Sulut
Berkoalisi dengan PAN, CEP Masih Mencari Dukungan Demokrat, Liando: Wajar Bangun Kekuatan Besar
Dosen Ilmu Politik Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Ferry Daud Liando mengatakan wajar jika Christiany Eugenia Paruntu (CEP) gencar berkomunikasi.
Penulis: Dewangga Ardhiananta | Editor:
TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO – Dosen Ilmu Politik Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Ferry Daud Liando mengatakan wajar jika Christiany Eugenia Paruntu (CEP), gencar berkomunikasi dengan sejumlah kekuatan politik dalam menghadapi Pilkada 2020.
Hal ini terkait perjuangan Tetty Paruntu sapaan akrabnya, untuk mendapat dukungan koalisi cukup berat.
Partai PAN siap koalisi jika Partai PKS juga mendukung dan juga sepertinya CEP berjuang mencari dukungan dari Partai Demokrat.
"Wajar jika Ibu CEP sangat serius berkomunikasi dengan sejumlah kekuatan politik yang memiliki kursi di DPRD," kata dia saat dihubungi Tribun Manado, Jumat (10/7/2020).
Sebab, jelasnya, Partai Golkar sesuai ketentuan UU 10 Tahun 2016 tentang Pilkada tidak memenuhi syarat pencalonan.
"Aturan menyebutkan parpol atau gabungan parpol harus memiliki minimal 20 kursi di DPRD dari hasil pemilu terakhir," bebernya.
Ia menambahkan, jika 45 dibagi dengan 20 dikali 100 maka parpol harus wajib memiliki minimal 9 kursi.
"Golkar hanya memiliki 7 kurisi. Di DPRD
Sulut hanya PDIP dan Nasdem yg memenuhi syarat. PDIP punya 18 kursi. Sedangkan Nasdem 9 kursi," jelas Ferry.
Dosen Fisip Unsrat itu mengatakan bahwa Golkar harus intens berkomunikasi sebab jika terlambat maka akan berbahaya.
"Ada dugaan skenario agar jumlah pasangan cukup dua saja atau head to head," lanjut dia.
Menurut dia, jika kenyataan ini terjadi maka akan membahayakan incumbent.
"Sebab pengalaman Pilkada diberbagai daerah, posisi incumbent selalu dalam kondisi terancam jika lawannya hanya satu pasang," ungkapnya.
Ia mencontohkan, pengalaman Pilkada di DKI Jakarta misalnya. "Pada saat lawan Ahok ada dua yakni Pak Anis baswedan dan Pak Agus Harimurti Yudhoyono, Ahok dengan mudah mengalahkan keduanya," jelasnya.
"Akan tetapi ketika memasuki putaran kedua, Ahok hanya ditantang oleh satu calon yaitu Pak Anis. Keadaan yang terjadi pada waktu itu adalah Ahok kalah," terang dia.
Contoh lain, lebih lanjut kata Ferry, Pilkada di Sangihe tahun 2018 juga demikan. "Incumbent kalah telak dari lawannya karena hanya satu pasang pada waktu itu," sebut dia.