Catatan Willy Kumurur
Prancis vs Maroko di Piala Dunia 2022, Dongeng dan Sejarah
Koran Turki, The Daily Sabah, melukiskan perjalanan tim Maroko di Piala Dunia 2022 sebagai “Dongeng Piala Dunia.”
Oleh: Willy Kumurur
Dokter lulusan Fakultas Kedokteran Unsrat Manado - Penikmat Bola
"Hidup itu sendiri adalah dongeng yang paling indah," tutur Hans Christian Andersen, penulis dongeng mashyur dari Denmark.
Koran Turki, The Daily Sabah, melukiskan perjalanan tim Maroko di Piala Dunia 2022 sebagai “Dongeng Piala Dunia.”
Seperti biasanya, hal-hal seperti ini yang terjadi: turnamen sepak bola dimulai. Tim underdog tersingkir di babak penyisihan grup.
Yang bertahan adalah negara adidaya di sepakbola seperti Prancis, Jerman, Spanyol, Brasil, dan negara lain dengan tim nasional yang kuat secara tradisional mendominasi sisa kompetisi.
Baca juga: Legenda Portugal Ungkap Penyebab Selecao Gagal di Piala Dunia 2022, Bela Cristiano Ronaldo
Namun, apa yang terjadi? Brasil dan Jerman, dua raksasa dunia yang di lencananya masing-masing terpatri bintang lima dan empat –sebagai jumlah berapa kali meraih trofi Piala Dunia- telah tersingkir dari kancah Piala Dunia 2022.
Brasil kalah dari Kroasia. Sementara Jerman bahkan tidak bisa melewati babak penyisihan grup.
Sebelum sampai ke semifinal, Maroko telah menyingkirkan tim-tim besar: Belgia dan Spanyol serta yang terakhir Portugal plus Cristiano Ronaldo.
Setelah kemenangan atas Spanyol, penyiar Al Jazeera berbicara tentang "gelombang euforia" di seluruh dunia Arab. Inilah dongeng yang ditulis oleh Maroko.
Pelatih Maroko, Walid Regragui, dalam kemenangan bersejarah atas Portugal mengatakan: “Kami adalah Rocky Balboa Piala Dunia,” sebagaimana diwartakan oleh ESPN.
Selain menulis dongeng, “Mereka sedang menulis sejarah sepak bola Maroko. Mereka memiliki kekuatan kolektif dengan penampilan yang memberi mereka banyak kepercayaan diri," ujar bek tengah Prancis, Raphael Varane.
Sekarang ini, Maroko bertekad untuk menerobos rintangan apa pun yang berani menghalangi jalan mereka.
Di semifinal dinihari nanti Maroko berhadapan dengan negara bekas penjajah mereka: Prancis.
Baca juga: Prediksi Prancis vs Maroko, Laga Semi Final Piala Dunia 2022: Skor, Line Up hingga Rekor Pertemuan
Sebagaimana yang diceritakan sejarah kepada kita, pendudukan Prancis di Maroko dimulai pada tahun 1907 dan berlanjut hingga 1934.
Dengan Perjanjian Fez tahun 1912, Prancis membentuk protektorat atas Maroko dan menghabiskan dua dekade berikutnya menguras kekayaan alam Maroko seperti fosfat, bijih besi, dan timbal.
Saat ini, cadangan fosfat Maroko diyakini hampir 75 persen dari semua cadangan fosfat secara global.
The Daily Sabah menulis bahwa sekarang, sudah waktunya bagi Maroko untuk menunjukkan kepada mantan penjajah mereka -melalui prestasi olahraga- bahwa mereka tidak lagi tunduk pada sang tuan.
Masa-masa kolonialisme dan protektorat telah berakhir –meskipun beberapa aspek imperialisme terus bertahan, seperti cengkeraman korporasi Prancis pada bisnis Afrika.
Sehingga kemenangan melawan Prancis akan sangat berarti bagi orang Afrika dan orang lain di seluruh dunia yang menderita akibat kolonialisme Eropa di masa lalu.
Bahwa satu-satunya hal yang sangat jelas: kemenangan itu tidak dianggap sebagai kemenangan Afrika atau Arab oleh massa di seluruh dunia.
Sebaliknya, itu dianggap sebagai keberhasilan semua negara underdog di tujuh benua.
Baca juga: Profil Sofiane Boufal, Striker Maroko yang Curi Perhatian Ternyata Begitu Menghormati Sang Ibunda
Tentu saja, para pemain timnas Prancis bukanlah yang melakukan penjajahan tersebut dan malah ironisnya, banyak dari skuad Prancis adalah etnis Afrika yang negara orang tuanya pernah dijajah oleh Prancis.
Dengan demikian, jelas bahwa para pesepakbola yang mengenakan seragam Prancis bukanlah orang-orang yang harus menjadi sasaran balas dendam.
Mereka yang pernah tertindas menyukai simbolisme dan representasi, yang melihat persaingan terletak pada inti evolusi –survival of the fittest- sebagai permulaan.
Sepakbola tak hanya sekadar sepakbola. Di balik bola terdapat isu tentang imperialisme, tentang sejarah, tentang evolusi manusia, tentang persaingan antara Barat dan Timur, tentang perang budaya, dan tentang eksistensi manusia.
Manusia adalah satu-satunya makhluk hidup yang memiliki sejarah, ujar tokoh pendidikan Brasil, Paulo Freire.
Manusia menciptakan sejarah, sebaliknya manusia diciptakan oleh sejarah.
Freire melanjutkan, manusia adalah mahkluk terunggul karena kemampuannya untuk melakukan refleksi, termasuk operasi intensionalitas, keterarahan, temporaritas dan trasendensi.
Tindakan dan kesadaran manusia bersifat historis bahwa “di sini” berhubungan “di sana,” masa lalu berhubungan masa sekarang dan masa sekarang berkaitan dengan masa depan.****