Breaking News
Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

TKW

Kisah Ester Lumintang TKW di Jerman, 8 Tahun Jadi Perawat Lansia, Gajinya Menggiurkan

Dari pekerjaan itu, sang istri bisa beroleh penghasilan sebesar 3000 Euro. Jauh lebih sejahtera dibanding di Indonesia.

Penulis: Alpen Martinus | Editor: Alpen Martinus
Tribun Pontianak
Ilustrasi TKI atau TKW 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri tak selamanya mendapat perlakuan kasar dari majikan.

Itu tergantung di negara mana tempat mereka bekerja dan pekerja apa yang dilakukan.

Sebab selain asisten rumah tangga, masih banyak pekerjaan lain yang bisa dikerjakan.

Baca juga: Berikut Negara Tujuan Kebanyakan Pekerja Migran Indonesia dari Sulawesi Utara, Asia Hingga Eropa

Seperti pekerajaan yang dingga saat tengah digeluti oleh Ester Lumintang.

Ia adalah warga Sulawesi Utara yang kini tengah bekerja di Jerman.

Hingga saat ini ia sudah delapan tahun ia bekerja di sana.

Ester bekerja sebagai perawat.

Baca juga: Viral Cuitan TKW di Hongkong yang Kena Denda Rp 9 Juta dari Bea Cukai, Padahal Harga Barang Segini

Banyak warga Sulawesi Utara yang kerja di Luar Negeri, termasuk di Negara Jerman.
Banyak warga Sulawesi Utara yang kerja di Luar Negeri, termasuk di Negara Jerman. (HO)

Asalkan legal, bekerja di luar negeri sangat menjanjikan. Gaji besar. Hak pekerja dijamin. 

"Ia bekerja sebagai perawat lansia atau dikenal dengan altenflege," kata sang suami Adi Turunan via WA Minggu (9/4/2023). 

Menurut dia, pekerjaan ini beda dengan perawat biasa. Butuh keahlian khusus.

"Harus sekolah dulu selama 3 tahun namanya ausbildung," katanya. 

Baca juga: Kisah Isa TKW di Taiwan, Tak Mengerti Bahasa Majikan, Terpaksa Lakukan Hal Ini

Dari pekerjaan itu, sang istri bisa beroleh penghasilan sebesar 3000 Euro. Jauh lebih sejahtera dibanding di Indonesia.

"Mereka tiap tahun juga ada kenaikan gaji dan diberikan banyak waktu istirahat apalagi cuti untuk wanita jauh lebih lama," katanya.

Sebut dia, pajak di sana tinggi. 

Namun itu sebanding dengan semua hak yang didapat disana.

Segala pencapaian itu tak diperoleh dengan mudah.

Pada masa awalnya di Jerman, Esther berjuang keras untuk menyesuaikan diri. 

"Banyak kebiasaan dan budaya yang terbentuk selama hidup di negeri sendiri yang ternyata sangat tidak menguntungkan untuk dipraktekkan saat kita berada di negeri orang, terutama di negara maju," kata dia. 

Kendala utama adalah bahasa. Esther berupaya keras mempelajari bahasa Jerman. Kemudian budaya.

"Layaknya negara maju pada umumnya, hidup di Jerman menuntut untuk hidup teratur, dalam arti bahwa segala aspek kehidupan di sini di atur secara hukum termasuk dalam hal kecil misalnya kehidupan sehari-hari, bertetangga, di jalan, di tempat kerja.

Banyak hal yang sudah diatur secara legal yang tidak bisa dilanggar.

Dan itu semua dibuat demi keteraturan dan kenyamanan semua orang," kata dia.

Kedisiplinan juga musti jadi bagian hidup para pekerja Indonesia di Jerman. Orang Jerman dikenal sangat berdisiplin. 

"Dalam semua urusan, secara pribadi atau secara formal, kita dituntut untuk disiplin, dalam hal waktu dan pekerjaan," katanya. 

Delapan tahun di Jerman, ia punya penilaian sendiri tentang Jerman. 

Menurutnya masyarakat negara itu semenjak kecil sudah dilatih dengan kultur yang teratur, disiplin, konsisten dan bertanggung jawab. 

Orang Jerman juga punya budaya menghormati, saling membantu dan perhatian terhadap orang lain. 

"Gambaran karakteristik itu semua  membawa saya pada kesimpulan bahwa tidak heran mengapa mereka bertumbuh, berkembang dengan peradaban yang tinggi dan membawa mereka pada kehidupan sebagai negara maju," kata dia. 

Sebut Esther, kunci dari keberhasilannya di negeri orang adalah pemahaman budaya serta etos kerja yang tinggi. 

"Perjuangan dan usaha yang konsisten, berusaha mengubah diri menjadi lebih disiplin dan berkembang adalah metode terbaik untuk bisa hidup dan berkarir di negara maju manapun.

Tentu pada akhirnya kita juga akan menikmati kenyamanan, keteraturan dan kehidupan finansial yang lebih baik yang ditawarkan," kata dia. 

Tentu Esther kadang kadang rindu Manado. Jika demikian, ia akan mengunjungi Supermarket atau restoran Asia.

"Jadi bisa mengobati rasa rindu makanan Asia," kata dia.

Di Jerman, Esther ada di grup komunitas orang Indonesia di Jerman. Tapi ia tak bergabung.

"Karena sulit cari waktu," katanya.

Dengan sang suami, Esther lancar berkomunikasi. 

"Komunikasi lancar, pagi siang malam via medsos apa saja. Kalau saya pake Whatsapp. Komunikasi lancar seperti dalam negeri. Hanya masalah perbedaan waktu 6 jam. Jadi waktu istirahat yang berbeda," katanya. (Art) 

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved