Manado
BPOM Manado Ingatkan Bahaya Resistensi Antibiotik, Obat Keras Masih Bebas Dibeli Tanpa Resep
Hasil penelitian tahun 2019, jumlah kematian akibat resistensi obat di seluruh dunia 4,95 juta jiwa.
Penulis: Fernando_Lumowa | Editor: Handhika Dawangi
TRIBUNMANADO.CO.ID - Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengingatkan masyarakat bahaya pembelian obat tanpa resep.
Praktik tersebut masih berlangsung di Indonesia. Termasuk di Sulawesi Utara.
Dra Mimin Jiwo Winanti, Direktur Pengawasan Distribusi dan Pelayanan Obat dan NPWP BPOM RI menjelaskan pentingnya penggunaan antibiotik secara rasional.
"Selama ini pasien atau masyarakat bisa mendapatkan obat dengan gampang tanpa resep dokter," kata Mimin dalam Sosialisasi Pengendalian Anti Microbial (AMR) di Manado, Senin (20/06/2022).
Katanya, banyak yang membeli obat keras tanpa resep. "Memang generik tapi kerugian yang ditimbulkan jika sudah resisten obat jauh lebih besar nilanya," katanya.
Sebelumnya, Deputi Pengawasan Obat dan Nappza BPOM RI, Maya Gustina Andarini mengungkapkan, 72 persen fasilitas kesehatan dan apotek masih melayani pemberian antibiotik tanpa resep dokter.
"Persoalan resistensi obat mengancam keamanan kesehatan dunia," jelasnya.
Hasil penelitian tahun 2019, jumlah kematian akibat resistensi obat di seluruh dunia 4,95 juta jiwa.
Di mana, 1,27 juta kematian akibat langsung dari AMR. Kematian akibat AMR lebih tinggi dari akibat HIV/AIDS dan Malaria.
Koordinator Pelayanan Pencegahan Resistensi Antimikroba (KPRA) RSUD dr Soetomo, Dr dr Hari Paraton SpOG(K) mengungkapkan bahaya resistensi antibiotik.
"Minum obat sudah tidak berdampak karena resistensi antimikrobial. Resistensi obat," jelasnya.
Beberapa jenis obat yang paling sering dibeli tanpa resep di dunia--termasuk Indonesia--ialah Amoxicillin; Cefadroxyl dan Cefixime.
Pembelian obat keras tanpa resep adalah bentuk self medikasi. "Penggunaannya salah, dosisnya salah," katanya.
"Sesuai aturan, khususnya penanganan pasien di faskes, antibiotik diberikan apabila diperlukan," jelasnya.
Sedangkan KPRA RSUP Prof RD Kandou, dr Olivia Woworuntu mengatakan, resistensi AMR disebabkan bakteri yang bermutasi.
Dampaknya, pengobatan akan menjadi lebih lama. Biaya juga bertambah.
"Selama pasien masih infeksi, bakteri masih bermutasi dan replikasi, kesempatan untuk berpindah ke orang lain juga bertambah," katanya.
Kepala BPOM Manado, Dra Hariani Apt mengatakan, BPOM melakukan sosialisasi itu untuk membangun kesadaran bersama.
"Awalnya kita menggandeng Ikatan Apoteker Indonesia," jelasnya.
Ia menjelaskan, obat keras yang dijual di apotek maupun diberikan rumah sakit semua harus sesuai resep dokter.
Ia bilang, selama ini BPOM telah melakukan pengawan. Apoteker dibekali agar bisa mengedukasi masyarakat.
Edukasi juga sampai ke pemilik apotek, Pemilik Sarana Apotek (PSA). "Mereka jangan hanya melihat dari sisi bisnis," katanya.
"Jika paham, masyarakat tidak akan marah dan merasa tidak dilayani. Memang butuh pemahaman bersama," tambah Hariani.(ndo)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/manado/foto/bank/originals/bpom-manado-menggelar-sosialisasi.jpg)