Tribun Manado Wiki
Asal Mula Muncul Nama Kampung Argentina di Ternate Tanjung Manado
Kampung di pesisir DAS Tondano ini memang langganan banjir. Setiap hujan pasti kebanjiran. Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu.
Penulis: Arthur_Rompis | Editor: Aldi Ponge
TRIBUNMANADO.CO.ID - Demam Diego Armando Maradona yang berhasil membawa timnas Argentina menjuarai piala dunia 1988 membuat sejumlah warga Lingkungan 1, Kelurahan Ternate Tanjung, Kota Manado, Sulawesi Utara sepakat menamai kampung mereka jadi Kampung Argentina.
Itulah awal mula kampung Argentina versi sejumlah warga kepada Tribun Manado.
Ironisnya, kampung ini terkenal oleh sesuatu yang jauh dari sepakbola yakni banjir.
Kampung di pesisir DAS Tondano ini memang langganan banjir. Setiap hujan pasti kebanjiran. Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu.
Air naik hingga dada manusia dewasa.
Di beberapa tempat yang dekat sungai, air menjangkau atap.
Warga pun mengungsi di mesjid, rumah kerabat hingga ke tepi jalan.

Ada pula yang memilih tinggal di lantai dua rumah mereka.
Beberapa rumah dibuat berlantai dua gara - gara seringnya banjir melanda wilayah tersebut.
Amatan Tribun, air sudah surut namun lumpur setinggi tulang kering orang dewasa masih menggenangi seisi kampung.
Warga sibuk membersihkan lumpur. Pembersihan berlangsung secara tradisional karena tak ada alkon.
Sejumlah anak menjadikan lumpur sebagai tempat bermain.
Mereka berski lantas menjatuhkan diri. Beberapa anak lainnya tetap bersekolah.
Seorang siswi wanita berjilbab berjalan meniti lumpur sambil mengangkat roknya sedikit ke atas.
Siswa lainnya yakni seorang pria memegangi sepatunya dengan tangan kanan sambil tangan kirinya memegang ponsel.
Di tengah - tengah kondisi mencekam itu, humor terdengar sana sini. "Napa PBB somo turung kata," celetuk seorang pria yang disambut tawa beberapa wanita.
"Ele Pemkot belum datang no PBB," sambung seorang pemuda.

Humor dalam suasana banjir itu, menurut Niko, aparat kelurahan tersebut, dikarenakan warga sudah menganggap banjir sebagai saudara kandung.
"Banjir disini sudah tak bisa dihitung lagi," kata dia.
Ia mengestimasi banjir besar dan kecil dalam setahun bisa mencapai puluhan kali.
"50 kali," tanya Tribun.
"Bisa," jawabnya.
Sebut dia, banjir terakhir terjadi bulan lalu.
Tak separah kali ini.
Dalam buku sejarah banjir kampung argentina, ia menyebut, banjir kali ini masik kategori sedang.
Banjir terparah, terjadi pada 15 Februari 2014 lalu.
"Kala itu air lewat tiang listrik, anda bayangkan saja," kata dia.
Ia berpendapat, seringnya kampung itu kebanjiran karena posisinya di samping sungai serta di dataran rendah.
Daerah keliling kampung itu memang berada di dataran tinggi.
"Jadi air datang dari sungai dan dari pemukiman di atas," kata dia.
Setiap peristiwa buruk memiliki makna dalam hidup.
Demikian juga banjir di Kampung Argentina jadi semacam blessing disguise.
"Kami jadi pekerja keras, disiplin, tidak malas selalu hati hati, penuh perhitungan, kalau saja kami malas sudah lama kami mati," beber Rahmawati warga lainnya.
Dikatakannya banjir juga jadi perekat antar warga yang berbeda beda suku
"Ada kalanya datang bantuan dari warga non muslim, ini membuat kami haru," kata dia.
Rahmat warga lainnya menyatakan, kerja keras warga nampak dari beberapa rumah berlantai dua.
Warga bekerja keras untuk bisa membangun rumah tersebut.
"Supaya kalau banjir bisa diungsikan sejumlah barang barang di lantai dua.
Ditanya apakah hendak pindah, dirinya siap asalkan ada uang pengganti yang pantas.
Husain warga lainnya mengaku sibuk membersihkan rumahnya yang kemasukan air setinggi dada.
"Kerja yang lumayan sulit karena tak ada alkon, kami butuh bantuan alkon," kata dia.
Meski dalam keadaan sulit, ia tetap memaksa anaknya bersekolah.
Peralatan sekolah anak sengaja ia prioritaskan saat mengungsi.
"Segala kesulitan hidup jangan membuat kita menyerah," kata dia. (Art)