Hari Sumpah Pemuda
Sosok Johanna Masdani Tumbuan, Perempuan Asal Minahasa yang Jadi Salah Satu Pengikrar Sumpah Pemuda
Johanna Tumbuan, yang ketika itu masih berusia 18. Di hari kelahiran Sumpah Pemuda itu, Johanna hadir mewakili sayap pemudi Jong Minahasa.
Sejak kecil Johanna dibesarkan dalam keluarga elite yang mendidik anak mereka secara Barat.
Sebagai anak perempuan satu-satunya, Johanna sangat dimanja kedua orang tuanya, terutama oleh sang ibu, Henriette Mosal.
“Ibu memperlakukan saya seperti porselen,” ujar Johanna dalam sebuah wawancara dengan majalah Gatra (2/11/1998).
Menjadi perempuan dari keluarga kaya dan terpandang menuntut Johanna untuk jadi orang terpelajar.
Setelah menamatkan pendidikan dasar di Amurang, Johanna dikirim merantau ke Batavia pada 1926.
Dimulailah hari-hari Johanna sebagai siswi sekolah menengah Christelijke MULO di Jalan Kwini.
Di tahun pertamanya menuntut ilmu, Johanna tidak kekurangan suatu apapun.
Dia hidup enak. Setiap hari pergi ke sekolah kemudian pulang ke asrama yang nyaman tanpa membawa beban. “Tiap bulan saya dikirimi uang cukup.
Dua ratus gulden lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan bulanan di Jakarta,” aku Johanna.
Kehidupan Johanna yang serba monoton berubah 180 derajat tatkala mulai berpacaran dengan Masdani, seorang pemuda Jawa yang sedang menuntut ilmu kedokteran di STOVIA.
Perlahan tapi pasti, Johanna terpengaruh sikap kekasihnya yang simpatik dan revolusioner itu.
Tak butuh waktu lama sampai Johanna akhirnya mau bergabung ke dalam organisasi kepanduan Indonesische Nationale Padvinders Organisatie (INPO) dan aktif di Jong Minahasa sedari 1927.
Di luar dugaan, Johanna menikmati bergaul dengan pemuda dan pemudi dari berbagai suku bangsa, khususnya Jawa.
Dari sekian banyak kegiatan amalnya, Johanna belajar banyak jenis adat dan kesenian Jawa.
Dalam pertunjukan amal untuk korban meletusnya Gunung Merapi tahun 1931, ia pernah tampil sebagai tokoh Chandra Kirana dan mengenakan kemben.