Breaking News
Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

G30S PKI

Hari Ini Dalam Sejarah G30S/PKI, Jenazah 6 Jenderal Ditemukan di Lubang Buaya, Sukitman Jadi Saksi

Sukitman merupakan saksi sejarah terjadinya Gerakan 30 September 1965 oleh Partai Komunis Indonesia G30S/PKI dan penemu lokasi pembuangan jenazah

Penulis: Gryfid Talumedun | Editor: Gryfid Talumedun
Kolase Tribun Manado/ Foto: Istimewa
Hari Ini Dalam Sejarah G30S/PKI, Jenazah 6 Jenderal Ditemukan di Lubang Buaya, Sukitman Jadi Saksi 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Hari Ini tepat pada tanggal 3 Oktober 2021.

56 tahun lalu terjadi sebuah kudeta yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Ketujuh jenazah anggota TNI AD tersebut kemudian ditemukan di Lubang Buaya, Jakarta Timur.

6 Jenderal dan 1 seorang perwira TNI AD tewas mengenaskan akibat aksi kejam yang bernama Gerakan 30 September oleh PKI atau G30S/PKI.

PKI dengan terang-terangan menculik dan membunuh 6 orang jenderal dan seorang perwira TNI AD tersebut.

Kisah Letjen MT Haryono Korban Keganasan G30S: Calon Dokter yang Fasih 3 Bahasa, Sangat Dimusuhi PKI

Kronologi <a href='https://manado.tribunnews.com/tag/g30s' title='G30S'>G30S</a> <a href='https://manado.tribunnews.com/tag/pki' title='PKI'>PKI</a> dan Daftar Nama-nama <a href='https://manado.tribunnews.com/tag/pahlawan-revolusi' title='Pahlawan Revolusi'>Pahlawan Revolusi</a>

Akibat gerakan tersebut, sebanyak enam jenderal dan satu perwira pertama TNI Angkatan Darat tewas mengenaskan.

Penemuan jenazah ketujuh anggota TNI AD pada 3 Oktober 1965 tersebut tidak lepas dari peran Sukitman, seorang polisi yang pada 1 Oktober 1965 dipaksa dan dibawa ke Lubang Buaya oleh komplotan Gerakan 30 September.

AKBP Sukitman saksi hidup gerakan 30 September 1965 oleh PKI atau G30S/PKI.

AKBP Sukitman jadi sorotan karena ia mengaku melihat langsung ketujuh jenderal TNI dibantai oleh PKI.

Melansir dari Wikipedia, Sukitman lahir di Pelabuhan Ratu, Jawa Barat pada tanggal 30 Maret 1943 dan meninggal di Depok, Jawa Barat pada 13 Agustus 2007.

Sukitman merupakan saksi sejarah terjadinya Gerakan 30 September 1965 oleh Partai Komunis Indonesia G30S/PKI dan penemu lokasi pembuangan jenazah para jenderal Pahlawan Revolusi Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Pada malam penculikan jenderal AD, Sukitman tengah berpatroli di Jalan Iskandarsyah, Jakarta Pusat, dekat kediaman Jenderal Pandjaitan.

"Ternyata ketika penculikan para jenderal pada tanggal 1 Oktober 1965, agen polisi itu sedang bertugas, kemudian dipaksa dan dibawa ke Lubang Buaya. Dia berhasil meloloskan diri dari Lubang Buaya dan akhirnya ditemukan oleh patroli Resimen Tjakrabirawa." tulis Maulwi Saelan dalam buku 'Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66'.

Setelah ditemukan oleh patroli Resimen Tjakrabirawa, Sukitman lalu dibawa ke markas Resimen Tjakrabirawa yang berada di sebelah Istana Negara (sekarang gedung Bina Graha). Di sana dia diperiksa dan diinterogasi.

Dalam bukunya, Maulwi menjelaskan, pada tanggal 2 Oktober 1965, Sukitman bersama hasil pemeriksaannya diserahkan kepada Kodam V Jaya (Pangdamnya waktu itu, Mayjen TNI Umar Wirahadikusuma).

Detik-detik Kematian Letjen MT Haryono, Sempat Rebut Senjata Cakrabirawa hingga Diseret Kedepan Truk

Biodata AKBP <a href='https://manado.tribunnews.com/tag/sukitman' title='Sukitman'>Sukitman</a> Saksi Hidup Tragedi <a href='https://manado.tribunnews.com/tag/g30s' title='G30S'>G30S</a>/PKI, Melihat Langsung 7  Jenderal TNI Dibantai - Surya.co.id

Selanjutnya Sukitman diserahkan kepada Kostrad, dimana waktu itu Pangkostrad dijabat oleh Mayjen TNI Soeharto.

Setelah mempelajari keterangan Sukitman, Maulwi Saelan bersama Letna Kolonel AH Ebram dan Sersan Udara PGT Poniran berangkat menuju Halim Perdanakusuma.

"Saya bertemu dengan Kolonel AU/PNB Tjokro, perwira piket Halim Perdanakusuma dan menyampaikan maksud kedatangan saya. Kami dibantu seorang anggota TNI AU berpangkat Letnan Muda Penerbang, mencari lokasi yang diceritakan agen polisi tersebut," tulis Maulwi.

Di Lubang Buaya, lanjut Maulwi, dia menemukan sebuah pondok kecil yang di dekatnya terdapat sebuah pohon besar.

Di sekitarnya ada sebidang tanah kosong yang terlihat tanda mencurigakan seperti baru digunakan.

Setelah dikorek-korek, tanah kosong yang dipenuhi tumpukan daun-daunan ditemukan permukaan sebuah sumur tua.

Bersama dengan warga, Maulwi melakukan penggalian.

Selang beberapa lama, muncul pasukan RPKAD yang dipimpin Mayor CI Santoso membawa Sukitman.

Saat itu ikut pula ajudan Letnan Jenderal Ahmad Yani, Kapten CPM Subardi.

"Setelah mendapat penjelasan dari kami dan dicocokkan dengan keterangan agen polisi tersebut, penggalian dilanjutkan. Penggalian sulit dilakukan karena lubang sumur hanya pas untuk satu orang. Penggalian memakan waktu lama."

Lewat tengah malam, setelah melakukan penggalian cukup dalam, dari sumur tua mulai tercium bau tidak sedap.

Dari sumur tua itu, akhirnya ditemukan jenazah ketujuh anggota TNI AD.

Penemuan posisi sumur tua di Lubang Buaya merupakan peran besar Sukitman.

Cerita Sukitman

Namanya Sukitman.

Ia merupakan saksi sejarah peristiwa yang mengerikan tersebut.

Sukitman menyaksikan langsung saat para jenderal dihabis.

Ia mengungkapkan pengalamannya  ketika ia hampir ikut menjadi korban.

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi September 1992, dengan judul asli Yang Lolos dari Lubang Buaya.

Malam baru saja lewat, sementara  matahari pagi pun belum terjaga dari peraduannya, karena waktu itu memang baru pukul 03.00.

Tanggal terakhir pada bulan September baru berganti dengan tanggal 1 Oktober 1965. Jakarta dan penduduknya masih terhanyut dalam sepenggal mimpinya.

Namun, Sukitman (49) yang waktu itu berpangkat Agen Polisi Dua tidak ikut terhanyut dalam buaian mimpi.

la harus menjalankan tugasnya di Seksi Vm Kebayoran Baru (sekarang Kores 704) yang berlokasi di Wisma AURI di Jl. Iskandarsyah, Jakarta, bersama Sutarso yang berpangkat sama.

 Pantas Soeharto Bisa jadi Presiden Selama 32 Tahun, Ternyata Ada Kaitan dengan Momen G30S PKI

“Angkat tangan”

"Waktu itu polisi naik sepeda. Sedangkan untuk melakukan patroli, kadang-kadang kami cukup dengan berjalan kaki saja, karena radius yang harus dikuasai adalah sekitar 200 m,” katanya mengengang masa awal tugasnya.

Tiba-tiba ia dikejutkan oleh bunyi rentetan tembakan, yang rasanya tidak jauh dari posnya.

Karena tembakan itu berasal dari bawah dan dekat situ ada Gedung MABAK yang tinggi, suara tembakan itu memantul.

Rasa tanggung jawab membuat Sukitman bergegas mengendarai sepedanya dengan cara melawan arah mencari sumber tembakan itu.

Sementara rekannya tetap melakukantugas jaga. Dalam benak pemuda yang terlintas mungkin terjadi perampokan.

Ternyata suara itu berasal dari rumah Jenderal D.I. Panjaitan yang terletak di Jln. Sultan Hasanudin. Di situ sudah banyak pasukan bergerombol.

Belum sempat tahu apa yang terjadi di situ, tiba-tiba ia dikejutkan oleh teriakan tentara berseragam loreng dan berbaret merah yang berusaha mencegatnya. "Turun! Lempar senjata dan angkat tangan!"

Sukitman, yang waktu itu baru berusia 22 tahun, kaget dan lemas. la segera melakukan apa yang diperintahkan tanpa bisa menolak.

Di bawah ancaman senjata di kiri-kanan, Sukitman kemudian diseret dan dilemparkan ke dalam truk dalam keadaan tangan terikat dan mata tertutup.

"Tapi saya tetap masih belum bisa menduga apa yang terjadi," katanya mengenang peristiwa menakutkan itu.
Menurut perasaannya, dalam truk itu Sukitman ditempatkan di samping sopir.

Dengan mengandalkan daya ingatannya, Sukitman berusaha mencari tahu ke mana ia akan dibawa.

Begitu dari Cawang belok ke kanan, Sukitman mulai kehilangan orientasi. Berbagai perasaan berkecamuk di dadanya.

"Pokoknya, saya pasrah kepada Tuhan sambil berdoa," katanya.

Saksi pembantaian

Kronologi <a href='https://manado.tribunnews.com/tag/g30s' title='G30S'>G30S</a>/PKI: Kisah <a href='https://manado.tribunnews.com/tag/sukitman' title='Sukitman'>Sukitman</a> Lolos Karena Tertidur di Bawah Truk -  Kronologi.id

Entah di mana, akhirnya kendaraan yang membawa Sukitman berhenti. Ia segera diturunkan dan tutup matanya dibuka.

"Tentu saja saya jalangjang-jalongjong, karena dari keadaan gelap saya langsung dihadapkan kepada terang."

Pada waktu itulah ia mendengar orang bicara, "Yani wis dipateni."

Tak lama kemudian seorang tentara yang menghampiri Sukitman dan tahu bahwa sanderanya itu seorang polisi, segera menyeret Sukitman ke dalam tenda.

Tentara tersebut segera melapor kepada atasannya, "Pengawal Jenderal Panjaitan ditawan."

Meskipun waktu itu masih remang-remang, di dalam tenda Sukitman sempat mengamati keadaan sekelilingnya.

Ia melihat orang yang telentang mandi darah, ada juga yang duduk di kursi sambil bersimbah darah segar.

Seseorang memerintahkan si tentara tadi, yang kemudian diketahui namanya Lettu Dul Arief, agar Sukitman ditawan di depan rumah.

Begitu hari terang, dari jarak sekitar 10 m Sukitman bisa melihat dengan jelas sekelompok orang mengerumuni sebuah sumur sambil berteriak, "Ganyang kabir, ganyang kabir!"

Ke dalam sumur itu dimasukkan tubuh manusia - entah dari mana – yang langsung disusul oleh berondongan peluru.

Sukitman sempat melihat seorang tawanan dalam keadaan masih hidup dengan pangkat bintang dua di pundaknya, mampir sejenak di tempatnya ditawan.

"Setelah tutup matanya dibuka dan ikatannya dibebaskan, di bawah todongan senjata, sandera itu dipaksa untuk menandatangani sesuatu. Tapi kelihatannya ia menolak dan memberontak. Orang itu diikat kembali, matanya ditutup lagi, dan diseret dan langsung dilemparkan ke dalam sumur yang dikelilingi manusia haus darah itu dalam posisi kepala di bawah," kenangnya.

Dengan perasaan tak keruan, Sukitman menyaksikan kekejaman demi kekejaman berlangsung di depan matanya, sampai ketika orang-orang buas itu mengangkuti sampah untuk menutupi sumur tempat memendam para korbannya.

Dengan cara itu diharapkan perbuatan kejam mereka sulit dilacak. Di atas sumur itu kemudian ditancapkan pohon pisang.

"Setiap habis memberondongkan pelurunya, jika akan membersihkan senjatanya, para pembunuh yang menamakan  dirinya sukarelawan dan sukarelawati itu pasti melewati tempat saya ditawan," tambahnya.

Dengan demikian Sukitman bisa melihat dengan jelas siapa-siapa saja yang terlibat peristiwa yang meminta korban nyawa 7 Pahlawan Revolusi.

Ia pun sempat melihat Letkol Untung, yang mengepalai kejadiah kelam dalam sejarah militer di Indonesia itu.

Untung tertidur

Kemudian salah seorang anggota Cakrabirawa menghampiri Sukitman yang masih diliputi rasa takut.

"Kamu tidak usah takut. Kita sama-sama prajurit. Beli kaus singlet pun kita sudah tidak bisa. Sementara para jenderal yang menamakan diri Dewan Jenderal, jam dinding di rumahnya saja terbuat dari emas dan mereka akan membunuh Presiden pada tanggal 5 Oktober. Kamu 'kan tahu Cakrabirawa tugasnya adalah sebagai pengawal dan penjaga Presiden," kata Sukitman mengulangi apa yang diucapkan si anggota Cakra tersebut.

Waktu itulah Sukitman baru merasa agak tenang, meskipun ia masih tetap diawasi. Ternyata anggota Cakra itu sudah di-drill, karena langsung berada di bawah komando Letkol Untung.

Sekitar satu dua jam kemudian melalui radio disiarkan, siapa yang mendukung G30S itu akan dinaikkan pangkatnya.

Satu tingkat untuk prajurit, sementara yang aktif akan memperoleh kenaikan dua tingkat. Mendengar pengumuman itu semua yang merasa terlibat bersalam-salaman, karena merasa gerakan mereka sukses.

Setelah suasana agak tenang, Sukitman dipanggil oleh Lettu Dul Arief yang menanyakan di mana senjata Sukitman.

Sukitman menjelaskan apa yang terjadi ketika ia berada di daerah Kebayoran. Akhimya senjata itu bisa ditemukan, walaupun dalam keadaan patah.

Mengira Sukitman bukan musuh, bahkan teman senasib, Jumat sore itu Sukitman diajak menuju Halim bersama iring-iringan pasukan.

Sesampai di Gedung Penas (daerah Bypass, sekarang Jl. Jend. A. Yani) pasukan itu diturunkan di lapangan, sementara Sukitman masih bersama Dul Arief.

Pada malam harinya, entah mengapa, orang yang mengawasi tawanannya malah mengajak Sukitman untuk mengambil nasi.

"Ke mana?" tanya Sukitman.

Cerita <a href='https://manado.tribunnews.com/tag/sukitman' title='Sukitman'>Sukitman</a> Saksikan Pembantaian di <a href='https://manado.tribunnews.com/tag/lubang-buaya' title='Lubang Buaya'>Lubang Buaya</a>, Sehari Kemudian Baru  Ia Tahu Itu Para Jenderal - Tribunjateng.com

"Ke Lubang Buaya, tempat para jenderal dibunuh," jawab Kopral Iskak, orang yang mengajaknya tersebut.

"Pada waktu itulah saya baru tahu bahwa yang dikatakan 'Ganyang kabir, ganyang kabir!' itu para jenderal," ungkap Sukitman.

Jalan yang diambil melewati Cililitan, Kramat Jati, Pasar Hek bukan sesuatu yang asing bagi Sukitman, karena dulu ia pernah mengikuti latihan di daerah itu.

Keadaan masyarakat masih tenang, karena belum menyadari apa yang terjadi. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 23.00. Manusia-manusia haus darah itu masih diliputi suasana "kemenangan".

Selesai mengambil nasi mereka segera kembali ke Gedung Penas untuk membagikannya kepada para pasukan.

"Ketika kembali menuju Gedung Penas itu saya sempat turun untuk membeli rokok. Saya pikir mendingan saya terus pulang saja," kata Sukitman.

"Jangan," kata Kopral Iskak yang menjadi sopir. "Saya juga pulangnya ke Tanah Abang." Ternyata Iskak adalah sopir Letkol Untung, yang mengotaki pemberontakan berdarah ini. (K. Tatik Wardayati)

Sebagai tanda penghormatan dan penghargaan atas baktinya kepada bangsa dan negara semasa hidupnya, pemerintah melakukan upacara kemiliteran saat melepas jenazahnya saat dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata.

Sukitman wafat pada Senin siang 13 Agustus 2007 di Rumah Sakit Bhakti Yuda Depok. *

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved