Tajuk Tamu
Dialog Sains dan Agama dari Inspirasi Dixon dan Snow: “Teolog sebagai Penjaga Evolusi Manusia”
Dalam perdebatan yang begitu panjang antara agama dan sains, lahirlah “evolusi” yang tidak bisa dihindari manusia di era manapun.
Oleh: dr Eko Arianto SpU, Dokter Spesialis Urologi di RSUP Prof Kandou Manado.
TRIBUNMANADO.CO.ID, Manado - Dalam perdebatan yang begitu panjang antara agama dan sains, lahirlah “evolusi” yang tidak bisa dihindari manusia di era manapun.
Secara umum evolusi dalam kajian ilmu biologi berarti perubahan pada sifat-sifat sebelumnya dan terwariskan di populasi organisme lanjutan.
Evolusi dalam peradaban manusia tidak bisa dihindari.
Coba pikirkan sejenak Indonesia di tahun 70-80an. Untuk bisa menghubungi keluarga di kota seberang, harus melalui surat yang ditulis tangan serta pengirimannya memakan waktu berhari-hari tergantung jarak.
Bermimpi menghubungi keluarga dengan hitungan detik di zaman itu adalah pemikiran yang mustahil, bahkan dianggap halusinasi.
Sementara di zaman ini, cerita halusinasi di tahun 70-80an menjadi kenyataan, komunikasi dilakukan hanya dengan sentuhan layar menembus batas ruang dan waktu.
Evolusi, itulah yang terjadi setiap generasi dan manusia tidak dapat menghindarinya.
Pikiran sederhana tersebut membawa saya ke sebutir perenungan: “bagaimana jika evolusi yang sangat cepat berbanding terbalik melawan alam dan kemanusiaan? Siapa atau apa yang mampu mencegahnya?”
Manusia dapat memahami pengetahuan sehingga dapat menciptakan hal – hal baru. Namun, terkadang kita tidak menyadari sepenuhnya bahwa manusia tidak ada yang sempurna. Terkadang efek distorsi terjadi dalam proses penyerapan ilmu pengetahuan di sekitar kita, sehingga timbul berbagai kesalahan manusia.
Kesalahan demi kesalahan kecil terjadi dan terakumulasi, mulai dari kesalahan sebuah indera, perorangan sampai pada kenegaraan. Lalu dampak dari kesalahan itu akan kembali dirasakan oleh manusia, melalui kerusakan alam yang terjadi.
Salah satu contoh fenomena yang sering menjadi topik pembahasan global adalah mengenai gas emisi rumah kaca. Efek ini selama 45 tahun terakhir telah meningkatkan suhu bumi 1.7 derajat celsius setiap satu abad.
Sekalipun penelitian mengenai hal ini telah dilakukan dengan berbagai cara dan diterbitkan ke publik dengan berbagai media, pada akhirnya “rumah kaca” masih tetap digunakan dengan berbagai alasan.
Contoh lain adalah alih fungsi lahan. Luas lahan di bumi yang dilanda kekeringan meningkat hingga dua kali lipat dari tahun 1970-an hingga tahun 2000-an. Bumi mengalami pengurangan lahan hutan dan pertanian sebesar 10% per tahun.
Hal ini mengakibatkan perubahan cuaca sehingga mengancam kebutuhan dasar manusia, yaitu makanan dan minuman.
Maraknya kasus mengenai pembebasan lahan untuk dijadikan bangunan pencakar langit telah membuat saya bertanya. Apakah kekuatan uang dan evolusi telah mengalahkan kekuatan alam, kemanusiaan, dan ke-Tuhanan?
Hal tersebut bisa kita sebut sebagai kesalahan akibat ego manusia. Walaupun kesalahan ini sudah merusak peradaban, namun kesalahan ini dianggap tidak merusak manusia, asalkan tujuan evolusi tersebut dilakukan untuk kebaikan generasi selanjutnya.
Alasan positif digunakan untuk menetralkan tindakan negatif. Kemudian hal sederhana tersebut telah menjadi “nafas” manusia.
Mari merenung lebih dalam lagi. Sigmund Freud adalah salah satu peneliti dalam ilmu fisiologi dan psikologi.
Freud mengemukakan bahwa apapun yang dilakukan manusia tidak ada benar atau salah, karena ditunjang oleh ‘pembenaran rasional’ yang ada dalam pemikiran manusia. Jadi, sekalipun suatu sebab sudah terlihat akibat negatifnya, manusia akan mencari alasan pembenaran sebagai defence mechanism.
Mari buat jadi sederhana. Manusia butuh “aturan” untuk menjadi parameter dalam segala hal. Suatu hukum yang tidak hanya bertolak dari pemikiran dan pendapat manusia sendiri. Suatu aturan yang menekankan pada kemanusiaan. Jawabannya adalah agama. Manusia butuh agama.
Agama dapat menjelaskan dan menjawab permasalahan kehidupan sesuai dengan norma kemanusiaan. Jika agama dihilangkan dari aspek kehidupan manusia, akan hilang keseimbangan dan keharmonisan, pada kemanusiaan maupun alam.
Dalam agama, aturan yang berlaku merupakan perwujudan dari sosok yang kita puji yaitu Tuhan, konsep ke-Tuhanan disini mengandung makna rasa hormat, menghargai, kebaikan, mengasihi, membantu, dan hal baik lainnya yang sesuai dengan norma manusia.
Dalam agama, gambaran Tuhan itu sebagai petani yang menanam benih pengetahuan dan para manusia di alam semesta ini memetik buahnya.
Salah satu hal pokok dari perumpamaan ini adalah benih tidak akan menjadi tanaman dan berbuah, kecuali ditaburkan pada tanah yang tepat, diberi sinar matahari dan air yang cukup, dan dipanen dengan cara yang baik dan benar.
Manusia membutuhkan benih dan aturan bagaimana menjadi petani yang baik. Tujuan benih Ke-Tuhanan ini nantinya akan menjadi parameter hidup manusia.
Teolog diambil dari bahasa Yunani yaitu “Theos” yang berarti “Elohim/Tuhan/Bapa” dan “Logia” yang berarti “ucapan/ajakan/pendidikan”. Teologi, merupakan ilmu bahasa Tuhan, ilmu yang berbicara mengenai Tuhan, atau ilmu tentang agama. Manusia membutuhkan aturan untuk dapat mengendalikan sains karena sains adalah pengetahuan tanpa batas.
Jika tidak terkendali, maka dampak buruknya bukan hanya pada tingkat individu namun tingkat global dan generasional. Teologi adalah satu jawaban positif yang mampu menekan evolusi negatif manusia.
Thomas Dixon dalam bukunya “Science and Religion: A Very Short Introduction”, berpendapat bahwa sains dan agama tidak perlu berseberangan. Bahkan, keduanya dapat berjalan Bersama dan saling melengkapi.
Namun, seringkali terdapat faktor eksternal dan kekuatan politis yang menyebabkan keduanya enggan untuk menggunakan pendekatan “dialog”. Sehingga dalam perjalanan sejarah peradaban manusia, banyak terjadi konflik sains dan agama, misalnya pada kasus yang terkenal Galileo Galilei dan teori evolusi Charles Darwin.
Filsuf lain yang mendukung agama dan sains saling berkaitan dan tak bisa dipisahkan yaitu Charles Percy Snow. Beliau memberikan ceramah di Universitas Cambridge yang kemudian dibukukan dengan judul “The Two Cultures” yang membahas mengenai posisi agama dan sains yang saling membutuhkan. C.P.Snow mengatakan bahwa sains dan agama mempunyai budaya dan jalan yang saling bertolak belakang namun terikat satu dengan yang lain.
Snow mencontohkan, pada masanya bahwa saintis yang memeluk agama, terlihat lebih ramah dan bahagia. Snow membuka diri untuk menjalin persahabatan dengan kalangan saintis yang beragama, dan saat itu ia kemudian memperhatikan bahwa manusia yang berpengetahuan tinggi dan memeluk agama dengan taat dan setia, menjalani hidup yang lebih perhatian, peduli pada dampak yang diakibatkan, bagaimana ia memperlakukan keluarganya, dan apa yang harus ia perbuat untuk mengatasi masalah hidup agar tak berdampak buruk bagi sekitar.
Semua hal itu diperhitungkan dengan sebaik mungkin dan ini menjadi hal yang menarik untuk diperhatikan oleh Snow.
Snow kemudian memperhatikan dengan saintis yang tidak menganut agama. Cara mereka berkata, hidup, dan memperlakukan orang lain sangat berbanding terbalik. Mereka lebih bersikap independent dan tidak memperdulikan orang lain.
Begitu juga sebaliknya para agamawan yang tidak berpengetahuan, akan lebih cepat menghakimi tanpa mempelajari latar belakang lebih dahulu.
Mari kita bayangkan ilmu teologi sebagai jembatan antara manusia dan pengetahuan. Jembatan yang terbuat dari batu yang kokoh, dengan pegangan yang terbuat dari besi, dibangun di atas sungai deras yang penuh dengan kerikil tajam.
Tujuan jembatan ini dibuat untuk dapat memberi koridor, dimana seharusnya manusia berjalan agar tidak jatuh. Tentu bisa saja menyeberangi sungai tanpa menggunakan jembatan tersebut, dengan resiko besar untuk hanyut lalu lenyap.
Saya akan mengambil contoh dari sudut pandang Kristiani, dengan tetap menjaga universalitas. Dalam Kitab Suci Nasrani, firman Tuhan adalah dasar dari segalanya. Menurut Alkitab, bentuk pengetahuan yang paling dapat diandalkanpun apabila bertentangan dengan dasar – dasar Alkitab, maka hal tersebut harus ditolak.
Aturan semacam inilah yang dibutuhkan oleh manusia. Memberikan rambu peringatan terhadap arah negatif secara nyata dan gamblang tanpa harus membuat area abu – abu demi memutihkan keinginan pribadi.
Hal ini tidak semata mengatakan pada dunia bahwa agama bermusuhan dengan pengetahuan, disini peran agama dalam teologi adalah “mengajarkan/memberitahu/mengarahkan” apa dampak jika manusia mengikuti kebaikan dan kejahatan.
Keinginan yang kuat dari para petinggi agama untuk membuat jembatan antara agama dan pengetahuan dapat dilihat hingga saat ini. Dengan dibuatnya perpustakaan dalam gedung gereja, dan dibangunnya sekolah oleh pihak gereja. Jadi, agama tidak menghakimi pengetahuan. Agama hadir melengkapi sisi pengetahuan tanpa merusak citra diri manusia.(*)
Baca juga: Gempa Tadi Subuh Pukul 04.14 WIB Senin 8 November 2021, Guncang Wilayah Ini, Berikut Info BMKG
Baca juga: Cerita Pedagang Ikan Asap di Pasar Segar Paal Dua Manado, Raih Untung Jutaan Rupiah Per Hari
Baca juga: Daftar Aset Milik Tommy Soeharto yang Disita dan Akan Dilelang, Nilainya Lebih dari Setengah Triliun