Berita Manado
Keberadaan Bandara Sam Ratulangi Manado Menurut Perspektif Jopie JA Rory
Simak perbincangan antara Tribun Manado dengan Staf Khusus Bupati Minut Jopie Rory, Bupati Minahasa Utara (Minut) Joune Ganda, dan GM Angkasa Pura I.
Penulis: Isvara Savitri | Editor: Rizali Posumah
TRIBUNMANADO.CO.ID, Manado - Bandar Udara Internasional Sam Ratulangi merupakan satu-satunya bandara yang masih aktif di Sulawesi Utara (Sulut).
Namun rupanya, masih banyak yang perlu dikaji terkait Bandara Sam Ratulangi ini.
Letak geografisnya pun masih menjadi polemik antara dua daerah yaitu Manado dan Minahasa Utara (Minut).
Bagaimana pengaruhnya terhadap kedua kabupaten dan kota tersebut?
Simak perbincangan antara Tribun Manado dengan Staf Khusus Bupati Minut Jopie Rory, Bupati Minahasa Utara (Minut) Joune Ganda, dan General Manager Angkasa Pura I Bandara Sam Ratulangi Mingus ET Gandeguai berikut ini:
Bisa dijelaskan sedikit terkait sejarah Bandar Udara Internasional Sam Ratulangi?
JR: Adanya Bandara Sam Ratulangi bermula dari tahun 1942 yang dibangun oleh Jepang dan langsung dinamakan Bandar Udara Mapanget, memiliki luas 700 meter persegi dan lebar 23 meter persegi.
Dari sisi perkembangan tersebut, sempat berganti nama pada tahun 1959 di zaman Permesta karena ada tentara yang gugur bernama Tugiman sehingga diganti menjadi nama Bandar Udara Sersan Mayor Tugiman.
Selanjutnya dalam perkembangan juga sempat berganti nama menjadi Lapangan Udara A A Maramis.
Kemudian dalm catatan yang berkembang pada 1994 berganti menjadi Bandar Udara Internasional Sam Ratulangi.
Sejak 1994 memang Bandara Sam Ratulangi menjadi bandara internasional namun masih dikelola oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (DJU) Kementerian Perhubungan. Dengan perkembangan regulasi, sejak 2003 dikelola oleh Angkasa Pura I. Benar begitu Pak Mingus?
Berdasarkan peraturan Basto bersama Perpres penyerahan dari DJU ke Angkasa Pura itu tahun 1990.
JR: Sejak 2003 waktu Angkasa Pura I memimpin pengelolaan, pada 18 Desember 2003 dimekarkan Kabupaten Minahasa Utara (Minut) berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 2003.
Saya mencatat pada waktu diserahkan dari Kemenhub ke Angkasa Pura I ada enam lembaga pemerintah yang terlibat seperti Pemprov Sulut, Pemda Minut, Pemkot Manado, DPRD Provinsi Sulut, DPRD Minut, dan DPRD Kota Manado.
Terakhir menurut catatan saya berdasarkan Keputusan menteri Nomor 154 Tahun 2019 Bandar Udara Internasional Sam ratulangi terletak di Kota Manado.
Dari penelitian saya ada pertanyaan menggelitik dari masyarakat Minut, yaitu kenapa Bandar Udara Internasional Sam Ratulangi masuk ke Kota Manado saja, padahal asalnya dari tanah Minut.
Menurut catatan saya memang Bandara Sam Ratulangi masuk ke Orden District Tatelu.
Namun memang menurut peraturan jika Bandar Udara posisinya terletak di dua kabupaten/kota wilayah yang terbesar menggunakan nama wilayah tersebut.
Jadi kami masyarakat Minut harus ikhlas. Namun ada satu hal yang kurang di Keputusan Menteri Nomor 154 Tahun 2019, yaitu ketika diserahkan ada tiga institusi eksekutif dan legislatif pemerintah yang terlibat dari dua daerah.
Ketika Keputusan Menteri turun sudah tidak ada pemberitahuan salinan kepada DPRD Minut dan Pemkab Minut.
Bagaimana Pak Mingus melihat hasil kajian ini? Apakah kajian ini bisa menjadi informasi yang bisa dipakai untuk pengelolaan Bandara Sam Ratulangi?
MG: Terkait Keputusan menteri Nomor 154 Nomor 2019 sudah berubah, ada di masterplan yang baru karena Rabu kemungkinan akan saya bahas dengan Pemkot Manado.
Pembahasannya melibatkan institusi pemerintah di mana bandara itu berada, disesuaikan dengan kabupaten/kota terkait dan akan disahkan oleh provinsi karena rekomendasi materplan ada di provinsi.
Yang di Manado sudah ada nanti tinggal kami menyesuaikan kondisi.
Yang kedua terkait aturan ICAO International Airport, kami pihak bandara sudah menyampaikan ke ICAO memang belum ada pembagian wilayah antara Manado dan Minut dan sering menjadi polemik.
Memang kami sulit mengubah hal itu, jadi kami sampaikan ke kru bahwa misalnya, 'kita telah tiba di Bandara Juanda di Sidiarjo, Jawa Timur.
Bagaimana tanggapan Pak Bupati terkait kajian ini? Mungkin ada harapan-harapan agar kajian ini bisa ditindaklanjuti oleh pihak-pihak terkait?
JG: Pertama saya berterima kasih sekali telah diadakan perbincangan ini.
Pertama banyak hal yang menurut kami alangkah baiknya sebagai masyarakat dan pemerintah Minut mengetahui antara hak dan kewajiban.
Beberapa catatan yang kami lihat seperti penggunaan air di bandara, itu yag saya ketahui pembayarannya tidak ke Minut tetapi airnya ambil di Minut.
Itu kan air permukaan menjadi kewenangan di kabupaten, bukan seperti di sungai.
Sehingga hal-hal yang mungkin menjadi kewajiban kami misalnya kami harus menjaga kontinyuitas supply air dan lingkungan di sekitar bandara agar tidak mengganggu penerbangan itu kan menjadi satu hal yang perlu disampaikan ke kami.
Lalu mengenai hak kami, PBB misalnya, harus dilakukan evaluasi agar bisa untuk membangun.
Kami berharap ada kolaborasi antara Angkasa Pura I dan Pemkab Minut agar betul-betul bisa jelas.
Mungkin dari pihak AP I bisa menyampaikan hal-hal positif terhadap pemkab Minut agar bisa menunjang kelancaran aktivitas di bandara.
Kami juga berharap bisa diiinformasikan terkait rencana-rencana ke depan, misalnya saya dengar akan ada perpanjangan landasan itu arahnya ke mana.
Akan kami atur dalam RTRW kami. Misalnya juga informasi terkait penanganan darurat agar kami bisa membantu.
Bagaimana tanggapan pak Mingus?
MG: Terkait PABT itu menjadi pertanyaan juga buat kami karena Pemkot Manado tidak peduli terhadap hal itu.
Kita bisa bersama-sama melihat posisinya di mana karena memang dikembalikan terkait hak penggunaan air bawah tanah.
Lalu terkait isu perpanjangan landasan, memang dalam masterplan ada tapi studi dari ITB tidak mengizinkan karena sangat sulit tapi tetap masih ada kajian lanjutan.
Terkait CSR kami berkoordinasi dengan Dinkes dan Dispar karena fokus ke kedua itu.
Banyak terkait masterplan yang nanti akan kami korrdinasikan ke Pemda Minut.
Terkait sampah yang banyak dikomplain di Teterusan itu yang berada di wilayah Bapak, tapi yang tinggal itu KTP-nya Manado.
Jadi ketika kami melakukan maintenance memang setengah mati.
Bagaimana hasil kajian Pak Jopie terkait keselamatan penerbangan di Bandara Sam Ratulangi? Dan bagaimana terkait manfaat, hak, dan kewajiban bagi pemerintah daerah?
JR: Tahun 1990 saya sudah masuk bersama tim Pak Waroka yang waktu itu menjadi Kakanwil Menparpostel Sulut dan Sulteng.
Jadi memang Bandara Sam Ratulangi ini menjadi infrastruktur yang krusial karena bandara satu-satunya di Sulut.
Kalau berbicara suatu wilayah bandara harus berdasarkan Keputusan Menteri Nomor 154 Tahun 2019 dan bahwa ada masterplan baru seperti yang Pak Mingus bilang tadi.
Itu di situ sudah jelas bahwa kawasan keamanan operasi penerbangan di Kepmen sebelumnya lima kilometer, padahal Kementerian meminta 7,5 kilometer berarti sudah jauh masuk ke Manado.
Menurut saya harus ada kajian terus karena di Kepmen tersebut ketinggian 150 meter dan panjang 7,5 kilometer harus aman.
Tentunya hal ini menghambat perekonomian Kota Manado jika memang masuk di wlayah Manado, kalau masuk ke Kabupaten Minut, kami akan mempertanyakan dampak positif dalam perekonomian apa yang kami dapat?
Lalu jika masuk ke Minut, Pemkab Minut wajib membuat kawasan tata ruang. Lalu kalau ada masterplan baru itu peraturan yang mana yang dipakai?
Padahal di Kepmen Nomor 154 Tahun 2019 tertulis masterplan itu usianya 20 tahun kemudian bisa ditinjau lima tahun.
Kalau baru dua tahun seperti sekarang berarti menggunakan butir C yang berbunyi ditinjau dalam satu tahun apabila ada potensi yang sangat signifikan. (*)
• Kabar Artis Arya Saloka, Kini Ungkap soal Rencana Berhenti dari Dunia Hiburan
• Chord Diary Depresiku - Last Child, Kunci Dasar Mudah Dimainkan dari C
• 6 Amalan Pembuka Pintu Rezeki, Perbanyak Doa hingga Sedekah