Pengamat Imbau Presiden Tak Cuma Beri Teguran, Tapi Langsung Reshuffle
Memang bagus-bagus saja jika sifatnya mengingatkan menterinya untuk bekerja lebih keras
TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta Ujang Komarudin mengimbau agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak hanya menyentil kinerja menterinya, karena tak akan menyelesaikan masalah.
Apalagi, jika para menterinya tak mengetahui apa yang harus dilakukan untuk menangani pandemi Covid-19, hingga memiliki kecenderungan 'mbalelo' atau membangkang.
"Jokowi jangan hanya menyentil kinerja menteri terus menerus."
"Memang bagus-bagus saja jika sifatnya mengingatkan menterinya untuk bekerja lebih keras," ujar Ujang ketika dihubungi Tribunnews, Kamis (6/8/2020).
"Namun sentilan tersebut tak akan menyelesaikan masalah jika para menterinya mbalelo."
"Jika menterinya low prestasi, dan jika menterinya tak tahu apa yang harus dilakukannya di tengah pandemi," tuturnya.
Menurut Ujang, solusi yang bisa diambil dari masalah ini tak lain adalah me-reshuffle para menteri.
Terutama, yang memiliki kinerja memble dan tak responsif terhadap kegelisahan rakyat.
Karena, dia menilai Jokowi tak akan bisa menyelesaikan masalah tersebut ketika masalah berada pada akarnya, yakni para menteri itu sendiri.
"Reshuffle adalah jalan terbaik. Jika tak ada reshuffle, maka Jokowi hanya akan bisa menyentil dan menyentil lagi, tanpa bisa menyelesaikan akar masalahnya."
"Akar masalahnya ya menterinya banyak yang berkinerja buruk, jadi ya ganti saja."
"Saat ini bukan lagi waktunya menyentil atau menegur."
"Waktunya untuk action mengganti menteri yang tak berprestasi atau berkinerja buruk," papar Ujang.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review tersebut menilai waktu yang tepat untuk melakukan reshuffle pada saat satu tahun para menteri menjabat.
Adapun Ujang menyebut ada tujuh menteri yang menurutnya pantas untuk di-reshuffle oleh Jokowi dan digantikan sosok baru.
"Soal waktu reshuffle, lebih cepat lebih baik. Yang paling pas ketika satu tahun kinerja menteri di bulan Oktober."
"(Yang harus di-reshuffle) Menkes, Mendikbud, Mensos, Menkumham, Menakertrans, Menpar, dan Menko Perekonomian," bebernya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menyoroti penyerapan anggaran Covid-19 oleh kementerian dan lembaga yang masih sangat minim.
Dari Rp 695 triliun anggaran penanggulangan Covid-19, baru Rp 141 triliun atau 20 persen yang dibelanjakan.
"Sekali lagi baru 20 persen, masih kecil sekali," kata Presiden dalam rapat terbatas penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (3/8/2020).
Presiden mengatakan, penyerapan anggaran tertinggi saat ini berada di perlindungan sosial, yakni 38 persen, kemudian program UMKM 25 persen.
Di luar itu, penyerapan atau realisasi anggaran sangat kecil sekali.
Jangankan realisasi anggaran, menurut Presiden, masih ada 40 persen kementerian dan lembaga yang belum memiliki DIPA (daftar isian pelaksana anggaran).
"Artinya apa? Di kementerian, di lembaga, aura krisisnya betul-betul belum, ya belum, masih sekali lagi kejebak pada pekerjaan harian."
"Enggak tahu prioritas yang harus dikerjakan," ucapnya.
Oleh sebab itu, Presiden meminta Ketua Komite Kebijakan Covid-19 untuk membuat rincian kementerian mana saja yang penyerapan anggarannya masih rendah.
Sehingga, menurutnya akan terlihat manajemen krisis yang ada di masing-masing kementerian dan lembaga.
"Saya minta pak ketua, urusan ini didetailnya satu per satu dari menteri-menteri yang terkait."
"Sehingga manajemen krisis kelihatan, lincah, cepat, trouble shooting, smart short cut, dan hasilnya betul-betul efektif, kita butuh kecepatan," perintahnya.
Presiden Jokowi menilai suasana masyarakat berada pada posisi yang khawatir terhadap penyebaran Covid-19, pada beberapa pekan belakangan.
"Saya tidak tahu sebabnya apa, tetapi suasana pada minggu-minggu terakhir ini kelihatan masyarakat berada pada posisi yang khawatir mengenai Covid-19."
"Entah karena kasusnya meningkat, atau terutama kalangan menengah ke atas melihat karena orang yang tidak taat pada protokol kesehatan tidak semakin sedikit, tapi semakin banyak," paparnya.
Menurut Presiden, tingkat kematian atau fatality rate di Indonesia mencapai 4,7 persen dari total kasus terkonfirmasi positif.
Angka kematian tersebut lebih tinggi 0,8 persen dari tingkat kematian global. " Ini yang saya kira menjadi PR kita bersama," tuturnya.
Sementara, recovery rate atau tingkat kesembuhan, menurut Presiden, terus meningkat, dengan angka saat ini mencapai 61,9 persen.
"Saya kira juga bagus terus meningkat angkanya."
"Oleh sebab itu pada kesempatan yang baik ini saya ingin agar yang namanya protokol kesehatan, perubahan perilaku di masyarakat betul-betul menjadi perhatian kita," ucapnya. (kps)
