Opini
Lanjutan, Penipuan Menggunakan Telepon Seluler Ditinjau dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Ada dua cara untuk menemukan perbedaan ini, yaitu kesatu: secara meneliti maksud dari pembentuk undang-undang; dan kedua: secara meneliti sifat-sifat
Oleh: Theodorus Rumampuk, SH,MH Kasipenkum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara
Lanjutan..
Para sarjana Belanda mengemukakan dua cara untuk menemukan perbedaan tersebut. Seperti dikutip dalam buku yang ditulis oleh Prof. DR. Wirjono Prodjodikoro, SH ditegaskan
bahwa ada dua cara untuk menemukan perbedaan ini, yaitu kesatu: secara meneliti maksud dari pembentuk undang-undang; dan kedua: secara meneliti sifat-sifat yang berbeda antara tindak-tindak pidana yang termuat dalam Buku II KUHPidana di satu pihak dan tindak-tindak pidana yang termuat dalam Buku III KUHPidana dilain pihak.(Prodjodikoro; 1986, hal.30)
Menurut M.v.T. pembagian atas dua jenis perbuatan pidana yaitu pelanggaran dan kejahatan didasarkan atas perbedaan prinsipil. Dikatakan, bahwa kejahatan adalah “rechtsdeliten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata-hukum.
Pelanggaran sebaliknya adalah “wetsdeliktern”, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian.
Dari perbedaan yang dikemukakan di atas dapat dilihat bahwa penipuan merupakan salah satu tindak pidana yang terdapat ancaman pidananya dalam undang-undang dan digolongkan kedalam buku kedua tentang kejahatan. (Moeljatno; 1983, hal. 71)
Dalam KUHPidana pasal 378 dirumuskan bahwa “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan mempergunakan sebuah nama palsu atau suatu sifat palsu, dengan mempergunakan tipu muslihat ataupun dengan mempergunakan susunan kata-kata bohong, menggerakkan seseorang untuk menyerahkan sesuatu benda, untuk mengadakan perjanjian hutang ataupun untuk meniadakan piutang, karena salah telah melakukan penipuan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.”
Dari rumusan pasal di atas dapat dilihat bahwa suatu tindakan dapat disebut sebagai tindak pidana penipuan apabila telah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
1. Maksud Untuk Menguntungkan Secara Melawan Hak Perkataan
“dengan maksud” di dalam pasal ini adalah terjemahan dari perkataan “met het oogmerk”, dan ini berarti bahwa opzet di dalam pasal ini haruslah ditafsirkan sebagai “opzet dalam arti sempit” atau semata-mata sebagai “opzet als oogmerk”, sehingga maksud dari si pelaku itu tidaklah boleh ditafsirkan lain kecuali “dengan maksud menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain secara melawan hukum”.
Mengenai perkataan diatas dapat dilihat dengan adanya putusan HOGE RAAD dan Mahkamah Agung Indonesia (H.R. 27 Mei 1935, N.J. 1936, 51, W. 12944) yang memutuskan bahwa “ si pelaku haruslah mempunyai maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau menguntungkan orang lain secara melawan hak. Dan tidak perlu bahwa perbuatan tersebut telah menyebabkan timbulnya kerugian bagi orang lain. Hakim tidak perlu memastikan siapa yang telah dirugikan.” Selanjutnya dikatakan bahwa sifat dari penipuan sebagai kejahatan penipuan terletak pada cara yang telah dipergunakan oleh si pelaku untuk menggerakkan orang lain agar orang lain tersebut menyerahkan sesuatu.
2. Mempergunakan Nama Palsu atau Sifat Palsu
Nama palsu itu haruslah berupa nama orang, ia dapat merupakan nama yang bukan nama sendiri dari si pelaku atau sebuah nama yang tak seorangpun yang mempergunakannya ataupun namanya sendiri akan tetapi yang tidak diketahui oleh umum. Sebagai contoh, nama ,,Saimin” dikatakan ,,Zaimin” itu bukan menyebut nama palsu, akan tetapi kalau ditulis, itu dianggap sebagai menyebut nama palsu. (Soesilo, 1988, hal. 26)
“Sifat palsu”, mengenai sifat palsu ini dapat dijelaskan dengan adanya putusan HOGE RAAD (H.R. 27 Maret 1893, W. 6327), yang memutuskan bahwa “Sifat palsu yang dipergunakan itu dapat berupa suatu sifat dengan mana seseorang telah bertindak secara palsu di depan orang lain, misalnya sebagai seorang kuasa, seorang perwakilan, seorang wali atau seorang pengampu dan dapat pula berupa sifat untuk mendapatkan kepercayaan, misalnya sebagai seorang pedagang, seorang pegawai negeri dan sebagainya.”