Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Eksploitasi ABK

Eksploitasi ABK Asal Indonesia Marak Terjadi, Presiden Jokowi Dinilai Bertanggungjawab

SBMI, Human Rights Working Group (HRWG) dan Greenpeace Indonesia menilai Presiden Indonesia bertanggungjawab menghentikan praktik eksploitasi ini

Editor: Finneke Wolajan
(TRIBUN BATAM/ARGIANTO DA NUGROHO)
Anggota TNI AL dan Polisi menurunkan jenazah Warga Negara Indonesia (WNI), Hasan Afriadi yang menjadi anak buah kapal (ABK) Luang Huang Yuan Yu 118 di Dermaga Lanal Batam, Rabu (8/7/2020). Tim gabungan yang terdiri dari TNI AL, Polisi, Bakamla, KPLP dan Bea Cukai ini mengamankan dua kapal ikan berbendera China dengan nama lambung Luang Huang Yuan Yu 117 dan Luang Huang Yuan Yu 118 terkait tindak penganiyaan yang mengakibatkan dua ABK asal Indonesia meninggal dunia. 

TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) selama tahun 2021 menerima 188 aduan kasus perbudakan terhadap Anak Buah Kapal ( ABK ) Indonesia yang bekerja di kapal ikan berbendera asing.

SBMI, Human Rights Working Group ( HRWG ) dan Greenpeace Indonesia menilai Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, sebagai kepala negara, punya tanggung jawab untuk menghentikan praktik eksploitasi ini, alih-alih terkesan melakukan pembiaran sehingga turut “berkontribusi” melanggar HAM.

Berdasarkan catatan SBMI, penambahan 188 kasus di tahun 2021 tersebut merupakan jumlah tertinggi yang diterima SBMI dalam satu tahun.

Ini menjadikan total kasus ABK yang ditangani oleh SBMI sejak 2013 sebanyak 634 kasus.

Dari 188 kasus baru tersebut, 98 di antaranya berasal dari Jawa Tengah, 43 dari Jawa Barat, dan selebihnya dari berbagai provinsi lain di Indonesia.

Tangkapan layar dari video yang dipublikasikan media Korea Selatan MBC memperlihatkan, seorang awak kapal tengah menggoyang sesuatu seperti dupa di depan kotak yang sudah dibungkus kain berwarna oranye. Disebutkan bahwa kotak tersebut merupakan jenazah ABK asal Indonesia yang dibuang ke tengah laut oleh kapal asal China.
Tangkapan layar dari video yang dipublikasikan media Korea Selatan MBC tahun 2020 lalu, memperlihatkan, seorang awak kapal tengah menggoyang sesuatu seperti dupa di depan kotak yang sudah dibungkus kain berwarna oranye. Disebutkan bahwa kotak tersebut merupakan jenazah ABK asal Indonesia yang dibuang ke tengah laut oleh kapal asal China. (MBC/Screengrab from YouTube)

“Upaya advokasi yang dilakukan SBMI terkait kasus-kasus yang dialami ABK Indonesia yang bekerja di kapal asing, sering kali terkendala oleh adanya tumpang tindih kewenangan dan belum adanya Peraturan Pemerintah tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga dan
Awak Kapal Perikanan sebagai aturan turunan UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang PPMI,” kata Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno, dalam siaran pers, Senin 28 Maret 2022.

Pada diskusi bertema “ABK Tereksploitasi, Presiden Melanggar HAM?” yang diadakan pada Senin, 28 Maret 2022, Hariyanto juga menuturkan bahwa carut marut tata kelola penempatan ABK Perikanan, kebijakan yang belum berpihak terhadap ABK Perikanan, penindakan hukum
yang lemah dan pengawasan yang minim menjadi penyebab praktik-praktik yang melanggar HAM ABK masih terus terjadi.

Ironisnya, upaya yang dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan yang dialami ABK dari tahun ke tahun tidak menunjukkan sinyal perbaikan.

Dalam sebuah kajian berjudul “Kajian Pelanggaran HAM terhadap ABK di Asia Tenggara: Pembiaran Perbudakan Modern” yang diterbitkan Maret 2022, HRWG salah satunya menggarisbawahi kekosongan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan (RPP) ABK Indonesia yang seharusnya sudah keluar selambat-lambatnya pada 2019, atau dua tahun sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI).

Proses pembahasan RPP ini pun berjalan lamban akibat beragam konflik kepentingan di antara kementerian dan lembaga.

“Tanpa membuat jaminan perlindungan hukum dan terus berupaya mendorong perlindungan maksimal, sama halnya pemerintah sedang melakukan pembiaran atas praktik perbudakan terhadap ABK. Di situasi ini Presiden wajib memimpin kabinetnya, memanggil menterimenterinya untuk menyelesaikan konflik kepentingan yang mengutamakan keuntungan perorangan atau lembaga di atas semangat negara melindungi pekerja migran termasuk ABK melalui UU 18/2017,” ujar Daniel Awigra, aktivis HAM dari HRWG.

HRWG bahkan menyebut praktik eksploitasi terhadap ABK asal Indonesia serta beberapa negara lain di Asia Tenggara ini sebagai bagian dari kejahatan terorganisir transnasional mengingat aktivitas industri perikanan global ini melibatkan banyak negara di dunia.

Tak hanya pada ABK, eksploitasi juga dilakukan terhadap sumber daya tangkapan laut.

Stok ikan di beberapa daerah perairan menurun drastis akibat penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, salah urus penerbitan izin penangkapan yang tidak sesuai dengan kapasitas sumber daya, dan banyaknya kapal penangkap ikan yang telah melebihi kuota, dan melakukan kegiatan penangkapan ikan ilegal.

Peristiwa ini kemudian mengindikasi terjadinya penangkapan ikan berlebih atau overfishing.

Halaman
12
Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved