Sri Langka
Terungkap 5 Fakta Dibalik Sri Langka Bangkrut, Utang Membengkak, Hilang Pendapatan Sektor Pariwisata
Per April 2022, Bank Sentral Sri Lanka (CBSL) mengumumkan gagal bayar 51 miliar dolar AS terhadap utang luar negeri.
3. Krisis Bahan Bakar
angkutan umum antre membeli BBM di Sri Lanka.Sri Lanka bangkrut akibat krisis ekonomi. Mutiara dari Samudera Hindia itu, gagal membayar utang luar negeri (ULN) yang mencapai 51 miliar dolar AS atau Rp 757,2 triliun (kurs Rp14.847 per dolar AS).
Wickremesinghe mengatakan Sri Lanka tidak dapat membeli bahan bakar impor karena utang yang besar dari perusahaan minyak negara tersebut. Ceylon Petroleum Corporation disebut memiliki utang 700 juta dolar AS atau setara dengan Rp 10,3 triliun (kurs Rp14.847 per dolar AS).
"Akibatnya, tidak ada negara atau organisasi di dunia yang mau menyediakan bahan bakar untuk kami. Mereka bahkan enggan menyediakan bahan bakar untuk uang tunai," ujar Wickremesinghe dikutip dari AP.
4. Kekurangan Mata Uang Asing Sebabkan Gagal Panen
Krisis ekonomi yang menyakitkan di Sri Lanka dipicu oleh kekurangan mata uang asing, membuat para pedagang tidak mampu membayar impor penting, termasuk pupuk. Krisis tambah buruk saat Pemerintah Sri Lanka pada April tahun lalu mengeluarkan kebijakan melarang penggunaan pupuk kimia.
Kebijakan tersebut, lantaran Sri Lanka ingin dikenal sebagai bangsa pertanian organik. Perubahan kebijakan yang drastis menyebabkan pertanian Sri Lanka yang masih ditopang pupuk kimia menjadi kelimpungan. Petani gagal panen karena pupuk organik ternyata tidak siap.
Dilansir dari Newsfirst.lk, lahan pertanian Sri Lanka yang biasanya menghasilkan 4,5 ton padi per hektar kini hanya mampu 2,8 ton per hektar. Dari total 708.000 hektar, hanya sekitar 400.000 hektar yang bisa dipanen. Sisanya gagal.
5. Janji Kampanye
Kebangkrutan Sri Lanka ini dihubungkan dengan janji dari presiden terpilih, Gotabaya Rajapaksa. Menjelang pemilihan November 2019, Gotabaya mengusulkan pemotongan pajak besar-besaran sehingga pemerintah petahana mengira itu pasti gimmick kampanye.
Menteri Keuangan saat itu, Mangala Samaraweera, mengadakan briefing untuk menyerang janji "berbahaya" yakni mengurangi pajak pertambahan nilai dari 15 persen menjadi 8 persen dan menghapus pungutan lainnya.
Artikel telah tayang di: Tribunnews.com