Hari Guru Nasional 2020
Selamat Hari Guru! Heinz Pearly Wokas : Guru dan Perubahan
Di tengah situasi pandemi, apakah program Merdeka Belajar dan Guru Penggerak yang dicanangkan lalu masih ada harapan?

Penulis:
Heinz P. Wokas
(Head of School Sekolah Dian Harapan Holland Village)
SABTU, 20 November lalu saya menghadiri sesi terakhir dari satu seri webinar yang telah dilaksanakan hampir 3 bulan terakhir.
Di salah satu slide presentasi, pemateri menampilkan sebuah kartun dengan kalimat-kalimat berikut:
“Who wants change?”
“Who wants to change?”
Digambarkan di kartun tersebut, ketika seorang orator mengajukan pertanyaan pertama, semua yang hadir langsung mengangkat tangan tinggi-tinggi.
Namun, ketika pertanyaan kedua ditanyakan, semua tangan yang teracung kemudian langsung diturunkan.
Saat saya sedang menyiapkan tulisan ini, saya iseng mencari kembali kartun tersebut di internet dan menemukan versi lanjutan (extended version) dari kartun yang saya sebutkan di atas.
Ternyata ada satu pertanyaan lagi yang ditanyakan oleh orator tersebut:
“Who wants to lead the change?”
Sangat mengejutkan karena semua yang tadinya mengangkat tangan tinggi-tinggi ketika pertanyaan pertama ditanyakan, sekarang bukan hanya tangan mereka diturunkan, tapi mereka juga menghilang.
Tidak ada satu pun yang tertarik memimpin perubahan atau menjadi bagian dari perubahan yang diinginkan.
Tahun 2020 telah memberikan kita banyak kejutan. Jika Anda adalah guru yang terbiasa menyiapkan Professional Growth Plan atau rencana pertumbuhan profesional di tiap akhir tahun, saya yakin hampir tidak ada yang menuliskan tujuan berikut di Desember 2019 yang lalu: “Mampu mengembangkan program pembelajaran yang bermakna di tengah pandemi.”
Berkaca dari perayaan Hari Guru Nasional 2019 yang lalu, saya yakin banyak dari kita yang terinspirasi dengan pidato Menteri Pendidikan, Nadiem Anwar Makarim, yang mencanangkan program Merdeka Belajar dan Guru Penggerak.
Pidato tersebut sepertinya memberikan secercah harapan akan perjalanan pendidikan di negara kita yang selama ini sudah banyak dikritik, namun para pemangku kepentingan sepertinya terjebak dalam kondisi yang membuat mereka terkesan tidak bisa berbuat apa-apa.
Setahun setelah pidato tersebut, dan ditambah dengan situasi pandemi yang masih berkepanjangan, mungkin banyak dari kita pelaku pendidikan kemudian bertanya-tanya, apakah program Merdeka Belajar dan Guru Penggerak yang dicanangkan lalu, masih ada harapan?
Saya ingin menjawab pertanyaan tersebut dengan rasa optimis yang tinggi bahwa masih ada harapan.
Bahkan, saya percaya, pandemi yang sedang kita hadapi saat ini menjadi satu katalisator untuk kita melakukan pembenahan dalam sistem pendidikan kita saat ini.
Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Dalam bukunya yang berjudul The Principal: Three Keys to Maximizing Impact, Michael Fullan memperkenalkan istilah professional capital.
Michael Fullan memberikan definisi berikut untuk menjelaskan istilah tersebut, “Professional capital is a function of the interaction of three components: human capital, social capital and decisional capital.”
Sederhananya, professional capital diartikan sebagai suatu hasil dari interaksi dari ketiga komponen tersebut.
Dalam kaitannya dengan guru, human capital berbicara mengenai talenta mengajar dari guru. Sementara social capital terkait kualitas dan kuantitas relasi dari kelompok guru.
Dan terakhir, decisional capital, berbicara mengenai kualitas dan kemampuan dari seorang guru atau kelompok guru dalam membuat keputusan di dalam kelompok atau komunitasnya.
Menarik untuk mengeksplorasi prinsip yang ditawarkan Fullan di tengah situasi pandemi saat ini.
Saya percaya, kebijakan Menteri Pendidikan mengembalikan fungsi guru kepada posisi semula adalah bentuk praktek yang sejalan dengan prinsip decisional capital.
