Kabar Papua
Aktivis Papua Merdeka Filep Karma: 'Tidak Ada Jalan Lain, Papua Harus Merdeka'
Soroti demo DOB Papua yang ricuh, Aktivis Filep Karma: "Tidak ada jalan lain, Papua harus merdeka"
TRIBUNMANADO.CO.ID - Aktivis Perjuangan Papua Merdeka Filep Karma menilai, solusi untuk Papua adalah kemerdekaan bukan pemekaran daerah otonomi baru (DOB).
Hal itu dinyatakan Filep Karma setelah melihat aksi demo penolakan Daerah Otonomi Baru ( DOB ) Papua.
Filep Karma menilai, otonomi khusus (Otsus) yang diberikan pemerintah Indonesia kepada Papua selama 20 tahun telah gagal.
"Tidak ada jalan lain, Papua harus merdeka," kata Filep Karma dalam orasinya saat gelombang penolakan DOB di lingkaran Abepura, Jumat (1/4/2022).
kata Filep, 20 tahun lalu atau tepatnya pada tahun 2000, sejumlah tokoh Papua yaitu Barnabas Suebu, Maikel Manufandu, Philip Erari, dan sejumlah tokoh lainnya tidak meminta kemerdekaan.
"Namun, alternatif yang diberikan itu hingga kini tidak ada perubahan. Malah gagal. Berarti tidak ada jalan lain selain Papua Merdeka," ujarnya.
Perjuangan Filep Karma soal Papua Merdeka ini bukan baru pertama kali.
Filep Jacob Semuel Karma yang lahir pada 15 Agustus 1959 ini pada 1 Desember 2004 ikut mengibarkan bendera Bintang Kejora dalam sebuah upacara di Jayapura, Indonesia.
Karena tindakannya itu, ia dituduh melakukan pengkhianatan kepada negara dan dihukum penjara selama 15 tahun.
Profil
Dikutip dari laman Wikipedia, Filep Karma dibesarkan di keluarga kelas atas yang aktif di perpolitikan daerah.
Ayahnya, Andreas Karma, adalah pegawai negeri sipil didikan Belanda yang lanjut bekerja untuk pemerintah Indonesia pasca-kemerdekaan.
Andreas adalah bupati Wamena dan Constant Karma, salah satu sepupu Filep, menjabat sebagai wakil gubernur Papua.
Filep Karma kecil dipengaruhi oleh serangan dini hari ke rumahnya oleh tentara Indonesia yang merusak perabotan di rumahnya.
Ia kemudian mengenyam pendidikan di Solo, Jawa Tengah, sebelum menjadi pegawai negeri sipil seperti ayahnya.
Pada medio 1997, ia berangkat ke Manila untuk kuliah selama satu tahun di Asian Institute of Management. Ia tidak menyelesaikan studinya. Karma dikaruniai dua anak.
Pengibaran Bendera dan Penangkapan
Sepulangnya dari Manila, Filep Karma melihat Jawa dibanjiri unjuk rasa melawan Presiden Soeharto.
Ia terlibat dalam pergerakan tersebut dan mulai mengangkat isu pemisahan Papua dari Indonesia.
Pada tanggal 2 Juli 1998, ia memimpin upacara pengibaran bendera Papua Barat di Biak.
Para aktivisnya terlibat rusuh dengan polisi dan mencederai beberapa polisi.
Militer Indonesia menduduki Pulau Biak empat hari kemudian dan menembaki aktivis.
Karma menduga lebih dari 100 pengunjuk rasa tewas dan dikuburkan di pulau-pulau terdekat.
Jumlah korban tewas tidak diketahui secara pasti.
Human Rights Watch memprotes aksi pemerintah Indonesia dan menyebut bahwa beberapa bulan setelah peristiwa ini pemerintah "gagal melaksanakan investigasi serius terhadap insiden ini dan gagal memaksa para pelaku penyiksaan warga di Biak bertanggung jawab".
Kedua kaki Filep Karma terluka akibat peluru karet. Ia kemudian ditangkap, diadili, dan dihukum penjara selama 6,5 tahun atas tuduhan pengkhianatan.
Hukuman dibatalkan di sidang banding setelah Filep Karma dipenjara selama 10 bulan.
Pada 1 Desember 2004, ia berpartisipasi dalam upacara pengibaran bendera kedua yang menandakan ulang tahun kemerdekaan Papua dari Belanda.
Aparat kemanan lagi-lagi diduga menembaki kerumunan dan menewaskan para aktivis pro-kemerdekaan.
Filep Karma kembali ditangkap atas tuduhan pengkhianatan terhadap negara. Kali ini ia ditangkap bersama sesama aktivis Yusak Pakage.
Di sidang pengadilan Filep Karma, hakim menghukumnya menjadi ditambah tiga kali lipat.
Filep Karma dihukum penjara selama 15 tahun di Penjara Abepura, Jayapura. Sedangkan Yusak Pakage dihukum penjara selama 10 tahun dan dibebaskan dini pada tahun 2010.
Pasca-pengadilan, para pengacara Filep Karma kabarnya mendapati kepala anjing di depan pintu rumah mereka disertai catatan bertuliskan "Bunuh Karma".
(*)
Artikel ini telah tayang di Tribun-Papua.com