Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

NEWS

Kisah Oma Martje, Mata-mata RI yang Melihat Langsung Kejamnya Belanda: Airmata Saya Menetes

Martje Engkol selalu merasakan sensasi emosi yang luar biasa, di setiap hari proklamasi 17 Agustus

Editor: Rhendi Umar
KOMPAS/RONNY ADOLOF BUOL
Martje Engkol (74) seorang veteran perintis kemerdekaan terlihat menangis saat mengikuti Upacara Detik-Detik Kemerdekaan Indonesia di Halaman Kantor Gubernur Sulawesi Utara. 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Martje Engkol selalu merasakan sensasi emosi yang luar biasa, di setiap hari proklamasi 17 Agustus

Sepanjang hari itu, airmatanya bercucuran berulangkali.

Sekujur tubuhnya bergetar. Hal itu juga ia rasakan pada proklamasi kali ini.

"Airmata saya menetes berulangkali," kata dia kepada Tribun Manado di sela - sela pertemuan para veteran dengan Gubernur Sulut Olly Dondokambey usai peringatan detik - detik proklamasi, Rabu (17/8).

Kepada Tribun Manado, ia mengatakan, proklamasi selalu membawanya pada kenangan puluhan tahun silam.

Kala itu, Martje menjadi mata - mata republik dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan di Tamblang Tompaso.

"Tugas saya melaporkan keadaan Belanda kepada pasukan kita," kata dia.

Martje Engkol, mata-mata Indonesia di era perang kemerdekaan.
Martje Engkol, mata-mata Indonesia di era perang kemerdekaan. (TRIBUNMANADO/ARTHUR ROMPIS)

Cara memberi laporan, kata dia, lewat orang tertentu. Pernah ia diperintah orang tersebut untuk menulis pesan di atas kertas dan menaruhnya di sebuah tempat di kebun.

"Waktu itu saya kasih tahu berapa jumlah pasukan musuh dan posisinya," ujar dia.

Selain memberi informasi, tugas Martje lainnya adalah menyediakan makanan bagi pejuang.  Makanan disediakannya dalam plastik yang digantungnya di pohon di belakang rumah.

"Kami melakukannya pada malam hari," kata dia.

Dibeber Martje, banyak informan yang tidak beruntung. Mereka ditangkap belanda.

"Mereka disiksa disatu rumah, dipukuli secara bergantian," kata dia.

Salah satu informan yang tidak beruntung itu adalah ayah Martje.

Ayah Martje mengalami stress berkepanjangan.

"Hingga akhir hayatnya, ia senantiasa gemetar, itu peristiwa yang tidak bisa saya lupakan seumur hidup," kata dia.

Dikatakan Martje, banyak informan yang berkhianat. Mereka melaporkan siapa pendukung republik pada Belanda.

"Namun setelah Indonesia merdeka mereka mengaku sebagai pejuang, saya tahu mereka penghianat, tapi biarlah Tuhan yang memberi hukuman, dialah yang memberi berkat, Tuhan yang memberi kemerdekaan pada bangsa ini," kata dia.

Martje kini sudah tak bisa jalan.

Sang suami Yan Rompas yang juga pejuang, setia mendorong kursi rodanya.

Martje menyebut, ia dan Yan ketemu di saat perjuangan. "Waktu itu ia guru, kami ketemu, jatuh cinta dan menikah," kata dia.
Di usia senjanya, pikiran Martje masih tajam.

Ia mengaku selalu menyimak perkembangan Sulut lewat media massa. Dia memberi apresiasi terhadap pembangunan Sulut yang sangat pesat.

"Setiap hari ada berita turis datang," bebernya.

Hanya ia meminta nasib Veteran bisa diperbaiki."Kami veteran tidak minta negara membayar kami, itu kami lakukan dari hati, namun kami minta perbaikan nasib seiring dengan kemajuan negara," kata dia. ( Tribunmanado/Arthur Rompis)

SUBSCRIBE YOUTUBE TRIBUNMANADO OFFICIAL:

Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved