Gurun Sahara
Potret Gurun Sahara Diguyur Hujan Salju, Seharusnya Tidak Terjadi di Bulan Januari, Mengapa Bisa?
Foto hujan salju di Gurun Sahara. Semestinya pada bulan Januari salju tidak pernah ada di kawasan gurun tersebut. Mengapa bisa?
TRIBUNMANADO.CO.ID - Potret fenomena alam langka terjadi di kawasan gurun Sahara, Aljazair.
Kawasan gurun di wilayah itu diselimuti salju.
Padahal semestinya pada bulan Januari salju tidak pernah ada di kawasan gurun itu.
Gurun Sahara mencakup sebagian besar wilayah Afrika utara dan telah mengalami perubahan suhu serta kelembaban selama beberapa ratus ribu tahun terakhir.
Meski wilayah Sahara sangat kering, peneliti memprediksi dalam waktu 15.000 tahun, Sahara akan kembali hijau.
Dilansir Middle East Monitor, Kamis (21/1/2021), fenomena alam ini diduga terjadi akibat tekanan tinggi udara dengan suhu sangat rendah
yang terkonsentrasi di wilayah gurun, lalu bereaksi dengan tingkat kelembaban yang tinggi hingga menimbulkan salju.
(Foto: Fenomena Langka hujan salju di Gurun Sahara.)
Seorang juru bicara kantor cuaca dan perubahan iklim Inggris menjelaskan cuaca dingin di dataran Eropa yang ada di utara gurun Sahara diduga menjadi penyebab munculnya es.
Sehingga kadar kelembaban inilah yang bisa menimbulkan salju. Hal ini diutarakan ketika terjadi hujan salju di wilayah yang sama pada 2018 lalu, seperti dikutip The Independence.
Tidak hanya di gurun Sahara, kemunculan butir-butir es juga terjadi di Ain Sefra, sebuah gurun di Aljazair.
Suhu di sana bahkan turun hingga minus 3 derajat Celsius pada Rabu (13/1/2021).
Ain Sefra dikenal sebagai The Gateway to the Desert, berada sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut, dikelilingi oleh pegunungan Atlas.
Pemandangan serupa juga terjadi di Arab Saudi.
Warga di kawasan Aseer berbondong-bondong keluar rumah untuk melihat fenomena langka saat padang pasir diselimuti es berwarna putih.
Suhu di Arab Saudi juga turun drastis hingga mencapai minus dua derajat celsius.
Perubahan iklim telah berdampak pada sejumlah aspek kehidupan, menciptakan bencana mulai dari kenaikan suhu air laut akibat es di Kutub Selatan dan Utara mencair, kenaikan suhu global sehingga menciptakan gelombang panas di beberapa negara hingga berdampak pada kebakaran hutan dan rusaknya habitat makhluk hidup.
Ahli Meteorologi NASA, Lesley Ott mengatakan saat ini telah terlihat bukti bahwa perubahan iklim secara drastis sudah terjadi dari yang sudah pernah diprediksi.
Karena itu kata dia saatnya umat manusia berdamai dengan alam.
“Tahun ini telah menjadi contoh yang sangat mencolok tentang bagaimana rasanya hidup di bawah beberapa efek perubahan iklim yang paling parah yang telah kami prediksi,” kata Lesley Ott.
Pernyataan senada juga dilontarkan Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres yang mengatakan bahwa kita sedang menuju bencana "kenaikan suhu 3-5 C abad ini,”.
"Berdamai dengan alam adalah tugas penting di abad ke-21. Ini harus menjadi prioritas utama untuk semua orang, di mana saja," kata dia.
Selain di gurun Sahara, pada 2008 dan 2019 hujan salju dilaporkan turun di Baghdad, Irak.
Para penduduk setempat pun heran dengan fenomena alam itu. Sebab, mereka sudah terbiasa dengan cuaca terik.
Bahkan jika masuk musim panas, suhu udara di Baghdad bisa mencapai 50 derajat Celcius. (Middle East Monitor/Independence/kps/wly)
(Foto: Salju di Gurun Sahara turun lagi setelah 37 tahun (Karim Bouchetata/Geoff Robinson Photography)
Penuh Lele dan Nila
Sisi lain Gurun Sahara yang tak diketahui orang banyak.
Tak seperti dulu, kini Gurun Sahara tak setandus hingga gersang seperti dulu.
Gurun Sahara adalah daerah yang tandus, gersang dan panas. Uniknya, sebuah penelitian menunjukkan gurun ini ternyata dulu adalah daerah kaya air
dan memiliki banyak spesies ikan, salah satu populasi terbanyak adalah ikan lele.
Catatan fosil, melansir Science Focus, Senin (24/2/2020) menunjukkan pada masa Holocene awal dan menengah,
Gurun Sahara merupakan wilayah yang lembab dan kaya air.
Area tersebut juga dihuni orang-orang kuno, serta beragam hewan.
Para peneliti di Museum Sejarah Alam di Belgia dan Sapienza University di Roma menggali sekitar 17.551 tulang, termasuk tulang ikan, katak, buaya dan burung.
Sebelumnya, para arkeolog ini telah menemukan bukti pada awal periode Holocene, sekitar 10.200 hingga 8.000 tahun lalu, Pegunungan Tadrart Acacus di Gurun Sahara memiliki banyak perairan.
"Sulit mengatakan berapa banyak air yang ada di sana. Selama awal periode ini, ada genangan air dengan banyak ikan,
tetapi segalanya berubah sekitar 5.900 tahun yang lalu," ungkap Prof Savino di Lernia.
Manusia diketahui menetap di gurun ini, yakni dilihat dari adanya struktur batu dan perapian di daerah tersebut.
Dalam investigasi tersebut, peneliti fokus melakukan penggalian di tempat penampungan batu Takarkori di barat daya Pegunungan Acacus, Libya.
Melansir Newsweek, peneliti menemukan hampir sisa-sisa 18.000 spesimen, 80 persen di antaranya adalah ikan.
Dua pertiga di antaranya adalah anggota genus lele (Clariidae) dan genus Tilapia, ikan nila. Sementara itu, sisanya terdiri dari sejumlah kecil burung, reptil, moluska, dan amfibi.
Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal PLOS ONE ini menyebut jika spesimen tersebut sebagian besar berasal dari periode Holocene awal atau antara 10.200 dan 4.650 tahun yang lalu.
Menariknya lagi, peneliti mengungkapkan pula bahwa sisa-sisa hewan itu adalah sisa makanan manusia karena ditemukan bekas luka serta tanda-tanda terbakar.
"Kami berharap menemukan sisa-sisa ikan di pegunungan. Meskipun jarang, sisa-sisa ikan masih ada di beberapa tempat di kawasan Sahara," jelas Savino.
Temuan ini pun memberikan gambaran selama periode tersebut, wilayah Sahara pernah dihuni oleh manusia-manusia prasejarah. Orang-orang ini kemudian menjadikan ikan sebagai bahan makanan yang penting bagi mereka.
"Studi ini menambahkan informasi baru mengenai perubahan iklim serta adaptasi budaya.
Sangat menarik bahwa ikan juga umum dalam makanan para penggembala awal," kata Savino di Lernia, peneliti dari Sapienza University of Rome.
Namun segalanya berubah sekitar 5.900 tahun yang lalu, Pegunungan Acacus menjadi semakin kering dan tak mampu lagi mempertahankan lagi air.
Kondisinya sekarang bahkan berangin dan panas. Lingkungan yang berubah ini kemudian memaksa para pemburu pengumpul
yang pernah mengandalkan ikan harus beradaptasi dan mengubah pola makan mereka.
Peneliti mendokumentasikan adanya pergeseran pola konsumsi mamalia yang lebih banyak dari waktu ke waktu, yang terjadi di Gurun Sahara ini.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Gurun Sahara dan Arab Saudi Hujan Salju, Ahli NASA Sebut Fenomena Ini Terjadi Secara Drastis, https://www.tribunnews.com/internasional/2021/01/22/gurun-sahara-dan-arab-saudi-hujan-salju-ahli-nasa-sebut-fenomena-ini-terjadi-secara-drastis?page=all&_ga=2.132625806.1632027669.1610160052-2070046167.1602802769