Kasus Djoko Tjandra
Irjen Napoleon Seret Nama Yasonna dan Menganggap Jadi Jadi Korban Kriminalisasi
Napoleon juga menyebut dirinya adalah korban kriminalisasi dari kasus yang direkayasa.
TRIBUNMANADO.CO.ID - Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadivhubinter) Polri, Irjen Napoleon Bonaparte menilai penghapusan status DPO atas nama Joko Soegiarto Tjandra (Djoko Tjandra) dari sistem Enhanced Cekal System (ECS) pada Sistem Informasi Keimigrasian (SIMKIM) Direktorat Jenderal Imigrasi bukanlah tanggung jawab dia, melainkan tanggung jawab Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H. Laoly.
”Bahwa penghapusan nama Joko Soegiarto Tjandra dalam sistem ECS adalah kewenangan Menteri, Hukum dan HAM RI [Yasonna H. Laoly] atau Dirjen Imigrasi [Jhoni Ginting] sehingga bukan tanggung jawab terdakwa karena memang Terdakwa tidak memiliki kewenangan itu,” kata Napoleon saat membacakan nota pembelaan atau pleidoi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (22/2/2021).
Napoleon juga menyebut dirinya adalah korban kriminalisasi dari kasus yang direkayasa.
Ia mengatakan jerat hukum yang menimpa dirinya adalah upaya guna mempertahankan kewibawaan institusi Polri di tengah sorotan publik atas bebasnya buronan Djoko Tjandra keluar-masuk Indonesia.
”Bahwa kami telah menjadi korban dari kriminalisasi melalui media sosial yang memicu malapraktik dalam penegakan hukum berupa masifnya pergunjingan publik akibat sinisme terhadap kekuasaan yang telah menggeneralisir setiap simbolnya sebagai pelampiasan hasrat ghibah sehingga memicu malapraktik dalam penegakan hukum atas nama mempertahankan keluhuran marwah institusi,” kata Napoleon.
Napoleon mengatakan ada rekayasa di balik kasus yang menimpanya. Ia menuding rekan Djoko Tjandra, Tommy Sumardi, yang menjadi aktor utama rekayasa tersebut.
Menurut Napoleon, semua itu bermula ketika Tommy diminta mengakui penerimaan Rp10 miliar dari Djoko Tjandra terkait pengurusan pengecekan Red Notice. Hanya saja, Napoleon tidak mengatakan secara gamblang siapa pihak yang mendesak Tommy.
”Rekayasa kasus ini pun dimulai, Tommy Sumardi enggak punya pilihan lain kecuali berupaya mati-matian agar tidak dituntut karena telah menipu mentah-mentah Djoko Tjandra dengan janji dapat mengurus Red Notice. Untuk menghindar dari konsekuensi tersebut, maka di hadapan penyidik Bareskrim Polri, Tommy Sumardi kemudian merekayasa cerita bahwa uang tersebut telah dibagikan kepada kami," lanjut dia.
Dalam kesimpulan pleidoi, Napoleon meminta majelis hakim membebaskan dirinya dari seluruh tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Sebab, menurut dia, penghapusan DPO atas nama Djoko Tjandra bukan merupakan tanggung jawabnya, melainkan Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham.
"Oleh karenanya dapat ditarik kesimpulan bahwa perbuatan kami sebagai Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan," ujarnya.
Dalam surat dakwaannya, Napoleon disebut memerintahkan penerbitan surat yang ditujukan kepada Dirjen Imigrasi Kemenkumham RI, yaitu surat nomor B/1000/IV/2020/NCB-Div HI, tanggal 29 April 2020, surat nomor: B/1030/V/2020/NCB-Div HI tanggal 04 Mei 2020, dan surat nomor 8 1036/V/2020/NCB-Div HI tgi 05 Mei 2020. Dengan surat-surat tersebut, pada tanggal 13 Mei 2020 pihak Imigrasi melakukan penghapusan status DPO a.n. Joko Soegiarto Tjandra.
Yasonna sempat merespons saat buronan Djoko Tjandra terendus sudah berada di Indonesia. Ia menyebut ada dua kemungkinan Direktur PT Era Giat Prima (EGP) itu berada di Indonesia.
Dua opsi itu yakni lewat jalur tikus atau menggunakan identitas palsu. Yasonna mengatakan hal itu mungkin saja dilakukan sebab Ditjen Imigrasi Kemenkumham tidak mencatat kedatangan Djoko Tjandra ke Indonesia lewat bandara atau pelabuhan resmi.
"Melihat peristiwa sebelumnya Harun Masiku, saya langsung perintahkan untuk cek langsung, cek di server kita dan sekarang saya sudah minta melihat CCTV yang ada di perlintasan kita," kata Yasonna pada 2 Juli 2020 lalu.
Reaksi Polri
Terkait pledoi Napoloen itu, Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan menilai pernyataan itu hanya pendapat pribadi.
"Ya jadi setiap orang itu tentunya memiliki hak untuk berbicara mengeluarkan pendapat. Jadi silakan saja," kata Ahmad kepada wartawan, Senin (22/2).
Meski begitu Ahmad menegaskan langkah hukum yang dilakukan Polri berdasarkan bukti yang ada.
Sehingga proses hukum dilakukan sesuai aturan yang berlaku. "Siapa pun yang ditegakkan secara hukum, ada proses hukumnya," kata Ahmad.
Terkait perkara yang tengah menjeratnya, Napoleon dituntut dengan pidana penjara selama tiga tahun dan denda sebesar Rp100 juta subsidair enam bulan kurungan.
Jaksa menilai Napoleon terbukti secara sah dan menurut hukum menerima suap sebesar Sin$200 ribu atau sekitar Rp2.145.743.167 dan US$370 ribu atau sekitar Rp5.148.180.000 dari terpidana korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra. Suap total sekitar Rp7 miliar itu dimaksudkan agar Napoleon menghapus nama Djoko Tjandra dari DPO yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.
Berdasarkan hal itu, Djoko nantinya bisa masuk ke wilayah Indonesia secara sah dan tidak ditangkap oleh aparat penegak hukum lantaran berstatus buronan.
Ia berencana mendaftar Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang menghukumnya dengan pidana 2 tahun penjara terkait kasus korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali.(*)