Hari Guru Internasional
Kisah Perjuangan Guru SDN Muntoi, Bolmong: Naiki Bukit, Masuk Kebun Demi Temui Siswa
Merayakan hari guru di masa Covid 19 dengan demikian berarti merayakan kisah mereka.
Penulis: Arthur_Rompis | Editor: Rizali Posumah
TRIBUNMANADO.CO.ID - Di masa pendemi Covid 19, guru adalah pahlawan penyelamat satu generasi.
Merayakan hari guru di masa Covid 19 dengan demikian berarti merayakan kisah mereka, yang berjuang dalam sunyi, tanpa pamrih dan kadang terlupakan di tengah hiruk pikuk politik jelang pilkada.
Menaiki bukit sudah menjadi menu biasa bagi Yunarti Mokoginta dan rekan - rekannya sesama Guru SDN Muntoi, Bolmong.
Hal ekstrem ini dilakukan demi para siswa.
Di musim pendemi Covid 19, guru di Kabupaten Bolmong melaksanakan metode pembelajaran luring yakni mengajari para siswa di rumah.
Sejumlah siswa SDN Muntoibermukim di atas bukit. Yunarti dan kawan - kawan pun musti nekad naiki bukit jika ingin mengajari muridnya.
"Ini kami lakukan agar mereka bisa belajar," kata dia.
Pernah, kata dia, seorang rekan gurunya nekad ikut menaiki bukit.
Temannya itu sedang hamil. Jalan curam tak membuatnya menyerah.
"Jika kami menyerah, kasihan anak anak ini," katanya.
Sebutnya luring adalah pilihan terbaik untuk pembelajaran di masa pendemi.
Namun luring tak bisa gantikan metode pendidikan normal. Kelamaan luring, ia mengamati, para siswanya agak lambat
"Rasanya para siswa makin lamban.
Rasanya ingin menangis. Moga moga Covid segera berlalu. Agar bisa belajar seperti biasa," kata dia.
Rentje Winokan, guru SMP Satap di Desa Pomoman, Poigar yang terpencil, setiap hari harus berjuang menyelamatkan para siswanya dari putus sekolah.
Musim Covid 19 membuat persekolahan tak normal. Siswa lebih banyak waktu lowong di rumah.
Ini rupanya membunuh keinginan orang tua untuk menyekolahkan anaknya.
"Saya pun keluar masuk rumah, minta agar anak - anak kembali sekolah," katanya.
Ungkap Rentje, medan di Pomoman sangat sulit. Antara rumah yang satu dan lain berjauhan.
"Kadang saya harus ke kebun untuk menemui siswa," kata dia.
Rentje mengaku tak semua orang tua mudah dikasih mengerti. Mereka beralasan lebih baik anak mereka turun ke sawah daripada sekolah.
Tapi ia tak mudah menyerah. "Setiap hari saya kunjungi sampai mereka bosan melihat saya dan mengizinkan sekolah," kata dia.
Saat ada orang tua yang mau dibujuk, ia akan merasa senang luar biasa.
"Kepuasannya lebih dari uang," ujar dia.
Di tepi pantai Lolak, Rilfa Mareks berjuang menyelamatkan anak - anak nelayan dari putus sekolah.
Guru SDN Motabang ini tak pernah kendur mengadakan luring.
"Kalau saya kendur, banyak siswa disini akan hilang," katanya.
Sewaktu memulai luring sebulan lalu, ia mendapati banyak siswanya sudah lupa membaca. Ia pun berjuang keras agar mereka kembali bisa membaca.
"Saya sedih sekali. Tekad saya mereka harus bisa membaca," kata dia.
Agar siswa tak bosan, luring ia adakan secara kreatif. Misalnya belajardilaksanakan di pinggir pantai.
"Saya coba cara cara yang unik," ujarnya.
Di hari guru, ia berharap pendemi segera berakhir dan persekolahan berlangsung normal kembali.
"Saya dan siswa rindu ruang kelas," kata dia. (art)
• Kampanye Mor Prioritas Turun Langsung Kunjungi Masyarakat, Tapi Tetap Aktif di Media Sosial
• Bahoi Jadi Desa Ekowisata, Bupati Clay Dondokambey: Apa yang Kurang, Kita Lengkapi Perlahan-lahan
• Peringatan Dini BMKG Cuaca Ekstrem Selasa 6 Oktober 2020, Potensi Gelombang Tinggi Capai 6 Meter