Saya yakin kepercayaan yang kembali diberikan kepada guru, membuat guru secara tidak langsung dituntut untuk mengembangkan profesionalismenya.
Ini adalah harga yang harus dibayar. Mereka yang tidak mengembangkan kualitasnya sebagai pendidik, pasti akan semakin tertinggal dan tidak bisa menyalahkan sistem jika di kemudian hari, mereka tidak lagi diberikan kesempatan untuk mengajar.
Masih sejalan dengan keputusan yang diambil oleh Menteri Pendidikan, World Economic Forum dalam sebuah artikel yang berjudul The 10 skills you need to thrive in the Fourth Industrial Revolution yang dipublikasikan pada tahun 2016 yang lalu menunjukkan daftar ketrampilan yang menjadi ketrampilan penting di tahun 2020.
Di urutan pertama daftar tersebut ialah Complex Problem Solving. Sementara di urutan ke-7 ialah Judgement and Decision Making yang di daftar tahun 2015 menempati urutan ke-8.
Pandemi ini telah memaksa para guru untuk mau tidak mau mengembangkan keterampilan ini.
Bertahun-tahun kita dimanjakan oleh textbook yang tanpa kita sadari, pembelajaran kita di dalam ruang-ruang kelas telah dikontrol oleh textbook yang dibuat oleh orang-orang yang tidak mengenal murid-murid kita.
Tanpa textbook, pembelajaran kita sepertinya tidak bisa terlaksana. Padahal, itu adalah pemikiran yang keliru.
Textbook seharusnya hanya menjadi alat untuk mencapai tujuan pembelajaran yang kita inginkan. Bukan sebaliknya; Textbook yang mendikte kita sebagai guru dalam setiap pengambilan keputusan terkait program pembelajaran yang kita kembangkan.
Hal yang saya kemukakan di atas adalah satu aspek dalam pembelajaran yang disebut sebagai pedagogical decision making.
Keterampilan ini menjadi sangat krusial bagi para guru profesional.
Prachagool, V. et al (2016) dalam publikasi mereka yang berjudul Pedagogical Decision Making through the Lens of Teacher Preparation Program mengatakan bahwa “Pedagogical decision making … concerns belief, self-efficacy, and actions that teachers expose to classroom.”
Pedagogical decision making berbicara mengenai apa yang dipercaya oleh guru tersebut dan tindakan yang mengikutinya.
Jika seorang guru mengaku sebagai guru profesional, tentulah ia tidak akan bergantung sepenuhnya pada materi yang disajikan di dalam textbook karena tindakan tersebut bertentangan dengan apa yang dipercayainya.
Berefleksi pada situasi delapan bulan terakhir, banyak situasi yang mengkondisikan para guru mengembangkan keterampilan pengambilan keputusan dalam hal-hal pedagogi.
Prinsip pedagogy before technology benar-benar diuji di tengah pandemi saat ini.
Sederhananya, berapa banyak dari para guru yang ketika menggunakan sebuah aplikasi pembelajaran mempertimbangkan dengan seksama tujuan pembelajaran yang ditentukan?
Jangan-jangan aplikasi yang dipilih malah menentukan program pembelajaran yang direncanakan? Atau aplikasi tersebut sekadar membuat siswa sibuk tapi sebenarnya tidak belajar.
Sungguh sangat disayangkan jika aktivitas-aktivitas pembelajaran yang dipilih hanya untuk menghabiskan waktu. Maka jangan heran jika para siswa tidak menemukan makna dalam pembelajaran yang mereka ikut.
Situasi pandemi kiranya menjadi kesempatan untuk kita berbenah dan bertanya apakah profesionalisme kita semakin berkembang atau malah situasi ini membuat kita tidak bisa berbuat apa-apa.
Sejatinya manusia diberikan satu kemampuan saat menghadapi perubahan yaitu kemampuan beradaptasi.
Kemampuan ini hanya bisa berkembang ketika kemampuan yang lain seperti kemampuan mengambil keputusan juga dikembangkan.
Di momentum Hari Guru Nasional 2020 ini, mari kita mundur sejenak dan berefleksi.
Buah dari refleksi tersebut membuat kita menjadi guru-guru yang mengangkat tangan tinggi-tinggi ketika pertanyaan ini ditanyakan: “Who wants to lead the change?” (*)