Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Brigadir J Tewas

5 Keterangan Saksi Ahli Hukum Pidana di Sidang Ferdy Sambo, Sebut Pemberi Perintah Tak Bisa Dipidana

Simak 5 keterangan saksi Ahli Hukum Pidana di sidang Ferdy Sambo di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (3/1/2023).

Editor: Tirza Ponto
Tribunnews.com/Rizki Sandi Saputra
5 Keterangan Saksi Ahli Hukum Pidana di Sidang Ferdy Sambo, Sebut Pemberi Perintah Tak Bisa Dipidana 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Sidang kasus pembunuhan Brigadir Yosua alias Brigadir J terus bergulir.

Sejumlah saksi turut dihadirkan dalam sidang.

Terbaru, sidang lanjutan dengan terdakwa Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (3/1/2023).

Pada sidang tersebut saksi Ahli Hukum Pidana dari Universitas Hasanuddin, Said Karim dihadirkan sebagai ahli meringankan untuk terdakwa Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi.

Ahli hukum pidana Universitas Hasanuddin, Said Karim, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (3/1/2023). Keterangan ahli hukum pidana dari Universitas Hasanuddin, Said Karim, saat menjadi ahli meringankan untuk terdakwa Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi.
Ahli hukum pidana Universitas Hasanuddin, Said Karim, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (3/1/2023). Keterangan ahli hukum pidana dari Universitas Hasanuddin, Said Karim, saat menjadi ahli meringankan untuk terdakwa Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi. (Tribunnews.com/Rizki Sandi Saputra/Rahmat W Nugraha)

Baca juga: Profil Prof Said Karim, Saksi Ahli yang Ringankan Ferdy Sambo dan PC, Tingkahnya Bikin Heboh Sidang

Menurut kuasa hukum Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi, Febri Diansyah, menyebutkan ada beberapa poin yang ingin didalami sesuai dengan keahlian Said Karim.

Harapan Febri Diansyah dengan dihadirkannya Said Karim sebagai saksi ahli meringankan itu bisa membuat perkara yang menjerat kliennya menjadi lebih jelas di persidangan.

Said Karim pun memaparkan sejumlah keterangannya di sidang tersebut.

Lalu apa saja keterangan yang dipaparkan Said Karim di persidangan?

1. Motif Pembunuhan Penting Dibuktikan

Said Karim menjelaskan, motif suatu pembunuhan penting dibuktikan di pengadilan.

"Kalau hal itu dipertanyakan kepada saya sebagai salah seorang yang sedikit belajar hukum pidana, kalau tadinya apakah motif itu perlu dibuktikan?"

"Maka menurut pendapat saya, motif pelaku dalam melakukan tindak pidana materil penting untuk dibuktikan," ungkapnya dalam persidangan, Selasa, dikutip dari Kompas.com.

Menurutnya, motif perlu diungkap karena adanya motif menjadi pembeda peristiwa pembunuhan biasa dan pembunuhan yang disebabkan dengan peristiwa sebelumnya.

"Karena kalau motifnya itu karena didahului ada peristiwa dan peristiwa itu membuat dia (terdakwa) marah besar lalu kemudian itu terjadi, maka berbeda pertimbangan majelis hakim dengan yang murni pembunuhan tanpa ada peristiwa yang mendahului," jelas Said Karim.

2. Tak Temukan Unsur Berencana

Di persidangan, tim penasihat hukum sempat memaparkan kondisi Ferdy Sambo menjelang peristiwa pembunuhan.

"Bagaimana kalau sebenarnya tidak ada rencana melakukan pembunuhan, tapi yang ada adalah klarifikasi? Waktunya pun bukan sore hari, tapi malam hari."

"Kemudian ada situasi di perjalanan. Ketika terdakwa FS melihat Yosua di depan gerbang menjadi sangat emosional."

"Apakah bisa disebut memenuhi aspek kesengajaan?" ujar pengacara Ferdy Sambo, Selasa.

Said Karim pun menjelaskan, kesengajaan merupakan perbuatan nyata dari pelaku.

"Dan kematian ini memang dikehendaki oleh pelaku," jawabnya.

Dari uraian kronologi yang dijelaskan tim penasihat hukum, Said Karim mengaku tidak melihat adanya unsur berencana di dalam perkara ini.

"Kalau saya mendengarkan uraian kronologis, saya tidak melihat adanya unsur berencana."

"Karena serta merta berhenti dan kemudian melakukan klarifikasi," terangnya.

3. Ferdy Sambo Tidak Tenang Dengar Istrinya Diperkosa

Terdakwa kasus pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, Ferdy Sambo menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (6/12/2022). (Warta Kota/YULIANTO)
Terdakwa kasus pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, Ferdy Sambo menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (6/12/2022). (Warta Kota/YULIANTO) (WARTA KOTA/YULIANTO)

Baca juga: Pemeriksaan Lokasi Pembunuhan Brigadir J di Rumah Ferdy Sambo Ditayangkan TV Pool, Hakim Minta Ini

Dikutip dari Kompas.tv, Said Karim juga menilai, Ferdy Sambo tidak dalam kondisi tenang setelah mendengar Putri Candrawathi diperkosa oleh Brigadir J.

“Bagaimana mungkin saudara terdakwa FS bisa berada dalam keadaan tenang, ketika atau di saat dia mendapatkan pemberitahuan dari istrinya, bahwa istrinya baru saja mengalami tindakan pemerkosaan,” katanya, Selasa.

Bagi Said Karim, sepatutnya laki-laki atau suami normal ketika mendengar istrinya telah diperkosa, tentu saja marah.

Menurutnya, itu menyangkut dengan harkat dan martabat sebagai seorang laki-laki atau suami.

“Semua laki-laki normal di dunia ini mendengarkan kabar bahwa istrinya diperkosa, saya yakin dan percaya dia pasti marah, kecuali kalau dia tidak normal,” ucap Said Karim.

“Tapi kalau dia normal, pasti mendidih darahnya itu, memuncak kemarahannya, karena itu adalah harkat martabat yang harus dipertahankan," imbuhnya.

4. Pemberi Perintah Tak Bisa Dipidana

Said Karim menyebut, Ferdy Sambo tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

Hal ini merujuk atas singgungan kuasa hukum Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi, Febri Diansyah, soal perintah 'hajar' yang diklaim disalahartikan oleh Bharada Richard Eliezer atau Bharada E dengan menembak Brigadir J.

"Dalam situasi penganjur menganjurkan untuk melakukan sesuatu perbuatan, katakanlah dia menganjurkan untuk memukul ya."

"Tapi ternyata kemudian karena yang bersangkutan yang disuruh itu pelaku peserta memiliki senjata api dia tidak memukul malah langsung dia tembak, dia tembak lagi biasanya kan orang menembak berkualifikasi mulai dari kaki."

"Dia akan menembak langsung ke daerah yang mematikan," kata Said Karim.

"Tapi dia langsung menembak pada bagian yang sangat berbahaya bagi kehidupan umat manusia, mungkin daerah perut atau jantung dan memang sasaran mematikan," lanjutnya.

Baca juga: Ferdy Sambo Tak Bersedia Jadi Saksi Perkara Putri Candrawathi, Putri juga Tak Mau Jadi Saksi Sambo

Said Karim menambahkan, konsekuensi hukum soal adanya perbedaan tindakan untuk perintah yang disalahartikan oleh orang yang diberi perintah, maka pemberi perintah dalam hal ini tidak bisa dipidana.

"Jadi dalam hal yang seperti ini menurut pengetahuan hukum yang saya pahami, penganjur tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana terhadap pidana terhadap perbuatan yang tidak dia anjurkan, tidak bisa," terangnya.

5. Soal Tak Adanya Visum

Sementara itu, tim penasihat hukum Putri Candrawathi sempat mempertanyakan soal pentingnya visum dalam pembuktian kasus kekerasan seksual.

Mengenai hal itu, Said Karim mengatakan, tak adanya visum bukan berarti bahwa peristiwa kekerasan seksual tidak terjadi.

"Tidak berarti dengan tidak adanya visum, bahwa ini dianggap tidak benar terjadi," katanya, Selasa.

Apabila tak ada visum, maka menurutnya masih ada alat bukti lain yang dapat digunakan dalam perkara kekerasan seksual.

"Kalau misalnya visum tidak ada, maka mungkin ada alat bukti lain yang digunakan untuk memberi penguatan tentang pembuktian terjadinya tindak pidana kekerasan seksual," ungkap Said Karim.

Baca juga: Profil Said Karim, Guru Besar Unhas yang Jadi Ahli Meringankan Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi

Diketahui, Brigadir J tewas di rumah dinas Ferdy Sambo di Kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan pada 8 Juli 2022.

Peristiwa pembunuhan Brigadir J disebut terjadi lantaran adanya cerita sepihak dari Putri Candrawathi yang mengaku dilecehkan Brigadir J di Magelang pada 7 Juli 2022.

Atas informasi itu, Ferdy Sambo marah dan merencanakan pembunuhan terhadap Brigadir J.

Dalam peristiwa tersebut, Ferdy Sambo melibatkan Bharada E, Bripka Ricky Rizal, dan Kuat Maruf.

Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Bharada E, Bripka Ricky Rizal, dan Kuat Maruf, didakwa melanggar Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 56 ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Kelimanya terancam pidana maksimal hukuman mati, penjara seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun.

(Tribunnews.com/Nuryanti/Abdi Ryanda Shakti/Ashri Fadilla) (Kompas.com/Singgih Wiryono) (Kompas.tv/Ninuk Cucu Suwanti)

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com

Baca Berita Lainnya di: Google News

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved