPR-RI, kami juga menyampaikan surat kepada Ketua DPD-RI Bapak La Nyala Mataliti, karena beliau juga punya hak konstitusi. Dan ke Ditjen EBTKE kita sampaikan juga surat, termasuk juga ke Istana. Saya juga akan menyampaikan surat ke Menteri Pertahanan, cq Presiden Indonesia terpillih,” tegas Abrar.

Abrar Ali menegaskan bahwa pemerintah perlu menilai kembali kebijakan power wheeling untuk menghindari kerugian ekonomi jangka panjang dan memastikan stabilitas sektor energi nasional.

Dampak Keuangan

Labih jauh ia mengatakan, bahwa power wheeling juga dapat menggerus permintaan listrik organik hingga 30 persen dan permintaan non-organik dari pelanggan Konsumen Tegangan Tinggi (KTT) hingga 50 persen. Hal ini akan berujung pada lonjakan beban APBN karena biaya yang harus ditanggung negara.

“Setiap 1 GW pembangkit listrik yang masuk melalui skema power wheeling diperkirakan akan menambah beban biaya hingga Rp 3,44 triliun (biaya ToP + Backup cost), yang akan semakin memberatkan keuangan negara. Bahkan dampak akumulatif hingga 2030 diperkirakan akan meningkatkan beban Take or Pay (ToP) dari Rp 317 triliun menjadi Rp 429 triliun, atau terjadi kenaikan sebesar Rp 112 triliun,” paparnya.

Sementara dampak hukum yang ditimbulkan oleh power wheeling kontradiksi dengan UU No. 20 Tahun 2022. Di mana program ini merupakan implementasi dari skema MBMS yang melibatkan unbundling.

Halaman
12
Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA
KOMENTAR

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved