Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Nasional

Ratusan Kubur di TPU Ini Mendadak Dibongkar, Semua Jenazah Dipindah, Ini Alasannya

Makam yang dibongkar adalah warga yang sebelumnya dinyatakan positif Covid 19, namun belakangan diketahui hasilnya negatif.

Editor: Alpen Martinus
TRIBUNJAKARTA.COM/ELGA HIKARI PUTRA
Ilustrasi pemakaman jenazah Covid-19 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Pemerintah Kota Bandung bongkar ratusan makam di TPU Cikadut.

Pembongkaran dilakukan, lantaran keluarga yang meminta untuk memindahkan makamnya.

Makam yang dibongkar adalah warga yang sebelumnya dinyatakan positif Covid 19, namun belakangan diketahui hasilnya negatif.

Ya, ratusan keluarga mendadak meminta makam keluarganya dibongkar kembali.

Tak hanya itu, mereka meminta jenazah keluarganya yang sempat dilaporkan Covid-19 ini untuk dipindahkan.

Baca juga: 16 Orang Ini Lakukan Aksi Mandi Bareng di Ruang Terbuka, Ada Anak-anak, Aliran Sesat ?

Bukan tanpa alasan, rupanya tidak semua jenazah yang dimakamkan dengan protokol Covid 19

di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Cikadut, jenazahnya terkonfirmasi positif.

Faktanya, selama pandemi Covid 19, ratusan jenazah yang dimakamkan secara Covid 19,

 jenazahnya dibungkus plastik kemudian dimasukan peti lalu dikubur, banyak yang dipindahkan oleh keluarga.

Pemindahan jenazah itu setelah keluarga membawa surat keterangan hasil swab

yang menunjukan anggota keluarga mereka yang meninggal dan dimakamkan secara protokol Covid 19, terbukti negatif.

Baca juga: Pengusaha Ini Dilempari Asbak Oleh Presiden Soekarno, Lantaran Permintaan Ini

Petugas Dinas Tata Ruang Pemkot Bandung, Sudrajat, sehari-hari bertugas di TPU Cikadut menerangkan,

selama ini memang banyak keluarga yang memindahkan jenazahnya.

"Iya banyak jenazah yang dipindahkan setelah keluarga membawa surat keterangan

bahwa jenazah yang sudah dikubur itu negatif Covid 19," ucap Sudrajat saat dihubungi via ponselnya, Kamis (11/3/2021).

Mereka yang dimakamkan dengan protokol Covid 19,

rata-rata meninggal dengan gejala Covid 19 namun hasil swab tesnya belum keluar.

Jenazah kemudian dibungkus plastik, dimasukan peti kemudian dikuburkan.

"Memang bisa dipindahkan asal ada surat keterangan negatif dan ada surat izin dari otoritas pemakaman yang akan menerima jenazah.

Kalau tidak ada surat negatifnya kami juga tidak berani," ucap dia.

Baca juga: Ingat Zul Zivilia? 18 Tahun Dipenjara, Istri dan 4 Anaknya Terlantar, Terpaksa Jual Semua Gitar

Fajar Ifana (38), koordinator tukang pikul peti jenazah, punya banyak cerita ihwal pemindahan jenazah itu.

Jenazah yang sudah dikubur kemudian digali setelah dipastikan negatif.

"Istilahnya meninggal dicovid kan karena saat pemakaman,

keluarga belum menerima hasil swab-nya.

Setelah ada hasil, keluarga datang kesini dan memindahkan

 jenazahnya ke pemakaman keluarga atau pemakaman lain.

Catatan kami mah ada sampai ratusan lah jenazah yang dipindahkan, setelah dinyatakan negatif," ucap Fajar.

Fajar bersama teman-temannya, tukang pikul,

sering terlibat memindahkan jenazah dari peti.

Adapun penggalian kuburan dilakukan oleh Sudrajat dan anak buahnya.

"Sering kang, jadi setelah kuburan digali, peti diangkut.

Keluarga kebanyakan suka meminta bantuan pada kami.

Jenazahnya kan di dalam plastik, plastiknya kami buka, jenazahnya lalu kami kafani, jadi lebih sesuai syariat Islam," ucap Fajar.

Rata-rata, kondisi jenazah saat dibuka ada yang masih segar, bahkan ada yang sudah membusuk.

"Selain itu, sering juga ada kasus pagi-paginya dimakamkan secara Covid 19, sore harinya dibongkar karena ternyata hasil swabnya negatif," ucap Fajar.

PENELITI Syok Bedah Jasad Pasien Covid-19, Kondisinya Mirip dengan Korban Wabah Ini

Menurut peneliti China, mereka telah melakukan otopsi untuk mengetahui bagian dalam tubuh korban yang meninggal akibat virus corona.

Hasilnya pun mengejutkan, ilmuwan temukan hal-hal yang selama ini belum pernah kita ketahui.

Laporan yang diterbitkan oleh jurnal media Inggris,

The Lancet ini berdasarkan otopsi yang dilakukan para ahli dari Pusat Medis lima Rumah Sakit Umum, Tentara Pembebasan Rakyat di Beijing.

Mereka memperoleh sampel biopsi dan otopsi, dari seorang pria berusia 50 tahun yang meninggal akhir Januari lalu akibat virus corona.

Hasilnya, ilmuwan menemukan situasi yang mirip dengan wabah SARS, penyakit yang pernah menyerang China Selatan pada 2002-2003.

Pada saat itu, SARS menewaskan lebih dari 800 orang dan lebih dari dua lusin negara saat itu juga merasakan dampak dari wabah tersebut.

Sementara itu, wabah MERS yang menyebar pada 2012 dan pertama kali diidentifikasi di Arab Saudi menyebabkan 860 kematian secara global.

Pria yang diotopsi di Beijing itu memiliki gejala awal pada 14 Januari kemudian meninggal dua minggu kemudian.

Setelah itu, dia mendonasikan tubuhnya untuk bahan penelitian jika dirinya meninggal, namun akhirnya dia benar-benar tewas.

Kemudian setelah ilmuwan melakukan penelitian dengan otopsi,

mereka menemukan pada alveoli di kedua paru-parunya mengalami kerusakan.

Tak hanya itu, ditemukan cedera pada bagian hati yang kemungkinan disebabkan oleh virus corona.

Ada kerusakan yang kurang substansial pada jaringan jantung, menunjukkan bahwa infeksi "mungkin secara tidak langsung merusak jantung."

Peneliti mengatakan, bahwa pengobatan anti-inflamasi yang direkomendasikan

oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tidak boleh secara rutin digunakan di luar uji klinis.

Wa Fu-sheng dan Zhao Jingmin, dua rekan peneliti yang menulis jurnal itu tidak mampu menghadapi komentar lebih lanjut.

Tapi mereka mencatat, dalam penelitian ini bahwa tidak ada patologi yang ditemukan sebelum kasus virus corona.

Sebuah studi terpisah yang diterbitkan dalam The Lancet oleh para spesialis dari University of Edinburgh pada 7 Februari berpendapat mengenai penggunaan kortikosteroid.

Kortikosteroid diketahui merupakan suatu kelas hormon steroid yang banyak

digunakan selama wabah SARS dan MERS dan telah dicoba pada pasien virus corona baru.

Studi pengamatan menyarankan penggunaannya untuk mengurangi peradangan

dapat menyebabkan komplikasi termasuk diabetes, kematian jaringan tulang dan penundaan pengangkatan virus.

Lima ilmuwan China yang dipimpin oleh Lianhan Shang dari Universitas Pengobatan China Beijing,

menerbitkan tanggapan terhadap penelitian yang mendorong penggunaaan kortikosteroid dalam kasus tertentu.

Tanggapan ini mengakui risiko penggunaan kortiskosteroid dosis tinggi pada pasien virus corona, termasuk potensi infeksi lainnya.

Tapi mungkin dibenarkan untuk pasien yang sakit kritis dengan peradangan yang signifikansinya terletak di paru-paru mereka.

Artikel ini telah tayang di Tribunstyle.com dengan judul HASIL Swab Negatif Covid-19, Ratusan Kubur Dibongkar, Mayat Dipindah, Penggali: Plastiknya Kami Buka

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved