Sosok Tokoh
Ketika Media Asing Sebut Soeharto Seperti Sosok Raja Jawa Zaman Dulu: Tidak Membagi Kekuasaan
Soeharto naik ke tampuk kekuasaan setelah terjadinya peristiwa kontroversial yang berujung lengsernya Soekarno.
Manado, TRIBUNMANADO.CO.ID - Soeharto merupakan presiden Republik Indonesia yang paling lama menjabat.
The Smilling General berada di tampuk kekuasaan selama 32 tahun.
Pria kelahiran 8 Juni 1921 ini menjabat Presiden Indonesia dari tahun 1967 hingga 1998.
Soeharto naik ke tampuk kekuasaan setelah terjadinya peristiwa kontroversial yang berujung lengsernya Soekarno.
Masa jabatan Soeharto berakhir pada tanggal 21 Mei 1998 saat dirinya dengan resmi mengundurkan diri setelah didesak para demonstran.
Pemerintahan kemudian dilanjutkan oleh Wakil Presiden B J Habibie, yang menjadi presiden.
Selama menjabat sebagai Presiden Indonesia, Soeharto tentu saja tak luput dari sorotan media asing.
Salah satunya adalah The New York Times.
Bagaimana selengkapnya?
Simak ulasan berikut ini:
Dilansir dari Intisari Online, Soeharto yang berada di tampuk kekuasaan selama 32 tahun dianggap sebagai orang yang sangat spititual.
Seorang Islam yang memegang kepercayaan mistik jawa, dikenal dengan istilah Kejawen.
The New York Times, menyatakan bahwa selama beberapa dekade banyak cendikiawan meyakini Soeharto memiliki peran bak ditahbiskan oleh Tuhan, seperti Raja-Raja Jawa pada masa lalu.
Sementara sebagian besar warga Indonesia, menginginkan dirinya sekadar sebagai presiden, atau mantan presiden ketika lengser dari jabatannya.
Beberapa kalangan elit di Jakarta percaya bahwa persepsi Suharto tentang perannya, dan kepercayaannya pada dasar Tuhan, yang membantu menjelaskan tekadnya untuk tetap menjabat.
"Semakin besar tantangan yang dihadapinya, semakin besar keinginannya untuk tetap bertahan," kata seorang pejabat senior Pemerintah.
"Dia melihat dirinya sebagai raja Jawa, dan raja Jawa tidak membagi kekuasaan," sambungnya.
Kondisi ini memunculkan, konfrontasi ini tidak hanya terjadi antara Presiden dan rakyatnya, namun juga antara masa lalu Asia dan masa depan Asia.
Ketika Soeharto merebut kekuasaan pada tahun 1966, Indonesia adalah negara dengan petani yang tidak berpendidikan, dan pendapatan per kapita tahunannya adalah 70 dollar AS.
Saat itu, wajar jika banyak orang menganggap pemimpin baru mereka dalam kerangka tradisional sebagai penguasa dengan wahyu.
Sebuah istilah yang sulit diterjemahkan tetapi mengacu pada keridhaan para dewa atau menunjukkan amanat ilahi.
Selama 32 tahun terakhir, Indonesia telah mencapai modernisasi yang menakjubkan dan telah mengembangkan kelas menengah yang semakin berpendidikan dan canggih.
Soeharto menghadirkan televisi berwarna, melek huruf, dan jalanan yang penuh dengan sepeda motor dan mobil kepada rakyatnya dan dalam semua kesibukan itu.
Tak hanya demikain, anak-anak muda juga mengobrol menggunakan telepon seluler di bawah Gapura Emas di Jakarta meski tidak menginginkan raja tradisional Jawa, dan mereka tidak terlalu percaya pada wahyu Soeharto.
Tidak semua orang setuju dengan analisis tersebut, namun Suharto tampaknya setuju.
Hal ini mungkin menjelaskan penolakannya terhadap kemarahan masyarakat dan rasa tanggung jawabnya bukan kepada mahasiswa tetapi kepada otoritas yang lebih tinggi.
"Saya selalu memohon kepada Tuhan untuk membimbing saya dalam setiap tugas saya," ungkap Soeharto dalam tulisannya.
"Saya percaya bahwa apa pun yang saya lakukan, setelah saya meminta bimbingan dan arahan dari Tuhan, apa pun hasilnya, inilah hasilnya. hasil bimbingan-Nya," paparnya.
Kesaktiannya mulai luntur semenjak sang Istri meninggal
Soeharto lahir di sebuah desa di Jawa Tengah 76 tahun yang lalu.
