TRIBUN BAKU DAPA
Ulyas Taha Bicara Moderasi Beragama Dalam Keberagaman di Talk Show Tribun Baku Dapa
Masyarakat Indonesia termasuk Sulawesi Utara yang majemuk, multi budaya, tidak bisa memunculkan sikap keberagaman yang ekslusif
Penulis: Aswin_Lumintang | Editor: Aswin_Lumintang
MANADO, TRIBUNMANADO.CO.ID - Masyarakat Indonesia termasuk Sulawesi Utara yang majemuk, multi budaya, tidak bisa memunculkan sikap keberagaman yang ekslusif dan hanya mengakui kebenaran dan keselamatan sepihak.
Hal ini kata Drs KH Ulyas Taha MPd, Ketua Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama (NU) Sulawesi Utara bisa menimbulkan gesekan antar kelompok agama.
Konflik keagamaan yang banyak terjadi diIndonesia, umumnya dipicu adanya sikap keberagamaan yang ekslusif, serta adanya kontestasi antar kelompok agama dalam meraih dukungan umat yang tidak dilandasi sikap toleran, karena masing-masing meng- gunakan kekuatannya yang akhirnya memicu konflik.
Dalam kontek fundamentalisme agama, maka untuk menghindari disharmoni perlu ditumbuhkembangkan keberagaman yang moderat, atau sikap beragamayang terbuka. Ini yang disebut sikap moderasi beragama. Moderasi itu artinya moderat, lawan dari ekstrem, atau berlebihan dalam menyikapi perbedaan dan keragaman.
Kata moderat dalam bahasa Arab dikenal dengan-wasathiyah sebagaimana terekam dari QS.al-Baqarah [2] : 143. Kata al-Wasath bermakna terbaik dan paling sempurna. '' Jadi moderat merupakan sikap budaya yang harus kita kembangkan, untuk menghadang paham radikalisme, khilafah yang sejak kelahirannya tidak bisa bertahan lama, '' ujar Ulyas dalam Talk Show Tribun Baku Dapa, Jumat (4/6/2021), yang dipandu Jurnalis Tribun Manado, Aswin Lumintang.
Ulyas mengatakan, dalam hadis juga disebutkan bahwa sebaik-baik persoalan adalah yang berada di tengah-tengah. Dalam melihat dan menyelesaikan satu persoalan, Islam moderat mencoba melakukan pendekatan kompromi dan berada ditenga-tenga, dalam menyikapi sebuah perbedaan, baik perbedaan agama ataupun mazhab,
Islam moderat mengedepankan sikap toleransi saling menghargai, dengan tetap meyakini kebenaran keyakinan masing-masing agama dan mazhab, sehingga semua dapat menerima keputusan dengan kepala dingin, tanpa harus terlibat dalam aksi yang anarkis.
Dengan demikian moderasi beragama merupakan sebuah jalan tengah di tengah keberagaman agama di Indonesia. Moderasi merupakan budaya Nusantara yang berjalan seiring, dan tidak saling mengesampingkan antara agama dan kearifan lokal (local wisdom). Tidak saling mempertentangkan namun mencari penyelesaian dengan toleran.
Perbedaan tidak menghalangi untuk menjalin kerja sama, dengan asas kemanusiaan. Meyakiniagama Islam yang paling benar, tidak berarti harus melecehkan agama orang lain.
Moderasi harus dipahami ditumbuh-kembangkan sebagai komitmen bersama untuk menjaga keseimbangan yang paripurna, di mana setiap warga masyarakat, apapun suku, etnis, budaya, agama, dan pilihan politik-nya mau saling mendengarkan satu sama lain serta saling belajarmelatih kemampuan mengelola dan mengatasiperbedaan di antara mereka.
Untuk mewujudkan moderasi tentu harus dihindari sikap inklusif. Ulyas menegaskan, konsep Islam inklusif adalah tidak hanya sebatas pengakuan akan kemajemukan masyarakat, tapi juga harus diaktualisasikan dalam bentuk keterlibatan aktif terhadap kenyataan tersebut.

Sikap inklusiv-isme yang dipahami dalam pemikiran Islam adalah memberikan ruang bagi keragaman pemikiran, pemahaman danperpsepsi keislaman.
Dalam pemahaman ini, kebenaran tidak hanya terdapat dalam satu kelompok saja, melainkan juga ada pada kelompok lain, termasuk kelompok agama sekali pun. Pemahaman ini berangkat dari sebuah keyakinan bahwa pada dasarnya semua agama membawa ajaran keselamatan. Perbedaan dari satu agama yang dibawah seorang nabi dari generasi kegenerasi hanyalah syariat saja.
Jadi jelas bahwa moderasi beragama sangat erat terkait dengan menjaga kebersamaan dengan memiliki sikap ‘tenggang rasa’, sebuah warisan leluhur yangmengajarkan kita untuk saling memahami satu sama lain yang berbeda dengan kita.
Seruan untuk selalu menggaungkan moderasi, mengambil jalan tengah, melalui perkataan dan tindakan bukan hanya menjadi kepedulian para pelayan publik seperti tokoh agama, namun seluruh warga negara Indonesia saja dan seluruh umat manusia.