Lokal Bercerita
Cerita Terbentuknya Kampung Jawa Tondano di Minahasa, Berawal dari Kedatangan Rombongan Kyai Modjo
Awalnya Kampung Jawa Tondano berstatus Desa yang unik, didirikan oleh Kyai Modjo yang nama aslinya Kyai Muslim Muhammad Chalifah.
Penulis: Mejer Lumantow | Editor: Rizali Posumah
Manado, TRIBUNMANADO.CO.ID - Kampung Jawa Tondano (Jaton), yang berada di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, menyimpan kisah sejarah yang panjang dan heroik.
Kampung Jawa Tondano bermula dari kedatangan rombongan Kyai Modjo yang nama aslinya Kyai Muslim Muhammad Chalifah.
Beliau adalah seorang ulama terkenal di Jawa dan Panglima Perang Santri yang ditangkap Penjajah Belanda dalam Perang Jawa 1825-1830.
Beliau lahir tahun 1764 di Modjo Bojolali/Solo Jawa Tengah bergabung dalam Perang Jawa 1825-1830 atas permintaan Pangeran Diponegoro tahun `1825 pada umur 61 tahun, yang kemudian diangkatnya sebagai Penasehat Agama dan Panglima Perang Santri.
Menurut Prof Dr Ishak Pulukadang selaku Ketua Lembaga Adat Pakasaan Jawa Tondano Minahasa menuturkan, Kyai Modjo saat itu disebut Belanda sebagai musuh yang ditakuti serta Center of Grafity Perang Jawa.
Oleh karena itu, beliau jadi sasaran utama penangkapan untuk melemahkan Perang Jawa.
Beliau ditangkap tentara Belanda saat dengan sengaja meninggalkan tempat perundingan dengan Belanda di Klaten Jawa Tengah bersama 500 pasukan pengikutnya.
Tetapi dijebak dan dicegat tentara Belanda dengan overnmacht ketika akan pulang ke Pajang, berdasarkan perintah Jenderal de Kock.

"Di mana penangkapan itu bertentangan dengan etika perang saat itu karena saat perundingan terjadi apabila tidak ada kesepakatan tidak boleh ada mata-mata dan penangkapan.
Dikemudian hari tindakan tidak etis ini disesalkan Pangeran Hendrik," jelas Prof Pulukadang saat diwawancarai Tribunmanado.co.id, Kamis (26/1/2023).
Para pengikut Kyai Modjo ini semuanya laki-laki karena tidak diperkenankan membawa istri bagi yang sudah kawin.
Di Tondano mereka beradaptasi dengan baik lewat pergaulan hingga menjadi guru bagi penduduk setempat.
Terutama soal cara mengolah lembah Tondano yang masih banyak rawa serta hutan yang lebat.
Para penduduk setempat lalu dijarai oleh Kyai Modjo dan pengikutnya cara bercocok tanam padi sawah melalui drainase
"Yang awalnya menggunakan sekop dari kayu baru kemudian diberikan bajak dari besi dan sapi oleh Gubernur Maluku," katanya.
Di mana saat itu penduduk setempat belum mengenal cara menanam padi seperti yang diajarkan orang-orang Jawa ini, kecuali keahlian mengolah padi ladang.
Sehubungan dengan itu ternyata dengan bertempat tinggalnya Kyai Modjo dan Pengikutnya diwilayah itu membuat penduduk setempat bekerja lebih baik, karena orang-orang Jawa itu mengajar bercocok tanam.
Walhasil para pengikut Kyai Modjo ini diterima dengan sangat baik oleh penduduk setempat.
"dan kemudian bisa diterima meminang dan menikahi wanita penduduk asli di Tonsealama dan Tondano jantung Minahasa," terang Prof Pulukadang.
Terbentuknya Komunitas Jawa Tondano atau Jaton
Awal mula terbentuknya komunitas Jaton bermula dari mantan Komandan Pasukan seorang Pemuda bernama Tumenggung Zees umur 20 tahun kawin dengan Wurenga anak gadis dari Walak (Hulubalang) Tonsealama Rumbayan.
Pernikahan itu diselenggarakan 7 hari 7 malam dengan paduan pakaian Adat Kraton Jogja dan Kebaya Minahasa.
Serta paduan seni Jawa Islami (dimeriahkan dengan seni Terbangan dan Selawatan Jowo didalangi oleh 4 ahli Selawatan dengan Kitab Telodo( Barzanzi) dan seni Minahasa (Maengket dan Masambo).
Lalu disusul Gazali Modjo anak Kyai Modjo kawin dengan Ingkingan Tombokan anak dari Walak Tondano Tombokan.
Kemudian Haji Ngiso (Wiso Pulukadang) Komandan Pasukan dan Penasehat Pangeran Diponegoro kawin dengan anak Opo Pakasi Warouw Walak Kakas.
Asnawi Tumenggung Reksonegoro Pulukadang menikah dengan Wuring Tumbelaka anak Walak Amurang.
Haji Tayeb menikah dengan Rea Wenas dari Tonsealama (asal Tomohon), Ali Imran (Masloman) menikah dengan Yehia Ratulangi asal Paleloan Urongo Tondano.
Singkat cerita pada tahun 1831 sejumlah kurang lebih 50 orang pengikut Kyai Modjo telah kawin dengan gadis penduduk Asli Minahasa dan mereka semua masuk Islam mengikuti suami.
"Dari perkawinan ini menurunkan generasi yang dinamakan Jawa Tondano atau popular disebut Jaton yang beragama Islam dan mewarisi paduan budaya Jawa dan Minahasa dengan keunikannya tersendiri," papar Prof Pulukadang.
Oleh karena keunikannya itu, sejak lama Kampung Jawa Tondano dijadikan wisata Religi dan Desa Budaya oleh masyarakat serta oleh Pemerintah Minahasa.
Dan sejak tahun 2014 Kelurahan Kampung Jawa Tondano telah dijadikan kawasan strategis Propinsi Sulawesi Utara.
"Yang kemudian dikelilingi mayoritas penduduk asli yang memeluk Agama Kristen setelah kedatangan Misionaris Johann Friedrich Riedel di Tondano tahun 1831," jelasnya
Makam Zendeling atau Pekabar Injil Riedel ini terletak di Kelurahan Ranowangko Kecamatan Tondano Timur sebagai tetangga Kampung Jawa Tondano.
Dan bersama makam Kyai Modjo juga telah dimasukkan menjadi salah satu kawasan budaya bagian dari Kampung Jawa Tondano sebagai kawasan Strategis Propinsi Sulawesi Utara.
Peresmian terbentuknya Desa Kampung Jawa, yakni sejak tahun perkawinan para pengikut Kyai Modjo dengan anak para Walak Minahasa itu pula.
Tepatnya dibulan Haji untuk penanggalan Hijriah bertepatan dengan tahun 1831 masehi.
"Jika mengacu pada kedatangan Kyai Modjo dan rombongannya maka itu tanggal 1 Maret 1831," kata Prof Pulukadang yang juga Mantan Dosen di FISIP Unsrat ini.
"Tahun inilah secara resmi Kampung jawa dijadikan Desa oleh pemerintah Belanda," ujar dia.
Budaya khas Jaton
Sejak terbentuknya Komunitas Jaton sebagai hasil Asimilasi dan Akulturasi budaya Jawa dan Minahasa serta budaya Melayu, telah membentuk dan melahirkan Budaya Komunitas Pakasaan Jaton yang unik sebagai sarana pendidikan kharakter bagi generasi keturunannya.
Selain itu, Ada banyak yang hal yang diwariskan Kyai Modjo kepada keturunan Jaton ini.
Kyai Modjo dan pengikutnya mewariskan Pendidikan Mental yang unik kepada keturunanany
Pertama, Mewarisi Kharakter Islami yang Fanatik tetapi tidak Fanatisme, melalui pendidikan Agama dan Adat Budayanya sebagai paduan budaya Jawa, budaya Minahasa, dan budaya Melayu.
Tetapi dalam hal adanya acara terutama di Masjid wajib berpakaian Islami berupa terutama Kopiah atau Sorban serta Kain Sarung .
"Komunitas Jaton ini mewarisi terutama Mazhab Syafii oleh karena itu Sholat Subuhnya gunakan doa Qunut.
Bahkan pada masa adanya ancaman pandemi Covid 19 tidak saja Sholat Subuh membaca Doa Qunut tetapi setiap rakaat terakhir pada settiap Sholat lima wakru dan Sholat Jumat," ungkap Ketua Dewan Penasehat Badan Takmir Masjid Agung Kyai Modjo ini.
Kedua, Mewarisi kharakter Heroisme sebagai warian leluhur yang berani menentang kezoliman penguasa serta rela berkorban jiwa, raga, harta dan keluarga.
Ketiga, Mewarisi kharakter Rukun (Guyob) dan Damai baik antar internal komunitas Jaton maupun antar komunitas eksternal.
"Walaupun demikian khusus komunitas internal Jaton ada kecedrungan berkembang sikap individualisme yang dalam bahasa Jaton disebut Meendoan Te Teu De’we’.
Sehingga berkembang istilah istilah terutama Rei Kawe Wera (tidak mau dengar pendapat orang), Kopero (selalu melecehkan) dan Kosulu (merajuk)," ujar dia.
"Walaupun ketiga istilah itu sebenarnya berkonotasi kritik yang diperlukan sebagai bentuk untuk meluruskan. Yang penting ungkapan-ungkapan itu rasional objektif dan tidak anarchis," kata Prof Pulukadang.
Keempat, Mewarisi kharakter Mapalus atau Gotong Royong yang dalam bahasa Jawa ada istilah lain yang berkembang di Kampung Jawa yaitu Sambatan yang sama artinya dengan gotong royong di mana warga bekerja secara suka rela.
Kelima, Mewarisi kharakter saling menghargai dalam hubungan terutama suku dan agama atau dalam bahasa pemerintah sekarang mewarisi sikap Toleran.
Berikut ini beragam adat budayanya sebagai paduan terutama Budaya Jawa, Budaya Minahasa dan Budaya Melayu.
Selain itu, Prof Pulukadang menambahkan, ada juga tradisi Selawat Jowo.
Nah, Selawat Jowo ini adalah Identitas Utama Komunitas Pakasaan Jaton.
Sebagai budaya Selawat Jowo ini dilestarikan lewat Kumpulan Selawat Jowo di Komunitas Jaton di Kampung Jawa Tondano.
"Ini meliputi dari segi kesusastraan atau karya kesenian berupa prosa dan Puisi, kemudian Selawat Jowo ini antara lain mewarisi puisi-puisi yang disebut Turon.
Selawat Jowo ini terdiri atas 18 Turon dengan jumlah 55 lagu," tutup Mantan Anggota DPRD Sulut dan MPR RI ini. (Mjr)
Baca berita lainnya di: Google News.
Berita terbaru Tribun Manado: klik di sini.
Industri Rumah Panggung Woloan Tomohon Mendunia, Dikirim Hingga ke Argentina |
![]() |
---|
Cerita David Ngala, 10 Tahun Membuat Rumah Panggung Woloan di Tomohon Sulawesi Utara |
![]() |
---|
Mengenal Rumah Panggung Woloan Khas Minahasa yang Sudah Mendunia |
![]() |
---|
Kisah Pekerja Rumah Panggung Woloan Adri Uhing, Bisa Bangun Rumah Sendiri untuk Keluarga |
![]() |
---|
Pengusaha Rumah Panggung Woloan Johanis Sindim Raup Penghasilan Ratusan Juta |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.