Bahkan, dalam pidatonya, ia kadang-kadang mengumpat dengan dialek Jawa, yang tidak dapat dipahami oleh orang-orang dari daerah lain di negeri ini.
Sewaktu masih kecil, ia diwariskan kepada berbagai kerabat dan akhirnya diasuh oleh seorang dukun, seorang tokoh spiritual tradisional Jawa yang mirip dengan tabib dan peramal.'
Beredar kabar pula bahwa Soeharto masih berkonsultasi dengan berbagai dukun dan berusaha meningkatkan kekuasaannya dengan menggunakan ilmu sihir.
Namun banyak masyarakat Jawa yang cenderung mempercayai hal-hal tersebut mengatakan bahwa kesaktian Soeharto telah mulai luntur sejak istrinya meninggal pada tahun 1996.
Dan apa pun dampaknya terhadap sifat-sifat kejawen tersebut, Soeharto tampaknya sangat terluka karena kehilangan istrinya, pada tahun 1996. sebagian karena dialah yang paling memegang kendali atas keenam anak pasangan itu.
Istrinya Ibu Tien, diyakini sebagai sosok yang memiliki pengaruh besar dalam kepemimpinan Soeharto.
Sosok wanita yang berdiri di belakang keputusan Soeharto, namun ada tuduhan bahwa beliau juga memanfaatkan jabatan yang dimiliki Soeharto.
Sejak kematiannya, anak-anaknya menjadi lebih ambisius dan lebih menonjol sebagai taipan keuangan.
Dampaknya adalah meningkatnya kebencian terhadap kekayaan keluarga, dan gumaman tersebut menambah persepsi bahwa wahyu Soeharto semakin berkurang.
Jawa telah mempunyai kerajaan sejak abad pertama, dan raja-raja yang sangat berkuasa cenderung memerintah tidak hanya dengan kekerasan tetapi juga dengan otoritas wahyu.
Namun ketika seorang raja jatuh sakit dan lemah, seperti yang dialami Soeharto selama setahun terakhir, ia sering kehilangan wahyu dan kesehatannya.
"Semuanya mempunyai struktur, plot, dalam hal bagaimana rezim berubah," ujar Clifford Geertz, antropolog Universitas Princeton yang terkenal dengan studinya tentang Jawa.
"Raja kehilangan kekuasaannya, dan terjadi kekacauan di kerajaannya serta terjadi serangan terhadapnya. Lalu perlahan-lahan orang tua itu keluar dan orang baru masuk," paparnya.
"Hampir ada skenario yang dibuat-buat mengenai bagaimana sebuah dinasti akan berakhir," tambah Geertz.
"Dan bagi saya ini tampak seperti hal yang menakutkan," ujarnya.
Hasilnya, meskipun Soeharto mungkin keluar dari jabatannya, prosesnya mungkin terjadi secara bertahap. Geertz mengatakan, alih-alih hanya disingkirkan dan pensiun, Soeharto mungkin secara bertahap akan dikesampingkan dan dibiarkan mundur dengan cara yang lebih bermartabat.
Itulah pola yang terjadi ketika Soeharto mengalahkan pendahulunya, Soekarno dan mungkin ini merupakan indikasi terbaik dari perlakuan yang menurut Soeharto pantas diberikan kepada para mantan presiden sebelumya. Pada bulan Januari 1966, Soeharto masuk ke kantor Soekarno dan mengatakan kepadanya.
"Bagi saya, Anda bukan hanya pemimpin nasional kami tetapi saya menganggap Anda seperti orang tua. Saya ingin menghormati Anda dengan tinggi, namun sayangnya Anda tidak menginginkan hal ini," ucap Soeharto kepada Soekarno.
Itu adalah kudeta, gaya Jawa, dan Soeharto kemudian menulis bahwa kedua orang tersebut mengetahuinya.
Namun hal ini juga dilakukan dengan baik dan bertahap, dan Suoekarno baru digulingkan dari kursi kepresidenan selama 14 bulan berikutnya.
Biodata
Nama: Soeharto
Lahir: 8 Juni 1921, Kemusuk, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Hindia Belanda
Meninggal: 27 Januari 2008 (umur 86), Jakarta, Indonesia
Makam: Astana Giribangun, Matesih, Karanganyar
Partai politik: Golkar
Istri: Raden Ajeng Siti Hartinah (m. 1947; meninggal 1996)
Orang tua: Kertosoediro (ayah), Soekirah (ibu)
Almamater:
- Schakel Muhammadiyah Yogyakarta (1935–1938)
 - Sekolah Bintara KNIL di Gombong (1940)
 
Profesi:
- Tentara
 - Politikus
 
Riwayat pekerjaan
- Pembantu Klerek Bank Desa (Volk-Bank) di Kemusuk, Yogyakarta (1938)
 - Siswa Sekolah Bintara KNIL di Gombong (1940—1942)
 - Tentara Cadangan Markas Besar Angkatan Darat KNIL (1942)
 - Pembantu/asisten Mantri Tani di Wuryantoro, Wonogiri (1942)
 - Siswa Keibuho (Polisi Jepang) Jepang (1942)
 - Komandan Regu dan Pembantu Perwira PETA di Karanganyar, Kebumen (1942—1943)
 - Siswa Pendidikan Militer Lanjutan PETA di Bogor (1943—1944)
 - Komandan Pleton (Shudanco) PETA di Glagah, Wates (1944)
 - Komandan Kompi (Chodanco) di Markas Besar PETA di Surakarta (1944)
 - Komandan Kompi (Chodanco) Perwira pendidik PETA di Desa Brebeg, Jawa Timur (1944—1945)
 - Letnan di Brigade Mataram, Yogyakarta (1945)
 - Komandan Batalyon infanteri di Kebumen dengan pangkat Kapten - Mayor (1945—1946)
 - Komandan Batalyon X di bawah Divisi IX di Yogyakarta dengan pangkat Mayor (1946—1948)
 - Komandan Brigade Mataram - Wehrkreise III di Yogyakarta dengan pangkat Letnan Kolonel (1948—1950)
 - Komandan Komando Resimen Salatiga dengan pangkat Letnan Kolonel (1950—1953)
 - Komandan Resimen Infanteri 15 di Solo dengan pangkat Letnan Kolonel (1953—1956)
 - Kepala Staf Teritorium IV/Diponegoro di Semarang dengan pangkat Letnan Kolonel (1956—1957)
 - Panglima Teritorium IV/Diponegoro di Semarang dengan pangkat Kolonel (1957—1959)
 - Siswa Sekolah Staf Komando Angkatan Darat/SSKAD (1959—1960)
 - Deputi I Kepala Staf Angkatan Darat dengan pangkat Brigadir Jenderal (1960—1961)
 - Panglima Corps Tentara Cadangan Umum Angkatan Darat/CADUAD dengan pangkat Brigadir Jenderal (1961)
 - Atase Militer/Hankam di Beograd, Yugoslavia (1961)
 - Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat dengan pangkat Mayor Jenderal (1962)
 - Panglima Komando Strategis Angkatan Darat dengan pangkat Mayor Jenderal (1962—1965)
 - Menteri/Panglima Angkatan Darat dengan pangkat Mayor Jenderal - Letnan Jenderal (1965—1968)
 - Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban/Kopkamtib (1965—1969)
 - Ketua Presidium Kabinet Ampera I (1966—1967)
 - Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ABRI merangkap Menteri Pertahanan dengan pangkat Jenderal (1968—1973)
 - Penjabat Presiden Republik Indonesia (1967—1968)
 - Presiden Republik Indonesia (1968—1998)
 - Sekertaris Jenderal Gerakan Non Blok (1992—1995)
 
• 5 Berita Populer Sulut Hari Ini: Golkar Kans Bentuk Poros Baru di Pilkada Sulawesi Utara
SUMBER INTISARI ONLINE: Pers Asing Sebut Kesaktian Soeharto Mulai Luntur Sejak Kematian Istrinya
| Sosok Herry Tumuwo Coach Basket Sulut, Kaget Dapat Penghargaan DPP Perbasi Kategori Pelatih | 
				      										 
												      	 | 
				    
|---|
| Sosok Glenny Kairupan, Tuama Manado yang Jadi Dirut Garuda Indonesia, Kariernya Cemerlang di TNI | 
				      										 
												      	 | 
				    
|---|
| Sosok Dwiyono, Eks Petinggi BIN yang Naik Pangkat Jenderal Bintang Tiga, Ini Rekam Jejaknya | 
				      										 
												      	 | 
				    
|---|
| Sosok Chelsea Jenny Pattiwael: Ajudan Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda, Lulusan IPDN | 
				      										 
												      	 | 
				    
|---|
| Sosok Junaidi Mamonto, Baru Dilantik Jadi Camat Singkil Manado | 
				      										 
												      	 | 
				    
|---|
			:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/manado/foto/bank/originals/Presiden-Republik-Indonesia-yang-kedua-Soeharto.jpg)
                
												      	
												      	
												      	
												      	
												      	
				
			
											
											
											
											
											
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.