Jurnalis Ditembak
Jurnalis Tim Peraih Pulitzer di Filipina, Penyokong Presiden Duterte Ditembak Mati Jaringan Narkoba
Filipina merupakan satu di antara negara yang tidak aman bagi para pekerja media atau jurnalis. Ini dikuatkan dengan data
TRIBUNMANADO.CO.ID, MANILA - Filipina merupakan satu di antara negara yang tidak aman bagi para pekerja media atau jurnalis. Ini dikuatkan dengan data bahwa selama pemerintahan Rodrigo Roa Duterte tercatat sudah 32 jurnalis yang ditembak mati.
Penembak kebanyakan diduga melibatkan jaringan narkoba yang diperangi oleh Duterte.
Seorang jurnalis ditembak hingga tewas saat sedang menonton TV di toko keluarganya di Calbayog, Filipina, AP News melaporkan.

Jesus Malabanan (58) terkena tembakan di kepala satu kali.
"Jess" meninggal dunia saat perjalanan ke rumah sakit.
Ia ditembak pada Rabu (8/12/2021) malam oleh seorang pria yang berboncengan motor dengan rekannya.
Kedua pelaku tersebut melarikan diri dan kini polisi tengah menyelidiki kasus tersebut.
Berkontribusi terhadap Penyelidikan Narkoba
Dilansir Al Jazeera, sebagai jurnalis independen, Jesus Malabanan menyumbangkan berita ke beberapa publikasi yang berbasis di Filipina serta kantor berita Reuters.
Malabanan juga membantu dalam penyelidikan pemenang Hadiah Pulitzer Reuters soal perang narkoba Presiden Rodrigo Duterte.
Baca juga: Kumpulan Resep Kue Kering Natal, dari Nastar Keju hingga Putri Salju
Baca juga: Wabup Deddy Abdul Hamid Tutup Kegiatan Bimtek Barjas bagi Pemdes se Bolsel
Dalam sebuah posting media sosial, jurnalis Manny Mogato, yang juga merupakan bagian dari tim Reuters yang memenangkan Penghargaan Pulitzer 2018 dalam Pelaporan Internasional, menulis bahwa Malabanan banyak membantu Reuters dalam kisah perang narkoba pada 2018.
Laporan mengatakan Malabanan telah diancam di kampung halamannya di Pampanga di utara.
Sehingga ia memutuskan untuk pindah ke Samar di Filipina tengah.
"Saya bergabung dengan sesama jurnalis mengutuk pembunuhan Jess… itu sama sekali tidak dapat diterima. Keadilan untuk Jess," tambah Mogato.
Serangkaian cerita penyelidikan Reuters itu mengungkap "kampanye pembunuhan brutal di balik perang Presiden Filipina Rodrigo Duterte terhadap narkoba", menurut kutipan Pulitzer.