Rupiah Anjlok 16.176 per Dolar AS, Ekonom: Indonesia Untung, Harga CPO - Nikel Berpotensi Naik
Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berpotensi menaikkan harga minyak mentah ke 100 dolar per barel dan menguntungkan Indonesia.
TRIBUNMANADO.CO.ID, Jakarta - Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berpotensi menaikkan harga minyak mentah ke 100 dolar per barel dan menguntungkan Indonesia.
Rupiah melemah terhadap dolar pada perdagangan, Selasa (16/4/2024). Mengutip Bloomberg, Selasa (16/4), nilai tukar rupiah di pasar spot ditutup ambruk 2,07 persen ke Rp 16.176 per dolar AS. Adapun indeks dolar AS menguat 0,08 persen ke 106,29.
Direktur Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi menjelaskan, hal tersebut akan berdampak ke Indonesia. Harga minyak mentah berpotensi naik sampai 100 dolar per barel. Sehingga membuat impor minyak Indonesia membengkak. Pasalnya, Indonesia merupakan salah satu importir minyak mentah terbesar di Asia.
Lanjut dia, indeks dolar naik karena menguatnya data ekonomi AS, salah satunya data penjualan ritel naik 0,7 persen dari bulan lalu.
Ibrahim mengatakan, sentimen lainnya datang dari inflasi AS yang masih cukup tinggi, sehingga membuat Bank Sentral Amerika Federal Reserve (The Fed) ragu-ragu mengambil langkah untuk menurunkan suku bunga atau mempertahankan suku bunga.
Namun, dia memperkirakan bahwa The Fed bisa saja menaikkan suku bunga karena eskalasi konflik yang tinggi di Timur Tengh.
Lebih lanjut, Ibrahim menyebutkan sentimen lainnya yang membuat indeks dolar kembali mengalami penguatan yaitu, karena komentar dari pejabat The Fed yang mengatakan kemungkinan besar The Fed tidak akan menurunkan suku bunga di semester II/2024 atau hanya menurunkan 25 bps.
Sedangkan dari Timur Tengah, Ibrahim bilang, Kementerian Perang di Israel telah memberikan pernyataan di akhir pekan, bahwa Israel akan melakukan serangan balik ke Iran.
“Hal tersebut membuat indeks dolar akan diprediksi bisa menuju 110-112, yang merupakan level tertinggi sepanjang masa yang ditakutkan pasar,” kata Ibrahim kepada Kontan.co.id, Selasa (16/4).
Dampak kedua, Ibrahim bilang, intervensi Bank Indonesia (BI) di pasar DNDF kemungkinan besar tidak akan cukup kuat menahan laju pelemahan rupiah, sehingga di akhir bulan ini BI harus menaikkan suku bunga 25 bps untuk menstabilkan rupiah.
Selain itu, dia mengatakan bahwa pemerintah juga harus melakukan intervensi melalui operasi pasar karena harga bahan pokok yang mengalami kenaikan perlu distabilkan.
“Akan tetapi, Indonesia juga akan diuntungkan karena AS memberikan sanksi ke Rusia tidak boleh melakukan ekspor komoditas,” imbuhnya.
Dengan begitu, dia menuturkan akan membuat harga-harga komoditas melonjak tinggi dan bisa dinikmati Indonesia.
Peningkatan harga komoditas seperti Crude Palm Oil (CPO), batu bara, nikel, dan timah ini akan membuat neraca perdagangan Indonesia positif.
Ibrahim menilai, hal itu juga akan menahan laju penguatan indeks dolar. Dia pun memprediksi, mata uang rupiah masih akan ditutup melemah pada rentang Rp 16.160 per dolar AS-Rp 16.250 per dolar AS pada Rabu (17/4).
Sementara itu, Analis Pasar Mata Uang, Lukman Leong memperkirakan, pada pembukaan perdagangan besok, rupiah masih akan tertekan atau melemah oleh laju dolar AS.
Lukman mengatakan, sentimen utama yang membuat dolar AS kembali menguat yaitu, karena masih adanya kenaikan inflasi dan imbal obligasi AS serta konflik di Timur Tengah.
“Konflik tersebut seperti yang terjadi baru-baru ini, serangan Iran ke Israel, dan rencana Israel yang ingin membalas Iran,” kata Lukman kepada Kontan.co.id, Selasa (16/4).
Sedangkan sentimen dari domestik atau dalam negeri, Lukman mengatakan bahwa investor sedang menantikan data penjualan ritel.
Lukman pun memprediksi rupiah pada besok, Rabu (17/4) akan berada di kisaran Rp 16.100 per dolar AS-Rp 16.250 per dolar AS.
Biaya Intervensi
Bank Indonesia (BI) melakukan intervensi untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah yang saat ini mengalami pelemahan hampir mendekati Rp 16.200 per dolar AS.
Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky menyampaikan, besaran biaya intervensi yang dikeluarkan oleh BI akan tergantung dari seberapa berkepanjangan konflik Iran dan Israel.
“Sepertinya baru hari ini BI melakukan intervensi karena kan kemarin libur. Tapi hari ini cukup besar ya intervensinya, kita juga masih terus update lagi datanya,” tutur Riefky kepada Kontan, Selasa (16/4).
Akan tetapi Ia belum bisa memastikan besaran biaya intervensi yang akan dikeluarkan oleh BI. Yang jelas, biayanya akan jauh lebih rendah dari saat BI melakukan intervensi pada pandemi Covid-19 2020 lalu.
Ini karena, saat pandemi Covid-19, BI juga melakukan burden sharing dengan pemerintah untuk menjaga defisit APBN. Pada 2020 lalu, kondisi defisit APBN mencapai 6,09 persen dari produk domestik bruto (PDB). (Tribun)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.