Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Berita Nasional

BPOM Janji Perbaiki Sistem Pengawasan Pasca Temuan EG dan DEG di Obat Sirop

Menindaklanjuti temuan itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI) berjanji kasus cemaran pada obat sirup tidak terjadi lagi.

Istimewa/Internet/HO
BPOM Janji Perbaiki Sistem Pengawasan Pasca Marak Temuan EG dan DEG di Obat Sirop 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Baru-baru ini, sebanyak dua perusahaan farmasi ditemukan menggunakan etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) melebihi ambang batas dalam produksi obat sirop.

Dua perusahaan farmasi itu adalah PT Yarindo Farmatama dan PT Universal Pharmaceutical Industries.

Menindaklanjuti temuan itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI) berjanji kasus cemaran pada obat sirup tidak terjadi lagi.

Melalui petingginya, Kepala BPOM Penny K. Lukito mengklaim, pihaknya secara rutin melakukan pengawasan.

Baca juga: HEBOH Surat Cinta Milik Bocah Kelas 6 SD Bernada Pelecehan, Sampai Minta Bertemu di Kamar Mandi

Baca juga: Hasil Hylo Open 2022: 5 Wakil Indonesia Lolos ke Babak Perempat Final, Ginting dan Jojo Susah Payah

Bahkan memeriksa sampling demi memastikan keamanan, manfaat/khasiat, dan mutu produk obat dan makanan.

Hal ini melalui pengujian berbasis risiko secara acak untuk memastikan pelaku usaha konsisten dalam menerapkan cara pembuatan obat dan makanan yang baik/Good Manufacturing Practices (GMP).

Ia menerangkan, sesuai prosedur pengadaan pelarut tambahan seperti, propilen glikol (PG) dan polietilen glikol (PEG) tidak melalui pengawasan BPOM.

Namun melainkan melalui pengawasan dari Kementerian Perdagangan (Kemendag).

"Apakah sistem pengawasan obat yang ada itu tidak cukup ketat? sehingga ini bisa terjadi dan tentunya mencari solusi dari penyebab-penyebab tersebut dan tanggung jawab. Kami juga untuk memperbaiki sistem dan memastikan ini tidak akan terjadi lagi," kata dia dalam RDP bersama DPR beberapa waktu lalu.

Menurut Penny, sistem jaminan keamanan dan mutu untuk obat terdiri dari banyak pihak, seperti industri maupun kementerian dan lembaga lainnya.

"Juga ada proses pelayanan kesehatan dimana di dalamnya ada tenaga kesehatan yang menggunakan obat ini," ungkap dia.

Dikesempatan yang sama, Menteri Kesehatan RI (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menyebut, penyebab peningkatan kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) atau AKI pada anak di Indonesia karena cemaran zat berbahaya pada obat sirup yakni Etilen Glikol (EG), Dietilen Glikol (DEG), maupun Etilen Glikol Butil Ether (EGBE) yang melebihi ambang batas.

Sebelumnya pihaknya telah meneliti dan menemukan bahwa ada tiga zat kimia berbahaya itu pada ginjal pasien balita.

"Faktor risiko terbesar dari terjadinya acute kidney injury/AKI adalah karena adanya senyawa EG dan deg yang melebihi dari standar yang diminum oleh anak-anak. Kami juga bilang bahwa nggak 100 persen karena ada penyebab lainnya juga," kata Menkes.

Obat Sirup Tercemar EG dan DEG

Anggota Komisi X DPR RI Robert J Kardinal menuntut agar Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito ikut bertanggungjawab atas bencana gagal ginjal akut yang menyebabkan 143 anak meninggal dunia.

Pasalnya, BPOM telah gagal melakukan pengawasan dalam peredaran obat-obatan di masyarakat sehingga ratusan anak-anak tidak berdosa ikut menjadi korban.

"BPOM dan aparatnya yang ikut bertanggungjawab sebaiknya meletakkan jabatannya atas kelalaian mereka sehingga ratusan anak-anak ikut menjadi korban. Tidak perlu menunggu untuk dipecat," kata Kardinal di Jakarta, Kamis (03/11/2022).

Politikus senior Fraksi Golkar ini menegaskan, kematian 143 anak akibat gagal ginjal akut ini merupakan bencana kemanusiaan yang luar biasa.

Musibah kemanusiaan ini harus menjadi pelajaran berharga bagi dunia kesehatan tanah air.

Peristiwa ini juga harus menjadi bahan evaluasi dan instropeksi mendalam bagi BPOM dalam menjalankan fungsinya dalam pengawasan dan peredaran obat di dalam negeri.

"Sebab musibah ini terjadi lantaran BPOM tidak bekerja. Jadi sudah sepantasnya dipecat, juga dituntut pidana bersama para pemilik perusahaan farmasi yang terlibat," tegasnya.

Dalam kesempatan tersebut, Kardinal juga menyoroti temuan BPOM terhadap 7 obat sirup dengan cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) di luar ambang batas, yang diduga kuat menjadi penyebab kasus gagal ginjal akut pada anak ini.

Adanya temuan ini menunjukkan buruknya performa pengawasan BPOM terhadap produksi obat dan distribusinya.

Penghentian dan penarikan obat baru dilakukan setelah banyak korban bertumbangan.

"Setelah ribut, banyak korban, (BPOM) baru sibuk. Seharusnya kita belajar dari BPOM Singapura yang betul-betul bekerja dan bertanggungjawab atas semua obat dan makanan yang beredar di masyarakat," jelas Kardinal.

Ia pun mencontohkan Singapura yang belum lama ini langsung menarik berbagai produk makanan yang ditengarai mengandung sulfur yang dapat menyebabkan alergi bagi orang yang mengkonsumsinya.

Sebelumnya, BPOM mengumumkan tujuh obat sirup dengan cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) di luar ambang batas.

Obat tersebut diproduksi dari tiga produsen farmasi, yaitu PT Yarindo Farmatama, PT Universal Pharmaceutical Industries, dan PT Afifarma.

BPOM telah memberikan sanksi administratif berupa penghentian produksi, distribusi, penarikan kembali, dan pemusnahan produk. BPOM juga telah melaporkan temuannya tersebut kepada Bareskrim Polri.

Sementara itu, Kepala BPOM Penny Lukito mengaku kaget atas peristiwa gagal ginjal akut yang menewaskan ratusan anak akibat penggunaan obat yang mengandung cemaran EG dan DEG di luar ambang batas.

Penny mengklaim kasus ini baru pertama kali terjadi di Indonesia.

"Ini sesuatu hal yang mengagetkan untuk kami sebagai institusi pengawas yang tentunya belum pernah terjadi di Indonesia selama saya menjadi kepala BPOM," ujarnya dalam Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR, di Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (03/11/200).

Penny memastikan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi sebagai regulator dan pengawas, sudah menjadi tanggungjawab pihaknya mencari apakah ada produk yang mengandung bahan yang berbahaya.

Termasuk memastikan akan ada pengenaan sanksi baik administrasi atau pidana untuk beri efek jera kepada pelaku farmasi yang membahayakan masyarakat.

BPOM juga mencari penyebab apakah dalam sistem pengawasan obat dan makanan yang ada itu tidak cukup ketat sehingga itu terjadi, mencari solusi dari penyebab-penyebab tersebut dan bertanggungjawab dalam memperbaiki sistem serta memastikan peristiwa ini tidak terulang kembali.

"Yaitu sistem jaminan keamanan dan mutu untuk obat yang aman yang di dalamnya terdiri dari banyak pihak seperti industri, BPOM dan kementerian lembaga lainnya dalam standar-standar yang ada dan fasilitas pelayanan kesehatan yang menggunakan obat ini," ujarnya.

Penny mengatakan pihaknya telah mendengar kasus gagal ginjal akut ini pada awal tahun lalu.

Namun BPOM tidak bisa bergerak kalau tidak ada laporan dari dokter atau pasien dalam ini.

"Itulah kami mengapa memiliki sistem monitoring pelaporan dari efek samping obat. Dari situ baru kami bisa bergerak setelah dapat informasi dari Kementerian Kesehatan atau dokter atau pasien bahwa ada kematian atau kesakitan yang disebabkan oleh obat, barulah kami menelusuri dikaitkan dengan kandungan dan mutu dari obat," jelasnya.

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved