Rusia Vs Ukraina
Akhirnya Terjawab Penyebab Amerika dan NATO Tak Mau Kirim Pasukan Militer ke Ukraina
Rusia menyerbu Ukraina lewat darat, laut dan udara sejak Kamis (24/2/2022).
Sebelumnya, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mengatakan dalam Konferensi Keamanan Munich (Muenchen) pada 19 Februari lalu bahwa negaranya bisa saja mempertimbangkan kembali status non-nuklir berdasarkan Memorandum Budapest 1994.
Dikutip dari laman Sputnik News, Kamis (24/2/2022), seorang Profesor di Institute of Foreign Service of the Nation (ISEN) dan mantan Profesor di Escuela Superior de Guerra Argentina, Alberto Hutschenreuter mengatakan bahwa kata-kata Presiden Ukraina itu sangat mengganggu.
Karena itu berarti keamanan akan bergantung pada pembangunan militer strategis, yang pasti terdengar sangat berbahaya bagi Rusia.
"Ini berarti nuklirisasi dilihat sebagai opsi dari sudut pandang keamanan nasional," kata Hutschenreuter.
Ini adalah pesan yang sangat berbahaya, pernyataan Zelenskyy terlihat tidak berkontribusi untuk mencapai kesepakatan dengan Rusia.
Bahkan, jelas Hutschenreuter, pernyataan Preside Zelenskyy itu juga tampak seperti peringatan bagi AS dan NATO untuk memaksa aliansi itu terus mengambil langkah-langkah dalam menerima Ukraina masuk ke dalam jajarannya.
Perlu diketahui, menyusul runtuhnya Uni Soviet, Ukraina memang menjadi rumah bagi cadangan nuklir terbesar ketiga di dunia setelah AS dan Rusia.
Namun, Deklarasi Kedaulatan Negara Ukraina pada 1990 telah memperjelas bahwa negara baru itu 'mematuhi 3 prinsip bebas nuklir, yakni tidak menerima, memproduksi, dan membeli senjata nuklir'.
Lalu pada 5 Desember 1994, Ukraina, Belarus dan Kazakhstan diberikan akses ke Perjanjian Non-Proliferasi Senjata Nuklir di bawah Memorandum Budapest yang ditandatangani oleh Rusia, AS, dan Inggris pada konferensi OSCE di Hongaria.
Berdasarkan perjanjian tersebut, 3 republik pasca-Soviet menyerahkan persenjataan atom yang dikerahkan oleh Uni Soviet di wilayah masing-masing, dengan imbalan jaminan keamanan dari 3 kekuatan nuklir utama.
"Saya memulai konsultasi dalam rangka Memorandum Budapest. Jika itu tidak terjadi lagi atau hasilnya tidak menjamin keamanan bagi negara kami, Ukraina berhak untuk percaya bahwa Memorandum Budapest tidak berfungsi dan semua keputusan paket tahun 1994 diragukan," kata Zelenskyy.
Sementara itu, seorang analis hubungan internasional Iran dan pakar masalah nuklir, Hassan Beheshtipour mengatakan Zelenskyy seharusnya mempelajari isu-isu yang berkaitan dengan perjanjian non-proliferasi nuklir 1994 secara lebih baik.
Presiden Ukraina itu, kata dia, harus belajar mengapa negaranya menyerahkan senjata nuklir Soviet ke Rusia dan mengapa Kazakhstan serta Belarus melakukan hal yang sama setelah runtuhnya Uni Soviet.
"Banyak orang di dunia berpikir bahwa kepemilikan senjata nuklir dapat meningkatkan keamanan dan mencegah serangan dari luar. Namun kenyataannya, ini tidak terjadi," jelas Beheshtipour.
Jika Ukraina menggunakan senjata nuklir, negara itu akan berada dalam kondisi 'isolasi internasional' dan akan menghadapi ancaman keamanan yang meningkat.
"Ini akan terjadi, karena baik Amerika dan negara-negara Eropa akan secara kategoris menentang status nuklir Ukraina. Karena itu akan menimbulkan ancaman tidak hanya bagi Rusia, namun juga bagi Eropa," tegas Beheshtipour.
Menurut para analis, netralitas Ukraina dan status non-nuklir akan lebih baik dalam melayani kepentingan nasionalnya, dibandingkan upaya untuk memproduksi senjata nuklir.
Beheshtipour menyampaikan bahwa netralitas Finlandia membantunya mempertahankan hubungan kerja dengan Uni Soviet, AS, dan Eropa pada puncak Perang Dingin.
"Akibatnya, itu memperkuat posisinya sehingga konferensi pelucutan senjata yang paling penting diadakan pada 1975 di Helsinki," catat para analis.
