Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Peristiwa G30S PKI

Kisah Jenderal DI Pandjaitan, saat Subuh Rumahnya Dikepung Lalu Ia Diseret, Anak Jadi Saksi Hidup

Seperti diketahui, peristiwa G30S terjadi pada 30 September sampai di awal 1 Oktober di tahun 1965.

Editor: Alexander Pattyranie
YouTube TribunJatim
Kolase foto Jenderal DI Pandjaitan. 

TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - Dalam peristiwa Gerakan 30 September atau G30S, 

Donald Isaac Panjaitan atau DI Pandjaitan jadi satu di antara korban.

Seperti diketahui, peristiwa G30S terjadi pada 30 September sampai di awal 1 Oktober di tahun 1965.

BERITA PILIHAN EDITOR :

 Kecelakaan Maut, Dua Pelajar Tewas Mengenaskan, Bawa Motor dengan Cepat hingga Menabrak Truk Tangki

 Kisah Anggota PKI Tak Mempan Peluru ABRI, Tewas Setelah Jawaban Satu Kata, Diduga Kebal Terbuka

 Ramalan Soeharto Nasib Indonesia Tahun 2020 Tidak Meleset, Pak Harto: Orang Tidak Bisa Bekerja

TONTON JUGA :

Dikutip dari Tribunwow, Rabu (30/09/2020), DI Panjaitan adalah salah satu pahlawan revolusi Indonesia yang

meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 40 tahun.

Sang putri, Catherine Panjaitan mengungkapkan kesaksiannya ketika peristiwa terjadi,

dikutip TribunWow.com dari kanal YouTube iNews Talkshow & Magazine pada Selasa (25/09/2018).

Catherine mulanya mengatakan para pasukan pembelot datang ke rumahnya dengan

mengepung seluruh sisi rumah pada pukul 04.00 WIB pagi, 1 Oktober 1965.

"Ya benar mereka datang subuh setengah empat dan menurut rekonstruksi

mereka diperintahkan datang ke rumah jenderal-jenderal untuk mereka diculik dikasi waktu satu jam," ujar Catherine yang saat itu berumur 17 tahun.

"Dalam satu jam, dapat tidak dapat, bubar."

Ia mengatakan saat itu, ayahnya berhasil didapatkan para pasukan pembelot dalam waktu 55 menit.

"Nah ayah saya 55 menit, jadi mereka mendapatkan ayah saya. Nah terus mula-mula mereka datang dikepung, (rumah) oleh massa ya," ujarnya.

"Di depan berapa truk, di belakang juga beberapa truk. Dan kita terbangun oleh ribut mereka. Datang 'druk-druk' (suara sepatu) boots dan mereka teriak-teriak 'Bapak jenderal-bapak jenderal'. Nah kita bangun, siapa?," paparnya.

Saat itu, dirinya bersama ibu dan DI Panjaitan berada di lantai atas.

Dan saat itu keluarganya menghalau untuk pasukan pembelot bertemu DI Panjaitan.

"Di bawah terjadi perlawanan oleh sepupu saya dan om saya, ada tiga orang laki-laki. Ya karena enggak puas mereka langsung tembak, jadi dua orang kena. Sambil sepupu saya teriak, orang Batak itu bilang Om, Tulang 'Tulang, tulang jangan turun'," ujarnya menceritakan kembali.

Lantas para pasukan pembelot menanyakan kepada pembantunya dan mengetahui di mana DI Panjaitan berada.

"Nah kita kan enggak ngerti ya, akhirnya mereka masuk, pembantu ditanya 'Ndoromu mana?' terus kasih tunjuk, beliau atas," ungkapnya menirukan percakapan keduanya.

Saat itu ia berkisah, dirinya tak bisa meminta bantuan karena telepon pada jaman dahulu yang berbentuk paralel dipotong kabelnya dari lantai bawah.

"Akhirnya kita sibuk telepon, tapi dulu kan paralel, kita di atas, yang di bawah mereka gunting jadi enggak bisa cari bantuan."

"Akhirnya mereka di tangga teriak 'Bapak jenderal, bapak jenderal' panggil ayah saya. Terus ayah saya sedang sibuk ngokang-ngokang (senjata)."

tribunnews
Sang putri, Catherine Panjaitan mengungkapkan kesaksiannya ketika peristiwa DI Panjaitan dibunuh kelompok pembelot G 30 S. (Capture YouTube Inews Magazine)

Panggilan pasukan pembelot lantas dijawab oleh ibunya.

"Terus dijawab, 'Ada apa', (dijawab) 'Dipanggil kepala duka yang mulia'. Akhirnya ibu bilang 'Pakai-pakaian dulu', lalu (ayah) turun ke bawah, saya mau ikut dilarang ayah saya," sebutnya.

Ia menjelaskan saat itu ayahnya ditarik dengan paksa untuk turun ke bawah.

"Menurut rekontruksi mereka tarik ayah saya ke bawah, paksa dorong kasar sekali. Saya enggak boleh ayah saya ikut saya ke balkon mau lihat apa kelanjutannya," ujarnya.

Pada saat itu, ia melihat ayahnya dipaksa untuk hormat kepada perwira.

"Ayah saya disuruh hormat. Saya sebagai tentara ya mengerti, kok disuruh hormat? Terhadap perwira atau jenderal," kata Catherine.

Namun DI Panjaitan menolak dan mendapat pukulan di dahi.

Catherine lantas tahu, tembakan dilepaskan oleh pasukan pembelot ke dahi ayahnya.

"Langsung ayah saya pakai senjata laras dipukul, ayah saya jatuh saya langsung lari turun ke bawah, ternyata ditembak di dahi."

"Tapi saat saya turun ayah saya enggak ada lagi, diseret dilempar ke gerbang, karena gerbang kan tinggi, dilempar sudah kaya binatang," ungkapnya.

Mayat DI Panjaitan dibawa oleh pasukan pembelot ke dalam truk dan dibawa kembali ke markas gerakan itu di Lubang Buaya.

Diketahui, Lubang Buaya merupakan tempat di kawasan Pondok Gede, Jakarta yang menjadi tempat pembuangan para korban G30S.

Chaterine juga membenarkan jalan cerita film G30S merupakan benar adanya karena ia ikut terlibat dalam memberikan kesaksian peristiwa itu.

"Persis almarhum Arifin C Noer (red: sutradara) gambarkan," imbuhnya.

Chaterine juga menyatakan, Arifin C Noer melakukan wawancara satu per satu dengan saksi peristiwa

Lihat videonya:

Biografi DI Panjaitan

Mayor Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan lahir di Balige, Sumatera Utara, 9 Juni 1925, dikutip dari Wikipedia.

Saat Indonesia sudah meraih kemerdekaan, ia kemudian bersama para pemuda lainnya membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian menjadi TNI.

Di TKR, ia pertama kali ditugaskan menjadi komandan batalyon, lalu menjadi Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi pada tahun 1948.

Hingga dirinya menjadi Kepala Staf Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatera.

Dan saat Pasukan Belanda melakukan Agresi Militernya yang Ke II, Panjaitan diangkat menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).

tribunnews
Presiden Sukarno terkesiap saat ditanya Cindy Adams jurnalis Amerika Serikat (insert tengah) soal Gerakan 30 September. Simak berita selengkapnya. (SCREENSHOOT YOUTUBE/ARSIP NASIONAL RI/KOLASE TRIBUNWOW.COM)

Hingga berakhirnya Agresi Militer Belanda ke II, dan Indonesia pun memperoleh pengakuan kedaulatan.

Panjaitan lantas diangkat menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium (T&T) I Bukit Barisan di Medan.

Saat itu ia dipindahkan lagi ke Palembang menjadi Kepala Staf T & T II/Sriwijaya.

Seusai mengikuti kursus Militer Atase (Milat) tahun 1956, ia ditugaskan sebagai Atase Militer RI di Bonn, Jerman Barat.

Ketika masa tugasnya telah berakhir sebagai Atase Militer, ia pun pulang ke Indonesia.

Akan tetapi, tak lama pada tahun 1962, dirinya ditunjuk menjadi Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad).

Jabatan inilah terakhir yang diembannya saat peristiwa G30S terjadi.

(TribunWow.com/ Roifah Dzatu Azmah)

BACA JUGA :

 Debat Capres AS Panas, Joe Biden Sebut Donald Trump Badut dan Anak Anjing Vladirmir Putin

 Cerita Burhan Kapak Bantai Anggota PKI dengan Sadis Usai G30S: Lebih Baik Membunuh Daripada Dibunuh

 Kisah Jenderal Ahmad Yani Marah PKI yang Bunuh TNI Sebelum G30S 1965: Gawat, Asah Pisau Komandomu

TONTON JUGA :

Artikel ini telah tayang di Tribunwow.com dengan judul Kisah Mencekam G30S Diungkap Putri Jenderal DI Pandjaitan, Rumahnya Dikepung dan Ayahnya Diseret

https://wow.tribunnews.com/2019/09/29/kisah-mencekam-g30s-diungkap-putri-jenderal-di-pandjaitan-rumahnya-dikepung-dan-ayahnya-diseret

Penulis: Roifah Dzatu Azma

Editor: Mohamad Yoenus

Sumber: TribunWow.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved