Mohamaad Yamin
Mohammad Yamin- Sejarawan Memegang Peran Penting Merumuskan Sumpah Pemuda, Alat Pemersatu 'Bahasa'
Mohammad Yamin mempunyai peran sebagai pemuda dalam proses menuju Indonesia merdeka.
Setelah mendapatkan pendidikan dasar di kampung halaman, Yamin melanjutkan pendidikan ke Pulau Jawa, tepatnya ke Algemene Middelbare School (AMS) di Surakarta. Selanjutnya, Yamin menuju ke Jakarta dan masuk Sekolah Tinggi Hukum (Rechts Hooge School) di Jakarta.
Setelah aktif dan memimpin Jong Sumatranen Bond, Yamin mulai aktif mengemukakan gagasan tentang persatuan Indonesia. Sebagai seorang sastrawan dan penyair, salah satu cara yang diyakini Yamin dapat menjadi "alat" persatuan adalah bahasa.
Gagasan ini pun diucapkan lantang dalam Kongres Pemuda I. Melalui pidatonya, "Kemungkinan Bahasa-bahasa dan Kesusastraan di Masa Mendatang", Yamin "menyodorkan" bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan.
"Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa bahasa Melayu lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan dan bahasa persatuan yang ditentukan untuk orang Indonesia. Dan kebudayaan Indonesia masa depan akan mendapatkan pengungkapannya dalam bahasa itu," demikian pidato Yamin, dikutip dari buku Cendekiawan dan kekuasaan dalam negara Orde Baru (2003)
Pidato itu mendapatkan respons baik dari para pemuda yang hadir dalam kongres. Mereka tertarik terhadap pemaparan Mohammad Yamin, terutama mengenai persatuan.
Banyak yang meyakini bahwa pemakaian bahasa Melayu yang memang sudah banyak digunakan sebagai bahasa pengantar selain bahasa Belanda dan bahasa Arab, akan digunakan sebagai bahasa pengantar di Indonesia.
Jong Sumatranen Bond sendiri pernah mendiskusikan bahasa persatuan ini sejak 1923. Kelak, penggunaan "bahasa Indonesia" ini diharapkan mendesak penggunaan bahasa Belanda.
Kongres Pemuda I memang belum berhasil menyatukan kelompok pemuda dalam satu organisasi. Namun, konsep mengenai persatuan Indonesia semakin benderang.
Menuju Sumpah Pemuda

Kongres Pemuda I belum bisa menghasilkan kesepakatan yang berarti. Akan tetapi, pidato Mohammad Yamin menimbulkan gejolak semangat yang baru.
Sebelum melakukan pertemuan akbar kedua, para pemuda kembali berupaya menyatukan sejumlah organisasi untuk fusi dalam satu wadah.
Perhimpunan Indonesia dan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPKI) menyepakati hal itu. Kemudian, banyak organisasi pemuda yang memilih untuk fusi dalam satu wadah.
Namun, Mohammad Yamin menolak dilakukannya fusi organisasi pemuda. Yamin lebih memilih dibentuknya federasi dari perkumpulan-perkumpulan yang ada. Sebab, perkumpulan masing-masing daerah lebih bisa bergerak bebas tanpa adanya sebuah aturan yang melekat.
Hingga dilakukannya Kongres Pemuda II dibuka pada 27 Oktober 1928 di Jakarta, Yamin yang menjabat sebagai Sekretaris Kongres belum menyetujui dibentuknya fusi.
Meski begitu, Yamin tetap memiliki semangat akan persatuan Indonesia. Dia tetap berharap semangat persatuan tetap ada namun tak menghilangkan kekhasan tiap daerah.