Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Siapa Sangka, Masjid JIC yang Terbakar pada Awal Dibuka Berisikan 300 Tuna Susila dan 76 Orang Germo

Masjid JIC yang terbakar pada awal dibuka berisikan 300 wanita tuna susila di bawah 76 orang germo, tempat prostitusi diubah jadi tempat ibadah

Editor: Erlina Langi
Zintan Prihatini/KOMPAS.com
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta atau Jakarta Islamic Centre (JIC) di Jalan Kramat Jaya, Koja, Jakarta Utara, merupakan bangunan yang dahulu menjadi pusat prostitusi terbesar di Asia Tenggara. Area ini dibangun pada 2001 dan diresmikan mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso tahun 2003. 

Perkembangan lokalisasi Kramat Tunggak terbilang sangat pesat, hingga terkenal ke seluruh Asia Tenggara sebagai pusat prostitusi terbesar.

Pada 1970, awal dibukanya tempat ini berisikan 300 wanita tuna susila (WTS) di bawah 76 orang germo.

Jumlahnya kian bertambah seiring berjalannya waktu.

Kemudian, di tahun 1999 menjelang ditutupnya lokasi ini, jumlah WTS mencapai 1.615 yang dibawahi 258 orang germo.

Mereka tinggal dalam 277 unit bangunan dilengkapi 3.546 kamar di dalamnya. Menandakan lokalisasi tumbuh dan berkembang dengan pesat.

Jakarta Islamic Centre saat ini menjadi suatu pusat keberagaman aktivitas umat Islam, khususnya di DKI Jakarta.

Perubahan di kawasan terjadi ketika Sutiyoso masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 2001.

"Ketika itu ada rencana merapikan kota dari Pak Gubernur Sutiyoso yang melihat bahwa lokalisasi di Kramat Tunggak, sangat membuat kota tidak kondusif," ujar Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Muhammad Subki saat ditemui di JIC, Rabu (21/9/2022).

Dia mengatakan, kala itu Sutiyoso menginginkan perbaikan di Jakarta, termasuk di wilayah Kramat Tunggak.

Setelah mendapatkan saran dari para ulama dan tokoh masyarakat, Sutiyoso merespons dengan mengambil langkah meratakan tempat prostitusi tersebut.

"Tahun 2001 itu diadakan musyawarah dengan warga tentang rencana perbaikan tata kota tadi," imbuh Subki.

Subki menuturkan, tak banyak perlawanan dari para penghuni Kramat Tunggak ketika pemerintah hendak melakukan penataan.

Selain karena para PSK dan muncikari sudah mendapat ganti rugi, keberadaan Kramat Tunggak pun memang tidak mendapatkan banyak dukungan dari warga yang tinggal di sekitarnya.

"Lokalisasi dulunya banyak, ribuan prostitusi di sini wanita-wanita PSK itu muncikarinya juga ratusan ini satu RW dengan luas 10,28 hektar. Memang waktu itu lokalisasi terbesar di Asia Tenggara," kata Subki.

Singkatnya, di tahun 2000, lebih dari 10 hektar lahan di Kramat Tunggak sudah dibebaskan.

Sumber: Tribunnews
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved