Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Berita Bolmong

Kisah Para Pembawa Injil di Tanah Totabuan, Dunnibier Menyalin Alkitab ke Bahasa Mongondow

Gereja Masehi Injili di Bolaang Mongondow (GMIBM) merayakan Hut ke-70 dan Hari pekabaran injil GMIBM ke-116.

Penulis: Arthur_Rompis | Editor: David_Kusuma
Istimewa
Logo GMIBM 

TRIBUNMANADO.CO.ID, LOLAK - Gereja Masehi Injili di Bolaang Mongondow (GMIBM) merayakan Hut ke - 70 dan Hari pekabaran injil GMIBM ke-116, Minggu (28/6/2020).

Di umur yang sudah seabad itu, kiprah GMIBM terentang luas di segala bidang kehidupan.
Sesuai mandat budaya yang dimiliki gereja - gereja injili, tokoh tokoh GMIBM mampu membawa terang kristus dalam segenap aspek kehidupan di tanah Totabuan.

Mereka menjadi sangadi, pejabat, guru, dokter, perawat, tokoh masyarakat, pengusaha, anggota dewan hingga politisi.

Secara eksklusif, GMIBM mampu membangun jemaat yang besar dan injili dengan menghargai toleransi
antar umat beragama di Bolaang Mongondow Raya (BMR)

Masuknya injil di tanah totabuan merupakan kisah perjuangan panjang tanpa kenal lelah.

Olly-Steven Bagikan Sembako ke Struktur PDIP di Tomohon dan Minahasa, Mengucur 3.043 Paket

Dibawa pertama kali oleh sang rasul dari Maluku Joseph Kam, dengan membaptis seratus anak di Bolaang, injil nyatanya kurang berakar.

Wilken dan Schwarz yang turun kemudian tidak menemukan satupun orang kristen di kalangan rakyat jelata.
Namun asa untuk membawa injil ke tanah totabuan tak padam.

Datanglah W Dunnibier ke Bolmong. Kisah Dunnibier memberi sudut pandang baru terhadap sejarah pekabaran injil.

Mendapat sambutan baik dari raja dan masyarakat Passi, ia berbuat bukan hanya bagi gereja, tapi juga masyarakat.

Ia mengumpulkan dan menulis cerita-cerita yang menjadi cerita rakyat, menulis sejarah raja-raja di Bolaang Mongondow, menulis kamus bahasa Belanda-Mongondow serta menyalin cerita Alkitab kedalam bahasa Mongondow.

Daftar Negara yang Bersengketa dengan China, Salah Satunya Indonesia

Ia juga menulis tentang Budaya masyarakat Bolaang Mongondow. Banyak tulisannya menjadi acuan dalam penulisan tentang Bolaang Mongondow di masa lalu.

Kiprah Dunnibier membuktikan bahwa toleransi antar umat beragama di tanah
Totabuan telah terjalin sejak lama.

Berikut sejarah injil di tanah Totabuan yang dikutip situs GMIBM.

Injil pertama kali masuk ke Bolaang Mongondow ketika pendeta Yoseph Kam membabtis sebanyak seratus orang anak di Bolaang dan ketika sekolah yang dibuka oleh guru Yakobus Bastian ditutup, Setelah itu kabar berita tentang kehidupan kekristenan tidak diketahui lagi.

Tahun 1832 pendeta G.J. Hellendoorn dari Manado (pendeta GPI) dengan ditemani pendeta Schwarz dari NZG berkunjung ke Bolaang Mongondow mereka tidak menemukan orang kristen dikalangan rakyat selain di istana kerajaan. Demikian juga ketika tahun 1866 NZG di Minahasa menugaskan dua orang Zendelingnya untuk mengunjungi Bolaang Mongondow, mereka tidak menemukan adanya orang kristen.

Pendeta Wilken dan Schwarz berkunjung ke banyak tempat di Bolaang Mongondow selama 105 hari mereka menemui 50 persen penduduk telah memeluk agama islam dan selebihnya masih agama suku.

Pimpinan NZG di Belanda pada 21 Maret 1904 memutuskan untuk mengirimkan pendeta utusan ke Bolaang Mongondow agar secara tetap melaksanakan pekabaran injil.

Realisasi keputusan tersebut nyata pada saat pendeta W. Dunnebier tiba di Bolaang Mongondow (Poopo) bersama seorang muridnya Hendriek Lolombulan. Sesudah mengadakan percakapan dengan raja Cornelis Manoppo dan mengunjungi beberapa tempat lainnya serta mempersiapkan tempat tinggal, maka pendeta Dunnebier menjemput keluarganya yang telah berada di Kolongan Atas Sonder.

Tanggal 5 Juni 1905 seorang pendeta mulai tinggal menetap di Bolaang Mongondow. Karena pertimbangan khusus dan atas seisin raja serta penerimaan yang ramah dari masyarakat desa Passi, maka pada tahun 1906 pendeta Dunnebier membeli sebidang tanah seluas 1 Ha di desa Passi untuk dijadikan tempat tinggal.

Pembangunan rumah dipersiapkan dengan mendatangkan tukang tamatan sekolah pertukangan di Wasian Kakas. Para tukang dipimpin Kawuwung mengerjakan pembangunan tersebut lebih dari setahun. Tahun 1907 pembangunan selesai dan sejak waktu tersebut pendeta W. Dunnebier tinggal secara menetap di Passi sampai kembali pulang ke Belanda pada tahun 1938.

Selama 33 tahun pelayanannya, ia telah berbuat banyak bukan saja bagi gereja tetapi juga bagi masyarakat. Pendeta Dunnebier antara lain mengumpulkan dan menulis cerita-cerita yang menjadi cerita rakyat, menulis sejarah raja-raja di Bolaang Mongondow, menulis kamus bahasa Belanda-Mongondow serta menyalin cerita Alkitab kedalam bahasa Mongondow. Ia juga menulis tentang Budaya masyarakat Bolaang Mongondow. Banyak tulisannya menjadi acuan dalam penulisan tentang Bolaang Mongondow di masa lalu.

Ada satu hal yang perlu dikemukakan disini yaitu mengenai rencana pekabaran injil di Bolaang Mongondow. Tahun 1875 dilakukan lagi kunjungan oleh NZG di Minahasa ke Bolaang Mongondow. Raja Bolaang Abram Sugeha (1880 - 1892) telah menyetujui adanya pembukaan sekolah Zending di Bolaang Mongondow. Niat baik NZG yang telah mempertimbangkan pembukaan sekolah di Bolaang Mongondow tidak dapat diterima oleh Gouvernement dalam hal ini Residen di Manado.

Residen Manado berpendapat bahwa sebelum ditempatkan seorang Controleur , maka penempatan seorang pendeta disana belum dapat diijinkan. Tahun 1901 diakhir pemerintahan raja Riedel Manuel Manoppo pusat kerajaan Bolaang Mongondow dipindahkan lagi dari Bolaang ke Kotobangon.

Bersamaan dengan itu Residen di Manado menempatkan seorang Controleur yaitu Tuan A.c. Veenhuysen di Bolaang Mongondow. Controleur bersama beberapa staf dan tentara Belanda tinggal tidak jauh dari desa Poopo ditempat yang bernama Sinsakan dan berencana untuk membangun suatu tempat pemukiman baru di tempat bernama Sia. Rencana ini ditentang oleh penduduk desa Pontodon sebagai pemilik tanah di lokasi tersebut dan karena itu rencana pembangunan pemukiman baru di batalkan dan dialihkan ke dekat Kotobangun.

Tahun 1910 pembukaan suatu pemukiman baru selesai dilakukan terletak 1 Km dari Komalig di Kotobangon. Tahun 1911 Controleur memesan ke Batavia seekor kuda tunggang untuk mempermudah pekerjaan kunjungan ke desa-desa. Sesudah menanti cukup lama kuda pesanan tersebut tidak kunjung tiba. Ternyata kuda tersebut telah dikirim ke Kota Baru di Kalimantan. Peristiwa tersebut meyebabkan nama Kotabaru diganti nama menjadi Kotamobagu. (Mobagu artinya baru).

Pekabaran injil juga bertujuan untuk mencerdaskan masyarakat. Alkitab tidak mungkin dapat dipahami bilamana manusia tidak membacanya. Itulah sebabnya Raja Cornelis Manoppo sangat mendukung rencana pembukaan sekolah.

Di antara raja dan Pendeta Dunnebier disepakati untuk pembukaan sekolah dimana masyarakat akan menyediakan bangunan dan peralatan sekolah sedangkan pihak Zendeling menyiapkan tenaga guru. Sementara masyarakat mempersiapkan gedung sekolah ditempat-tempat yang telah disepakati maka pendeta W. Dunnebier membuat pengumuman di majalah Cahaya Siang yang terbit di Manado tentang dibutuhkannya tenaga guru untuk sekolah-sekolah di Bolaang Mongondow. Atas pengumuman tersebut banyak orang menyambutnya sambil menyampaikan permohonan untuk bekerja di Bolaang Mongondow. (art)

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved