Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Irjen Napoleon

Irjen Napoleon Ngaku Lebih Baik Mati Usai Divonis Majelis Hakim: Cukup Sudah Pelecehan Martabat Saya

Irjen Napoleon Bonaparte divonis hukuman penjara 4 tahun saat sidang vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (10/3/2021). Mengaku lebih baik mati.

Editor: Frandi Piring
ANTARA/GALIH PRADIPTA
Irjen Napoleon Bonaparte mengaku Lebih Baik Mati Usai Divonis 4 tahun penjara oleh Majelis Hakim. 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Kabar terbaru dari Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte yang kini telah Divonis penjara setelah mengikuti sidang putusan vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (10/3/2021), dilihat dari tayangan KompasTV.

Irjen Napoleon Bonaparte ditangkap dan terbukti hingga menjadi terdakwa kasus penghapusan red notice Djoko Tjandra sejak 2020 lalu.

Bonaparte akhirnya Divonis penjara selama 4 tahun oleh Majelis Hakim.

Dengan putusan Majelis Hakim tersebut, Irjen Napoleon Bonaparte tampak tak terima terkait vonis 4 tahun penjara dan denda sebesar Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan di kasus korupsi terkait kepengurusan red notice Djoko Tjandra.

Napoleon bahkan mengaku lebih baik mati daripada martabatnya dilecehkan akibat terseret kasus ini.

“Cukup sudah pelecehan martabat yang saya derita dari Juli tahun lalu sampai hari ini,” kata Napoleon di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (10/3/2021) dilihat dari tayangan KompasTV.

“Saya lebih baik mati daripada martabat keluarga dilecehkan seperti ini,” sambung dia.

(Foto: Irjen Napoleon Bonaparte (tengah), terdakwa kasus penghapusan red notice buron Djoko Tjandra dalam sidang dakwaan Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (2/11/2020). Irjen Napoleon Bonaparte mengaku didiskriminasi. Kini telah Divonis 4 tahun./Irwan Rismawan/Tribunnews.com)

Maka dari itu, Napoleon pun langsung mengungkapkan bakal menempuh upaya banding atas putusan tersebut.

“Saya menolak putusan hakim dan mengajukan banding,” ujar jenderal polisi berbintang dua tersebut.

Sementara itu, jaksa penuntut umum (JPU) mengaku akan pikir-pikir terlebih dahulu atas putusan majelis hakim.

Adapun vonis majelis hakim lebih berat dibanding tuntuan jaksa agar Napoleon dihukum 3 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.

Dalam kasus ini, Napoleon dinilai terbukti menerima uang sebesar 370.000 dollar Amerika Serikat dan 200.000 dollar Singapura dari Djoko Tjandra melalui perantara Tommy Sumardi.

Majelis hakim mengungkapkan, uang itu diberikan agar Napoleon memberi informasi terkait status red notice Djoko Tjandra di Interpol.

Selain itu, menurut majelis, suap diberikan agar Napoleon menyurati Direktorat Jenderal Imigrasi agar Djoko Tjandra dihapus dari Daftar Pencarian Orang (DPO) pada sistem milik pihak Imigrasi.

Dengan berbagai surat yang dibuat atas perintah Napoleon, pihak Imigrasi pun menghapus Djoko Tjandra dari DPO.

Maka dari itu, Djoko Tjandra dapat masuk ke Indonesia pada pertengahan tahun 2020 meski berstatus buron atas kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali.

Napoleon dinilai melanggar Pasal 5 ayat 2 jo Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Baca juga: Irjen Napoleon Tegas, Tak Ada Bukti yang Membuktikan Kami Terlibat, Kena Jebakan Tommy Sumardi?

Iren Napoleon Mengaku Jadi Korban Kriminalisasi

Irjen Napoleon mengaku dirinya telah didiskriminasi, seperti pernyataannya dalam lanjutan sidang kasus penghapusan red notice buronan Djoko Tjandra.

Bonaparte pun menyinggung malapraktik penegakan hukum yang diduganya sedang dilakukan pihak tertentu.

Praktisi hukum Saor Siagian pun menyoroti pernyataan Irjen Napoleon Bonaparte, terdakwa kasus penghapusan red notice Djoko Tjandra, dalam pleidoi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Napoleon menyebut dirinya adalah korban kriminalisasi Polri.

"Ini tuduhan serius."

"Artinya bahwa Napoleon tentu menurut penyidik dan JPU cukup bukti melakukan atau menerima suap."

"Dia harus membongkar siapa yang dituduh," kata Saor saat dihubungi Tribunnews, Rabu (24/2/2021).

Apalagi, tambah Saor, pangkat Napoleon di Polri bukan sembarangan, yakni Inspektur Jenderal alias bintang dua.

(Foto: Terdakwa kasus suap penghapusan red notice Djoko Tjandra, Irjen Pol Napoleon Bonaparte menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (2/11/2020). Kini telah Divonis 4 tahun. (Tribunnews/Irwan Rismawan).

"Yang paling sederhana ya Napoleon sebut saja nama-nama tersebut, dia kan diproses di pengadilan, tentu dia punya perlindungan."

"Tapi kan barangkali beliau ini mencoba untuk menyelamatkan diri dengan membuang badan."

"Tetapi pada saat yang sama menuduh lembaga tempat dia bekerja," tambah Saor.

Saor menilai KPK seharusnya juga ikut turun tangan menangani kasus Djoko Tjandra ini.

"Karena ini melibatkan aparat, jangan dia tanggung."

"Kemungkinan ada bintang tiga atau bintang empat yang mengkriminalkan dia, karena dia di lembaga kepolisian yang kulturnya taat kepada atasan," papar Saor.

Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri Irjen Napoleon Bonaparte sebelumnya menyebut dirinya korban kriminalisasi institusi Polri.

Napoleon juga menyebut dirinya adalah korban malapraktik dalam penegakan hukum.

Pernyataan ini ia sampaikan saat membaca nota pembelaan alias pleidoi atas tuntutan pidana penjara 3 tahun, karena disebut terbukti menerima uang suap dari buronan kasus korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra.

"Bahwa kami telah menjadi korban dari kriminalisasi melalui media sosial yang memicu malapraktik dalam penegakan hukum," ucap Napoleon dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (22/2/2021).

Ia menjelaskan, bentuk kriminalisasi dan malapraktik yang menimpa dirinya berangkat dari penegakan hukum yang terkesan tak berdasar.

Penegakan hukum dalam kasus Djoko Tjandra, disebut hanya demi mempertahankan citra institusi Polri semata.

Kasus Djoko Tjandra diusut lantaran terjadi pemberitaan secara masif di media massa dan berskala nasional, pada pertengahan Juli 2020, atas tudingan Pemerintah Indonesia, khususnya institusi penegakan hukum, sudah kecolongan.

"Sehingga memicu malapraktik penegakan hukum atas nama mempertahankan keluhuran muruah institusi."

"Kemudian disambut oleh pemberitaan di media massa secara masif dan berskala nasional, sejak pertengahan Bulan Juni 2020."

"Yang menuding bahwa Pemerintah Indonesia, terutama penegak hukum terkait, telah kecolongan," sambungnya.

Masifnya pemberitaan tersebut diperparah dengan munculnya foto surat keterangan bebas Covid-19 atas nama Brigjen Prasetijo Utomo, Djoko Tjandra, dan pengacaranya, Anita Kolopaking, yang diteken pihak Pusdokes Polri.

Sehingga, membuat kepercayaan atas institusi Polri kian menurun.

Sebab, kata dia, ada anggapan Polri sebagai biang keladi di balik rentetan kasus Djoko Tjandra.

"Telah menggulirkan tudingan publik kepada Polri, bahwa yang dianggap sebagai biang keladi tercorengnya kewibawaan pemerintah akibat kelemahan aparat hukum negara," paparnya.

Dituntut 3 Tahun Penjara

Jaksa penuntut umum (JPU) menuntut mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri Irjen Napoleon Bonaparte, hukuman 3 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.

Napoleon dinilai terbukti menerima suap penghapusan red notice Interpol Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra.

"Menuntut dengan pidana penjara selama 3 tahun, dengan perintah agar terdakwa ditahan di rumah tahanan," ucap JPU dalam sidang agenda pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (15/2/2021).

Tuntutan jaksa ini merujuk pada sejumlah pertimbangan.

Napoleon dinilai tidak mendukung pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi, kolusi, nepotisme.

Napoleon juga dinilai telah merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum di Indonesia.

Sedangkan hal yang meringankan tuntutan, jaksa menilai Napoleon bersikap kooperatif selama proses persidangan bergulir, dan baru sekali melakukan tindak pidana.

Atas dua pertimbangan tersebut, Napoleon dianggap melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Santrawan Paparang, kuasa hukum Irjen Napoleon Bonaparte mengatakan, tuntutan jaksa hanya copy paste dari isi dakwaan dan mengabaikan fakta-fakta yang terungkap selama proses persidangan.

"Tuntutan pidana jaksa penuntut umum itu copy paste aja dari dakwaan."

"Sehingga ada hal teknis yang seharusnya diangkat menjadi fakta dalam persidangan itu tidak diangkat," kata Santrawan, ditemui usai sidang tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (15/2/2021).

Sebab, pihak tim hukum Napoleon menyebut pemberian uang dari Tommy Sumardi ke Irjen Napoleon Bonaparte tak terbukti dalam persidangan.

Saat Tommy Sumardi menjadi saksi, ia hanya menerangkan perkara itu bertumpu padanya.

Sehingga, tim hukum menyebut penyerahan uang tersebut tidak pernah terjadi.

"Sehingga fakta-fakta yang mengatakan telah terjadi penyerahan uang dari Tommy Sumardi ke Irjen Napoleon Bonaparte, nol."

"Itu faktanya, penyerahan dan penerimaan uang itu nol."

"Kami menyampaikan ini agar supaya menjadi koreksi bersama," paparnya.

Santrawan menilai kliennya seharusnya dituntut bebas, atas segala dakwaan dalam kasus suap penghapusan red notice Djoko Tjandra.

Sebab, kata Santrawan, berdasarkan fakta dalam proses persidangan dan merujuk keterangan Tommy Sumardi, Irjen Napoleon Bonaparte tidak pernah menerima uang pengurusan red notice tersebut.

"Kalau ada fakta dalam proses persidangan, jaksa seharusnya berani tuntut bebas."

"Karena negara memberi kewenangan kepada jaksa untuk mengajukan tuntutan bebas."

"Kalau tidak terbukti tuntut bebas dong kalau berani," ucap Santrawan.

"Kami tidak mempermasalahkan, karena kata jaksa penuntut umum cuma terfokus pada kata dan kalimat menuntut mengadili," tuturnya.

Atas hal ini, kubu Napoleon memastikan bakal mengajukan pleidoi atau nota pembelaan atas tuntutan JPU.

"Jadi kami akan mengajukan hak kami selaku tim penasihat hukum, untuk mengajukan pleidoi atau pembelaan. Kami mohon waktu satu minggu," jelasnya.

Napoleon Bonaparte sebelumnya didakwa menerima suap sebesar 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS dari Djoko Tjandra.

Uang tersebut diterima lewat perantara Tommy Sumardi.

Uang tersebut diberikan oleh Djoko Tjandra agar namanya dihapus dari daftar DPO atau red notice.

Napoleon didakwa menerima duit itu bersama-sama Brigjen Prasetijo Utomo. Prasetijo menerima 150 ribu dolar AS.

Dalam surat dakwaan JPU, Irjen Napoleon Bonaparte memerintahkan Kabag Jatinter Set NCB Interpol Divhubinter Polri Kombes Tommy Aria Dwianto, membuat surat kepada pihak Imigrasi pada 29 April 2020.

Surat tu ditandatangani Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Pol Nugroho Slamet Wibowo.

Isi surat tersebut menginformasikan Sekretariat NCB Interpol Indonesia Divhubinter Polri sedang melakukan pembaruan sistem database DPO yang terdaftar dalam Interpol Red Notice melalui jaringan I-24/7.

Dan diinformasikan data DPO yang diajukan oleh Divhubinter Polri kepada Ditjen Imigrasi sudah tidak dibutuhkan lagi.

Napoleon juga memerintahkan Tommy Aria Dwianto untuk membuat surat pada 4 Mei 2020, perihal pembaharuan data Interpol Notices yang ditandatangani Brigjen Nugroho Slamet Wibowo untuk Ditjen Imigrasi, yang isinya menyampaikan penghapusan Interpol Red Notice.

Pada 5 Mei 2020, Irjen Napoleon Bonaparte memerintahkan Kombes Tommy Aria Dwianto membuat surat soal penghapusan red notice yang ditujukan kepada Ditjen Imigrasi Kemenkumham, dan ditandatangnai Brigjen Nugroho Slamet Wibowo.

Isi surat tersebut menginformasikan red notice Djoko Tjandra telah terhapus dari sistem basis data Interpol sejak 2014 setelah 5 tahun.

(Kompas.com/Warta Kota/Reza Deni)

Tautan:

https://nasional.kompas.com/read/2021/03/10/17100681/divonis-4-tahun-irjen-napoleon-saya-lebih-baik-mati-daripada-martabat

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved