Hari Sumpah Pemuda
Johanna Masdani Tokoh Sumpah Pemuda, Perempuan Asal Minahasa yang Jadi Perancang Tugu Proklamasi
Sikap Johanna mulai berubah tatkala berjumpa dengan mahasiswa STOVIA bernama Masdani. Dari Masdani, Johanna mulai belajar tentang arti pergerakan.
TRIBUNMANADO.CO.ID - Johanna Tumbuan, yang ketika itu masih berusia 18.
Di hari kelahiran Sumpah Pemuda itu, Johanna hadir mewakili sayap pemudi Jong Minahasa.
Dua tahun sebelumnya, Johanna adalah seorang gadis yang berbeda.
Ia tak seperti siswa-siswa MULO lainnya yang antusias menyambut Kongres Pemuda I di Batavia pada April 1926.

Banyak kawan-kawan MULO-nya yang tertarik terjun ke organisasi. Johanna justru sebaliknya, ia tidak peduli.
Orang tua Johanna memang ingin agar anak gadis satu-satunya itu fokus menuntut ilmu, lalu pulang kampung ke Sulawesi Utara menjadi perempuan berpendidikan kebanggaan keluarga.
Sebagai anak orang kaya, Johanna dididik untuk tidak perlu memikirkan segala urusan pergerakan, apalagi melawan pemerintah kolonial.
Sikap Johanna mulai berubah tatkala berjumpa dengan mahasiswa STOVIA bernama Masdani. Dari Masdani, Johanna mulai belajar tentang arti pergerakan.
Bersama-sama, mereka sering mengkoordinasi gerakan-gerakan sosial dan terlibat dalam pertemuan pemuda.
Ujung-ujungnya, mereka pun berpacaran dan menikah di Jakarta pada 1942.
Baca juga: Sosok Johanna Masdani Tumbuan, Perempuan Asal Minahasa yang Jadi Salah Satu Pengikrar Sumpah Pemuda
Perancang Tugu Proklamasi
Selepas Kemerdekaan, perjuangan Johanna tak lantas usai begitu saja.
Pada 1946, di usia 36, Johanna menjadi salah satu dari beberapa aktivis perempuan yang berperan penting dalam peringatan satu tahun lahirnya Republik Indonesia.
Johanna mengemban misi khusus yang datang dari perkumpulan mahasiswi dan perempuan Jakarta.
Pada Juni 1946 mereka meminta Johanna untuk menjadi ketua pemrakarsa pembuatan tugu peringatan satu tahun Proklamasi yang rencananya akan dibangun di halaman gedung Jalan Pegangsaan Timur 56.
Awalnya Johanna ragu menerima tugas itu.
Perkara dana menjadi kecemasannya yang pertama.
Menurut Johanna, akan sangat sulit menggalang dana dalam kondisi kritis Kota Jakarta yang tengah diduduki tentara Sekutu.
Namun kegundahannya luruh setelah mendengar saran suaminya.
“Suami saya memberi semangat agar saya harus membuktikan bahwa saya, wanita Indonesia sanggup melaksanakan tugas itu,” kata Johanna seperti dikutip Femina (16/8/1983).
Johanna dengan giat melakukan penggalangan dana.
Dibantu perempuan-perempuan anggota organisasi di Jakarta, pekerjaan itu pun usai hanya dalam kurun dua bulan.
Selain mengepalai seluruh kegiatan pembangunan, Johanna juga bertindak sebagai perancang gambar bangunan.
Johanna pula yang bertugas memilih tiga potong marmer yang masing-masing berisikan tulisan “Dipersembahkan oleh wanita republik,” teks proklamasi kemerdekaan, dan gambar peta Indonesia.
Baca juga: Dinkes Bolmut Sosialisasikan Bahaya Pangan di Kecamatan Kaidipang dan Bolangitang
Menurut Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia, Volume 3 (2004: 146), meski sempat mendapat tentangan dari tentara Sekutu, Johanna tetap bersemangat menyambut acara peresmian tanggal 17 Agustus 1946.
Bahkan Johanna menolak pulang dan tetap di tempat untuk berjaga.
Ditemani tidak kurang dari 200 siswa dan siswi sekolah menengah, Johanna menyalakan bara api dan melek bersama sampai pagi.
Ditampar Serdadu Jepang
Melihat polah Johanna, Alexander pun berhenti mengirim uang sembari berharap putrinya akan insaf dan pulang.
Namun Johanna tidak goyah. Kendati harus putus sekolah dan berjuang menghidupi diri dengan bekerja sebagai juru ketik di Departmen van Financien, Johanna tidak ingin memutus hubungan dengan Masdani yang dinilainya punya persamaan cita-cita.
“Idealisme kami amat indah. Benih-benih nasionalisme tumbuh subur merasuk jiwa, menembus sekat-sekat sukuisme dan golongan, demi kebangkitan bangsa,” ujar Johanna bangga.
Dengan biayanya sendiri Johanna berhasil mengantongi ijazah Kweek School (sekolah guru).
Johanna kemudian aktif sebagai pengajar di beberapa perguruan rakyat di Batavia, sambil terus menenggelamkan diri ke dalam kegiatan organisasi perempuan.
Menurut memoar yang dikumpulkan Lasmidjah Hardi dalam Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi: Kumpulan Pengalaman dan Pemikiran, Jilid V (1984: 39-40), Johanna pernah menjadi pembangkang selama masa pendudukan Jepang.
Tak seperti perempuan-perempuan anggota organisasi lainnya yang terpaksa menurut dan menggabungkan diri ke dalam Fujinkai, Johanna kukuh menolak bekerja sama dengan Jepang.
Kendati demikian, ia sempat belajar bahasa Jepang untuk beberapa saat dan akhirnya memutuskan berhenti lantaran merasa marah kepada Jepang.
Keputusan untuk berhenti timbul setelah seorang serdadu Jepang mendatangi dan menamparnya di depan umum hanya karena ia tidak memberi hormat.