Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Berita Bolmong

Wisata Toleransi Tiada Banding di Kabupaten Bolaang Mongondow

Toleransi antar umat beragama di sini tumbuh secara alami, berawal dari transmigrasi warga Jawa dan Bali di wilayah itu sejak tahun 1970an.

Penulis: Arthur_Rompis | Editor: Gryfid Talumedun
Istimewa
Mesjid, Gereja dan Pura di Mopuya 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Ingin berwisata toleransi?

Datanglah ke Desa Mopuya, Kecamatan Dumoga Utara, Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong).

Di desa itu, warga beragama Islam, Hindu dan Kristen hidup dalam damai.

Toleransi antar umat beragama di sini tumbuh secara alami, berawal dari transmigrasi warga Jawa dan Bali di wilayah itu sejak tahun 1970 - an.

Pembauran dengan etnis asli Mongondow dan Minahasa, menciptakan komunitas baru yang heterogen, inklusif  dan egaliter.

Baca juga: Terima Kunjungan Pjs Gubernur, Clay Dondokambey Siap Sukseskan Sejumlah Agenda Prioritas

Mopuya berjarak sekira 80 kilometer dari Lolak, ibu kota Bolmong.

Dari Kotamobagu berjarak sekira 45 kilometer.

Perjalanan dapat ditempuh dengan mobil angkot.

Lama tempuh perjalanan dari Manado ke Mopuya adalah 5 jam, menggunakan bus Damri atau kendaraan sewa.

Berkunjung ke Mopuya, anda niscaya akan terkejut.

Banyak hal hal yang dianggap tabu di daerah lain adalah lumrah di Mopuya.

Tengok saja Mesjid, Pura dan Gereja yang letaknya bersebelahan.

Sering tiga tempat ibadah itu menggelar ibadah secara bersamaan.

Hal unik terjadi ketika suara adzan memadu dengan kidung pujian dan asap dupa pun menyeruak ke dalam gereja.

"Pernah natal jatuh pada hari Jumat, sementara mesjid menggelar salat Jumat dan umat hindu sedang bersiap siap mengadakan sembahyang purnama. Semuanya aman - aman saja," kata Mugiman, transmigran dari Banyuwangi Jawa Timur kepada Tribun Manado, Sabtu (10/10/2020) di Desa Mopuya.

Baca juga: Waspada Fenomena La Nina, BMKG Anjurkan Hal yang Harus Dilakukan Pemerintah dan Masyarakat

Mesjid, Gereja dan Pura di Mopuya
Mesjid, Gereja dan Pura di Mopuya (Istimewa)

Beber dia, dulunya umat Kristen, Hindu dan Islam menggunakan sebuah tempat sebagai rumah ibadah.

Peribadatan digelar secara shift.

Hal unik lainnya, ungkap dia, adalah fenomena kawin campur antar agama yang terjadi sangat mulus.

Bahkan, jika pernikahan terjadi secara Kristen, keluarga yang beragama muslim turut mengantar ke gereja.

Menyimak misa, ucapan asalammualaikum kerap terdengar.

"Biasanya sebelum nikah pasangan tentukan akan berkati agama apa," katanya.

Seorang kerabatnya menikah dengan gadis hindu. Banyak pula warga beretnis minahasa beragama kristen masuk Islam.

I Gede Gunung salah satu warga Hindu mengatakan, kawin campur antar agama tersebut lumrah terjadi.

Dan tak pernah muncul konflik.

"Kita sih relakan saja. Kan mereka sudah saling mencintai," ujarnya.

Wujud toleransi lainnya yang niscaya tak ada di tempat lain adalah perayaan hari besar.

Jamak pada hari natal, umat Muslim membangun tenda depan gereja.

Bahkan ada yang ikut ngepel gereja.

Sebaliknya, umat Kristen mematikan toa yang dipasang di gereja saat natal kala terdengar bunyi adzan.

"Hidup rukun dan damai sudah jadi bagian dari kehidupan warga desa ini," kata pemuka agama hindu I Ketut Kolak.

Selain suguhan kerukunan antar umat beragama itu, pengunjung akan disajikan alam yang indah berupa hamparan sawah serta rumah rumah beraksitektur Bali yang eksotik. (art)

Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved