G30S
Soekarno Tentang G30S: Pimpinan PKI Keblinger, Subversi Nekolim dan Oknum Tidak Bertanggung Jawab
Selama Orde Baru, penulisan peristiwa tersebut selalu ditulis dengan G30S/PKI, merujuk doktrin satu-satunya dalang peristiwa berdarah itu adalah PKI.
Cetakan kedua memuat bantahan dari Kolonel CPM Maulwi Saelan, wakil komandan Resimen Tjakrabirawa.
VERSI 4: Letjen Soeharto

Letjen TNI Soeharto, waktu itu menjabat Menpangad, menerima delegasi KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), salah satu organisasi antikomunis.
Komandan Brigade Infanteri I Jaya Sakti Komando Daerah Militer V, Kolonel Abdul Latief dalam Pledoi Kolonel A. Latief: Soeharto Terlibat G30S (1999) mengungkapkan bahwa dia melaporkan akan adanya G30S kepada Soeharto di kediamannya di Jalan Haji Agus Salim Jakarta pada 28 September 1965, dua hari sebelum operasi dijalankan.
Bahkan, empat jam sebelum G30S dilaksanakan, pada malam hari 30 September 1965, Latief kembali melaporkan kepada Soeharto bahwa operasi menggagalkan rencana kudeta Dewan Jenderal akan dilakukan pada dini hari 1 Oktober 1965.
Menurut Latief, Soeharto tidak melarang atau mencegah operasi tersebut.
Menurut Asvi, fakta bahwa Soeharto bertemu dengan Latief dan mengetahui rencana G30S namun tidak melaporkannya kepada Ahmad Yani atau AH Nasution, menjadi titik masuk bagi analisis “kudeta merangkak” yang dilakukan oleh Soeharto.
Ada beberapa varian kudeta merangkak, antara lain disampaikan oleh Saskia Wierenga, Peter Dale Scott, dan paling akhir Soebandrio, mantan kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) dan menteri luar negeri.
Dalam Kesaksianku tentang G30S (2000) Soebandrio mengungkapkan rangkaian peristiwa dari 1 Oktober 1965 sampai 11 Maret 1966 sebagai kudeta merangkak yang dilakukan melalui empat tahap:
1. menyingkirkan para jenderal pesaing Soeharto melalui pembunuhan pada 1 Oktober 1965;
2. membubarkan PKI, partai yang memiliki anggota jutaan dan pendukung Soekarno;
3. menangkap 15 menteri yang loyal kepada Presiden Soekarno;
4. mengambilalih kekuasaan dari Soekarno.
VERSI 5: Central Intelligence Agency (CIA).
Sebagai konsekuensi dari Perang Dingin tahun 1960-an, Amerika Serikat dan negara-negara Barat seperti Australia, Inggris, dan Jepang berkepentingan agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunis.
Amerika Serikat menyiapkan beberapa opsi terkait situasi politik di Indonesia.
Menurut David T Johnson dalam Indonesia 1965: The Role of the US Embassy, opsinya adalah membiarkan saja, membujuk Soekarno beralih kebijakan, menyingkirkan Soekarno, mendorong Angkatan Darat merebut pemerintahan, merusak kekuatan PKI dan merekayasa kehancuran PKI sekaligus menjatuhkan Sukarno.
Opsi terakhir yang dipilih.
Keterlibatan Amerika Serikat melalui operasi CIA (Dinas Intelijen Amerika Serikat) dalam peristiwa G30S telah terang benderang diungkap berbagai sumber.
Peter Dale Scott, profesor dari University of California, menulis US and the Overthrow of Sukarno 1965-1967 yang diterbitkan dengan judul CIA dan Penggulingan Sukarno (2004).
Menurut Dale, CIA membangun relasi dengan para perwira Angkatan Darat dalam Seskoad (Sekolah Staf Komando Angkatan Darat). Salah satu perwiranya adalah Soeharto.
Sumber lain Di Balik Keterlibatan CIA: Bung Karno Dikhianati (2001) karya wartawan Belanda Willem Oltmans. Juga buku Bung Karno Menggugat: Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga G30S (2006) karya sejarawan Baskara T Wardaya.
Sejarawan John Roosa juga mengungkap bahwa pada akhir 1965 Amerika Serikat memberikan perangkat komunikasi radio lapangan yang sangat canggih ke Kostrad.
Antenanya dipasang di depan markas besar Kostrad. Wartawan investigasi, Kathy Kadane dalam wawancaranya dengan para mantan pejabat tinggi Amerika Serikat di akhir 1980-an menemukan bahwa Amerika Serikat telah memantau komunikasi Angkatan Darat melalui radio-radio tersebut.
CIA memastikan frekuensi-frekuensi yang akan digunakan Angkatan Darat sudah diketahui oleh National Security Agency (Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat).
NSA menyadap siaran-siaran radio itu di suatu tempat di Asia Tenggara, dan sesudah itu para analis menerjemahkannya.
Hasil sadapan itu kemudian dikirim ke Washington.
Dengan demikian Amerika Serikat memiliki detil bagian demi bagian laporan tentang penyerangan Angkatan Darat terhadap PKI, misalnya, mendengar “komando-komando dari satuan-satuan intelijen Soeharto untuk membunuh tokoh-tokoh tertentu di tempat-tempat tertentu.”
Amerika Serikat juga memberikan bantuan dana sebesar Rp50 juta (sekitar $10.000) untuk membiayai kegiatan KAP (Komite Aksi Pengganyangan Gerakan September Tiga Puluh) Gestapu.
Selain itu, CIA juga memberikan daftar nama-nama tokoh PKI kepada Angkatan Darat. (Putra Dewangga Candra Seta)
Soekarno tak mengetahui
Gugurnya tujuh jenderal TNI saat gerakan 30 September alias G30S/PKI membuat presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno menjadi bersedih.
Kesedihan Presiden Soekarno atas gugurnya tujuh jenderal TNI korban G30S/PKI diungkap dalam buku bertajuk 'Maulwi Saelan Penjaga Terakhir Soekarno', Penerbit Buku Kompas 2014
Maulwi yang merupakan pengawal pribadi Bung Karno, mengatakan kalau presiden Soekarno sangat sedih sekali atas nasib yang menimpa para jenderal TNI yang diculik.
“Presiden sedih sekali atas nasib para jenderal yang diculik, khususnya Jenderal Ahmad Yani, jenderal yang amat disayanginya. Karena nasib para jenderal dan seorang perwira pertama belum diketahui, Presiden memerintahkan saya untuk mencari tahu nasib mereka." tulis Maulwi dalam bukunya.
Pada 2 Oktober 1965, Presiden Soekarno telah memanggil semua Panglima Angkatan Bersenjata bersama Waperdam II Leimena dan para pejabat penting lainnya dengan maksud segera menyelesaikan persoalan apa yang disebut Gerakan 30 September.
Tindakan Bung Karno itu merupakan langkah standar karena dirinya adalah selaku Panglima Tertinggi ABRI.
“Pada tanggal 3 Oktober 1965 pagi, saya menghadap Presiden Soekarno, menyampaikan laporan tentang perkembangan terakhir termasuk penemuan seorang agen polisi,” kata Maulwi yang menjabat sebagai pengawal pribadi Bung Karno dan Wakil Komandan pasukan Tjakrabirawa.
Setelah mempelajari keterangan seorang agen polisi yang bernama Sukitman, Maulwi bersama Letnan Kolonel Ali Ebram dan Sersan Udara PGT Poniran menumpang Jip Toyota No.2 berangkat menuju Halim Perdanakusuma.
Sekadar informasi, ternyata sewaktu penculikan para jenderal 1 Oktober 1965, Sukitman sedang bertugas dan ikut dibawa ke Lubang Buaya, yang akhirnya ditemukan oleh patroli Tjakrabirawa.
Mereka terlebih dahulu melapor dan bertemu dengan Kolonel AU/PNB Tjokro, perwira piket Halim Perdanakusuma.
“Saya sampaikan maksud kedatangan saya” kata Maulwi.
“Kami dibantu seorang anggota TNI AU berpangkat letnan muda penerbang, mencari lokasi yang diceritakan oleh agen polisi tesebut.”
Jip Toyota selalu membawa satu set generator listrik berkekuatan 1 PK yang sewaktu-waktu dapat digunakan karena pada waktu itu arus listrik sering mati-hidup.
Mereka menemukan sebuah rumah atau pondok kecil di Lubang Buaya yang didekatnya terdapat sebuah pohon besar.
Dilakukan pencarian di sekitarnya dan ditemukan sebidang tanah yang sudah tidak digunakan, tetapi terlihat tanda mencurigakan seperti baru dipakai.
Di tempat itu, tumpukan dedaunan dikorek-korek dan terlihat permukaan sebuah sumur tua.
Karena tidak memiliki peralatan untuk menggali tanah, mereka meminta bantuan warga sekitar untuk menggali sumur itu.
Tak berapa lama, muncul pasukan RPKAD dipimpin Mayor C.I. Santoso dengan membawa agen polisi Sukitman sebagai petunjuk jalan, dan ikut pula ajudan Jenderal Ahmad Yani, Kapten CPM Subardi.
“Setelah mendapat penjelasan dari kami dan dicocokkan dengan keterangan agen polisi tersebut,” kata Maulwi, “penggalian dilanjutkan.”
Penggalian sulit dilakukan karena lubang sumur itu hanya pas untuk satu orang, proses penggalian memakan waktu lama.
Hari mulai gelap, belum ditemukan tanda-tanda yang mencurigakan. Generator milik Tjakrabirawa dihidupkan untuk menerangi proses penggalian.
Lewat tengah malam mulai tercium bau tak sedap.
Setelah penggalian cukup dalam dan terus digali, akhirnya ditemukan sebuah tangan.
Penggalian dihentikan sementara karena orang-orang tidak tahan dengan bau yang keluar dari sumur.
Setelah berunding dengan C.I. Santoso, disepakati untuk melaporkan hal itu kepada Pangkostrad Mayjen Jenderal Soeharto guna instruksi selanjutnya.
Dan, untuk penggalian selanjutnya, diperlukan tenaga dan peralatan khusus misalnya masker dan tabung oksigen seperti yang dimiliki pasukan katak KKO.
Saat itu sudah pukul 03.00.
“Rombongan saya pulang untuk Salat Subuh dan istirahat karena mulai merasa flu,” kata Maulwi.
“Selanjutnya, saya perintahkan Letnan Kolonel Marokeh Santoso, Kepala Staf Resimen Tjakrabirawa, untuk menggantikan dan mewakili saya. Jadi, tidak benar sama sekali, berita yang mengatakan bahwa Presiden Soekarno mengetahui peristiwa penculikan G30S itu. Dan, tidak pernah ada perintah Presiden kepada kami untuk menghilangkan jejak para jenderal yang diculik.”
• Fakta Aksi Penyiksaan Kepada 7 Jenderal di Film G30S PKI Merupakan Rekayasa, Diakui Sutradaranya
• Siapa Dalang G30S? Berikut 5 Versi, dari PKI, Konflik Internal AD, Soeharto hingga CIA
• Muhammad Yunus Yosfiah, Menteri Penerangan Terakhir, Sosok yang Cabut Kewajiban Nonton Film G30S PKI
Artikel ini telah tayang di surya.co.id dengan judul Mengenang 7 Jenderal TNI yang Diculik hingga Dibantai oleh PKI, Begini Proses Penemuan Jasad Mereka.