Upaya Ukraina untuk membangun persenjataan nuklirnya sendiri dapat menyeret seluruh kawasan Eropa ke dalam 'dilema keamanan', khususnya bagi Rusia.
Seorang analis urusan luar negeri dan anggota Dewan Ilmiah Institut Hubungan Internasional Republik Islam Iran, Mani Mehrabi mengatakan bahwa hal itu akan memicu efek domino yang mendorong negara lain untuk membangun persenjataannya pula demi 'menjamin keamanan'. Akibatnya, potensi perlombaan senjata dapat sepenuhnya merusak keamanan kawasan.
Sosiolog dan Ilmuwan Politik Argentina, Atilio Borón menekankan bahwa Ukraina mengangkat masalah status nuklir untuk menabur kepanikan di Eropa.
"Namun baik Rusia maupun negara-negara Eropa lainnya, atau AS tidak akan membuat hal itu menjadi mudah. Selain itu, mereka akan memveto inisiatif Ukraina. Oleh karena itu, tidak ada pembicaraan tentang 'pemerasan berkedok nuklir'," tegas Borón.
Namun menariknya, Rusia bagaimanapun juga telah menanggapi pernyataan Zelenskyy dengan sangat serius. Karena pada 22 Februari lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan bahwa penyebaran senjata nuklir taktis di Ukraina merupakan ancaman strategis bagi negaranya.
Putin pun punya cara tersediri untuk menginvansi Ukraina, dengan mengakui kemerdekaan pemberontak di Donetsk dan Luhansk di Ukraina timur. Rusia tidak meragukan bahwa Ukraina mampu mengabulkan ancaman Zelenskyy, karena negara itu mewarisi keahlian nuklir yang cukup besar dari Uni Soviet.
"Sejak masa Soviet, Ukraina memiliki kompetensi nuklir yang cukup luas. Ada beberapa unit nuklir di negara itu dan industri nuklir berkembang cukup luas dan baik, ada sekolah di sana. Ukraina memiliki segalanya untuk menyelesaikan masalah ini dengan kecepatan yang jauh lebih cepat dibandingkan negara-negara yang berusaha mencapai tujuan ini dari awal," kata Putin.
Invasi Rusia ke Ukraina dan Penguasaan Reaktor Nuklir Chernobyl Akan Difilmkan
Penyerangan yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina belakangan ini akan dibuatkan sebuah film dokumenter.
Film tersebut melibatkan aktor dan sutradara dari Amerika Serikat yang kini telah berada di Kota Kiev.
Dikutip dari Kompas.com yang dilansir dari AFP, hal tersebut disampaikan oleh Kantor Presiden Ukraina.
Seorang aktor dan sutradara asal Amerika Serikut bernama Sean Penn telah datang ke Kota Kiev.
Pemenang Oscar ganda itu lantas menghadiri konferensi pers yang diadakan oleh pemerintah Ukraina di Kota Kiev pada Kamis (24/2/2022) kemarin.
Pihak Kantor Presiden Ukraina menyatakan kedatangan Penn secara khusus untuk merekam semua peristiwa yang terjadi di Ukraina. Selain itu, Penn akan terlibat dalam pembuatan film dokumenter.
Film dokumenter itu dibuat untuk memberitahukan kepada dunia terkait kebenaran invasi Rusia ke Ukraina.
"Sutradara datang ke Kiev secara khusus untuk merekam semua peristiwa yang terjadi di Ukraina dan sebagai pembuat film dokumenter untuk memberi tahu dunia kebenaran tentang invasi Rusia ke negara kami," ungkap sebuah pernyataan di halaman Facebook kantor Presiden Ukraina, Kamis (24/2/2022).
Pihak Kantor Presiden Ukraina menerangkan, Penn mendukung Ukraina dalam insiden ini. Tak hanya itu, Ukraina mengucapkan terima kasih kepada Penn. Hal ini lantaran Penn menunjukkan keberaniannya yang tidak dimiliki banyak orang lain.
"Hari ini, Sean Penn termasuk di antara mereka yang mendukung Ukraina saat berada di Ukraina. Negara kami berterima kasih kepadanya atas keberanian dan kejujuran yang ditunjukkannya," tambah pernyataan tersebut.
Sebelumnya, Penn sendiri sudah berkunjung ke Ukraina pada November 2021. Di sana, ia bertemu dengan staf militer Ukraina dan wartawan. Pertemuan itu membahas terkait bela negara.
(Tribun-Medan.com/Tribunnews.com/Kompas.com/Reuters/AFP)
Artikel ini telah tayang di Tribun-Medan.com