Brigadir J Tewas
Kasus Polisi Tembak Polisi Brigadir J dan Bharada E Dianggap Bikin Sesat, Ini Kata Pengamat
Kasus polisi tembak polisi antara Brigadir J dengan Bharada E dinilai bisa bikin sesat. Pengamat Sosial berikan penjelasan.
Namun, yang mengkhawatirkan dari apa yang terjadi adalah tuduhan di awal informasi viral yang sungguh merusak.
Bukan saja reputasi seseorang, kata Devie, tetapi jejaring yang terkait orang tersebut.
Padahal, jika ditelisik kesalahan dari justifikasi awal netizen bisa jadi salah.
“Akan menjadi bijak, bila kita semua mengawal terus kasus Brigadir J,” katanya.
“Berbagai kasus yang viral lainnya di media sosial dengan pikiran terbuka, dan memberikan kesempatan para ahli yang sesuai kompetensi untuk mengumpulkan data-data obyektif,” ucapnya.
Menurutnya, tidak semua informasi di media sosial menjadi berkah, justru sebagian menjadi bencana karena diwarnai banyak prasangka.
Akan tetapi, ia tak menampik pergeseran cepat informasi ini, banyak menghasilkan informasi positif dan membangun.
“Tetapi sering juga kita temui informasi yang tidak bermanfaat, bahkan opini tidak berimbang,” katanya.
“Gulungan informasi viral menjadi alat untuk menjustifikasi sebuah pembenaran yang terus disebarkan, dan justru mengaburkan kebenaran,” imbuhnya.
Pada hakikatnya, lanjutnya, media sosial menciptakan ruang tanpa tuan dan tanpa batas, yang memungkinkan setiap pengguna beraksi bebas kadang hingga kebablasan.
Apalagi, praktik anonimitas yang memungkinkan pengguna bersembunyi dalam identitas yang berbeda, memampukan pengguna untuk menjustifikasi informasi sesuai keinginannya.
“Dari beberapa kasus viral di media sosial, tak jarang tuduhan-tuduhan yang berujung kesalahan. Jari-jari netizen yang pada awal kasus viral pun tidak terkena pertanggungjawaban,” katanya.
(Brigadir J tewas di rumah Irjen Ferdy Sambo. (Kolase Tribun Manado)
Di universe digital, Devie mengatakan watak manusia Indonesia yang dulu ramah bahkan berubah menjadi marah dan dikenal sebagai masyarakat yang berang, bukan yang tenang.
Dimana, watak baru manusia Indonesia di ruang digital ini sering kemudian bertemu dengan fenomena cancel culture.