Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Nasional

Ingat Fauzan Azima? Dulu Panglima GAM Wilayah Linge dan Pengubung, Ini Kabarnya Pasca 16 Tahun Damai

Fauzan Azima, pada saat konflik bergabung dengan GAM mulai tahun 1998 di Jakarta sebagai Penghubung. Kemudian, pada Desember 1999 baru pulang ke Aceh.

Editor: Alpen Martinus
For Serambinews.com
Fauzan Azima 

TRIBUNMANADO.CO.ID- Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sempat menyita perhatian aparat keamanan Indonesia beberapa tahun silam.

Banyak korban yang jatuh baik dari pihak TNI, sipil, maupun dari GAM saat itu, meski akhirnya Pemerintah Indonesia dan GAM sepakat untuk damai.

Peristiwa tersebut hingga saat ini masih terngiang oleh warga Aceh, khususnya para mantan petinggi GAM yang masih ada hingga saat ini.

Baca juga: Ingat Wan Jawiw, Kombatan GAM yang Ditembak TNI dan Hilang 20 Tahun Lalu? Kini Ditemukan Masih Hidup

Eks Panglima GAM Wilayah Linge: 16 Tahun Damai, <a href='https://manado.tribunnews.com/tag/aceh' title='Aceh'>Aceh</a> Ibarat Batu Pecah Seribu, Hilang Kasih Sayang
Abu Doto (Zaini Abdullah), Wali Hasan Muhammad Ditiro, Mike Griffiths warga Negara New Zealand dan, mantan Panglima GAM Wilayah Linge, Fauzan Azima (kanan), berfoto bersama. (SERAMBINEWS/FOR SERAMBINEWS.COM)

Mantan Panglima GAM Wilayah Linge, Fauzan Azima atau Teuku Gajah Putih, menyatakan, dalam refleksi 16 tahun damai Aceh, tidak ada kalimat yang paling pantas diucapkan, kecuali rasa syukur kepada Allah.

"Dalam sumpah kami, nyawa, harta dan keluarga telah kami hibahkan untuk Aceh.

Penyerahan diri kepada Allah dengan penuh rasa ikhlas kalau sewaktu-waktu tertembak oleh senjata musuh pun telah kami lalui.

Alhamdulilah, sampai saat ini kami masih bisa menyaksikan sejarah perjalanan bangsa dengan segala problematikanya," ujar Fauzan Azima dalam rilisnya kepada Serambinews.com, Minggu (15/8/2021).

Baca juga: Masih Ingat Maklan eks anggota GAM? Dulu Bergerilya dan Serang TNI, Kini Senang Aceh Damai

Perjanjian damai RI-GAM yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 di Helsinky, Finlandia bagi kami setidaknya sebagai perpanjangan usia harapan hidup yang tidak bisa dinilai dengan apapun.

Keselamatan hidup adalah hal yang utama dan terutama meskipun sudah siap dan rela mati demi Aceh tanah mulia.

Kata Fauzan, pasca damai Aceh, dalam perjalanan hidup, tentu ada harapan dan keinginan.

Tidak saja untuk pribadi yang mulai dari nol dalam menata hidup dan kehidupan yang lebih baik, tetapi juga harus ada cita-cita untuk masa depan Aceh.

Baca juga: Cerita Eks Kombatan GAM, Kenang Hari Pertama Darurat Militer di Aceh, Berpapasan dengan Iringan TNI

Menurutnya lahirnya implementasi MoU Helsinki, yakni UUPA adalah “setengah” dari merdeka. Sayangnya, tidak dimanfaatkan dengan maksimal.

"Kita terlalu lama larut dalam euforia, sehingga lupa tugas utama mensejahterakan masyarakat yang sudah terlalu lama hidup dalam konflik," tukasnya.

Semangat dari MoU dan UUPA adalah kepemilikan dan pengelolaan SDA agar kelak tidak ada lagi bahasa: “Kita dapat perang, minyak dan gas alam kita diambil orang.”

"Kalau kita bandingkan zaman konflik dengan Aceh hari ini, ibarat batu sudah pecah seribu.

Hubungan antara sesama orang Aceh semakin renggang. Rasa kasih sayang telah hilang. Bata-bata kebencian disusun untuk semakin berpuak-puaknya Aceh," ujarnya.

Mengkontemplasikan keadaan ini, kata Fauzan, rasanya sulit bagi Aceh untuk maju dan sejahtera, yang syaratnya tidak lain adalah bersatu dalam mempercepat ke arah perubahan lebih baik. Perpecahan akan membuat Aceh stagnan, bahkan semakin mundur.

Aceh kini seperti kita memasuki kawasan yang tidak dikenal. Bingung, dari mana mulai menatanya. Bahkan ketika Gubernur Nova Iriasyah menjalankan roda pemerintahan dengan “On the track” juga tidak didukung.

Hampir semua sektor masih seperti “semak belukar”. Termasuk juga dalam sektor pendidikan yang selama ini kita anggap dunia paling ideal, ternyata di dalamnya jauh dari harapan.

Dunia pendidikan adalah gerbang kemajuan Aceh. Ternyata akar masalah selama ini, tidak ada kasih sayang terhadap peserta didik. Kasih sayang full akan “manusialah” mereka sebagai generasi penerus.

Sebaliknya, kata dia, kalau tidak ada kasih sayang maka mereka akan menjadi “sampah” atau “najis”. Hakikat najis adalah dalam bahasa Aceh “na” berarti “ada”, sedang “jis” adalah “jin, iblis, syetan” bersarang di dalam jiwanya.

Fazan menegaskan besar harapan agar semua pihak mendorong pendidikan Aceh maju.

Semua pihak harus terlibat aktif memberikan masukan yang konstruktif. Tidak saling menyalahkan dan merendahkan.

"Sampaikan nasehat dengan “bil hal” dengan amaliah nyata sehingga saling melengkapi untuk kemajuan Aceh," ujar Mantan Kombatan GAM, yang sekarang sebagai Penasehat Khusus Gubernur Aceh Bidang Pendidikan.

Fauzan Azima, pada saat konflik bergabung dengan GAM mulai tahun 1998 di Jakarta sebagai Penghubung. Kemudian, pada Desember 1999 baru pulang ke Aceh.

Pertengahan tahun 2001 menjabat sebagai Wakil Panglima dan juru bicara GAM Wilayah Linge dan tahun 2002 sebagai Panglima GAM Wilayah Linge.(*)

Like and Subscribe :

Artikel ini telah tayang di SerambiNews.com dengan judul Eks Panglima GAM Wilayah Linge: 16 Tahun Damai, Aceh Ibarat Batu Pecah Seribu, Hilang Kasih Sayang

Berita lain terkait GAM

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved