Hendropriyono
Mantan Kepala BIN Sebut Sultan Hamid II Pengkhianat, Tak Pantas Jadi Pahlawan, Ini Alasannya
menghina Sultan Hamid II yang tidak layak disebut pahlawan karena dianggap sebagai seorang pengkhianat bangsa dalam sebuah video.
TRIBUNMANADO.CO.ID - Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono ke Polda Kalbar, Sabtu (13/6/2020)
Hendropriyono dilaporkan karena diduga menghina Sultan Hamid II
Hendropriyono dilaporkan Pangeran Sri Negara Kesultanan Pontianak, Kalimantan Barat, Syarif Mahmud
AM Hendropriyono dituding menghina Sultan Hamid II yang tidak layak disebut pahlawan karena dianggap sebagai seorang pengkhianat bangsa dalam sebuah video.
"Saya mewakili keluarga besar Sultan Hamid II melaporkan Hendropriyono atas pernyataannya yang menyebut Sultan Hamid II seorang pengkhianat bangsa," kata Mahmud, Minggu (14/6/2020) siang.

Menurut Mahmud, dia mendapat video tersebut pada Sabtu pagi, dari salah satu pengurus Yayasan Sultan Hamid II.
Video tersebut berdurasi 6 menit 13 detik yang menampilkan AM Hendropriyono berbicara tentang Sultan Hamid II dan sejumlah cuplikan gambar.
Video tersebut juga diunggah ke Youtube oleh kanal Agama Akal TV dengan judul "keturuan Arab pengkhianat, kok mau diangkat jadi pahlawan? Part 1 AM Hendropriyono".
"Laporan pengaduan ini terkait adanya dugaan penghinaan dan pencemaran nama baik (Sultan Hamid II)," ucap Mahmud.
Sebagaimana diketahui, pada intinya, dalam rekaman itu, Hendropriyono menyebutkan alasan mengapa Sultan Hamid II tidak layak dinobatkan sebagai pahlawan nasional.
“Tiap tahun kan ada pengusulan untuk menjadi pahlawan nasional, pada peringatan 17 Agustus, hari proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Akhir-akhir ini kan gencar sekali saya menerima WhatsApp, saya kira ini viral ya di media sosial tentang pengusulan Sultan Hamid II dari Pontianak sebagai pahlawan nasional," kata Hendropriyono.
"Saya ingatkan kepada generasi penerus bangsa, para kaum muda, jangan sampai tersesat dengan suatu usaha politisasi sejarah bangsa kita.
Karena Sultan Hamid II ini bukannya pejuang bangsa Indonesia,” jelas Hendropriyono.
Hendropriyono menjelaskan, definisi pahlawan nasional adalah orang yang merebut dan memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Menurut Hendropriyono, Sultan Hamid II tidak masuk kategori tersebut.
“Dia justru dulunya adalah tentara KNIL (tentara Belanda di Indonesia) yang pro ke Belanda.
Jadi tidak pro ke Indonesia. Dia bahkan pernah ditugaskan untuk memerangi kita (Indonesia),” papar Hendropriyono.
Dalam kesempatan itu, Hendropriyono menyebut Sultan Hamid II tidak senang ketika rakyat tidak menginginkan Indonesia menjadi negara kesatuan.
“Ketika Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat, pada tahun 1950 rakyat menginginkan Indonesia menjadi negara kesatuan, dia tidak happy.
Dia tidak senang. Dia tetap ingin menjadi federalis,” ungkap Hendropriyono.
Tanggapan polisi
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Bidang Humas Polda Kalbar Kombes Pol Donny Charles Go membenarkan laporan tersebut.
"Kita menerima suratnya, Ditkrimsus Polda Kalbar akan mempelajari dan menerbitkan laporan polisi bila hasilnya dianggap cukup," kata Donny.
Selain itu, kepolisian juga akan memeriksa sejumlah saksi dan barang bukti yang ada.
Namun, karena lokasi penerbitan kontennya di Jakarta, kasusnya kemungkinan dilimpahkan ke Mabes Polri.
"Secepatnya akan ditangani, tapi bila melihat lokasi pembuatan dan penerbitan konten di internet, lokasinya di Jakarta, sehingga penanganannya akan di limpahkan ke Mabes Polri," tutup Donny.
Siapakah Sosok Sultan Hamid II?
Mungkin tak banyak yang tahu sosok Sultan Hamid II yang dianggap pengkhianat oleh Hendropriyono.
Nama Sultan Hamid II, menurut Dosen di Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak, Turiman Fachturachman Nur M Hum tidak lepas dari lambang negara Indonesia Garuda Pancasila.
Sultan Hamid II dalam sejarahnya merupakan seorang perancang lambang negara Indonesia Garuda Pancasila
Dilansir dari Tribun Jateng dalam artikel 'Siapa Perancang Lambang Negara Indonesia?', penelitian ilmiah menunjukkan kalau Sultan ketujuh dari Kesultanan Pontianak itu, sebagai perancang Lambang Negara Indonesia.
Turiman Fachturachman membahas mengenai validitas perancang lambang negara saat mengambil gelar Magister di Universitas Indonesia pada tahun 1999.
Sultan Hamid II (kanan) bersama Presiden Soekarno dalam sebuah acara menjelang Konferensi Meja Bundar 1949 (BBC)
Menurutnya, ada dua tahap perancangan lambang negara yang dibuat oleh Sultan Hamid II.
Rancangan tahap pertama, pada 8 Februari 1950, mengambil figur burung garuda yang digali dalam mitologi Bangsa Indonesia berdasarkan bahan dasar yang dikirim oleh Ki Hajar Dewantoro dari sketsa garuda di berbagai candi di Jawa.
Gambar lambang negara yang dimaksud telah dikritisi oleh Panitia Lambang Negara.
Kemudian, rancangan tahap kedua, pada 10 Februari 1950, mengambil figur burung elang rajawali setelah Sultan Hamid II melakukan penyempurnaan dan perbandingan dengan negara lain yang menggunakan figur yang sama.
Figur burung elang rajawali tersebut kemudian ditetapkan menjadi Lambang Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) 11 Februari 1950 dan masuk berita negara Parlemen RIS 17 Februari 1950, Nomor 2 dan menjadi lampiran resmi PP No 66, Tahun 1951 berdasarkan Pasal 6.
Sultan Hamid II dalam transkrip 15 April 1967 secara keputusan hukum lambang, menamakan lambang negara RIS itu Rajawali - Garuda Pancasila.
Soekarno menamakan Elang Rajawali - Garuda, pada PP No 66, Tahun 1951 yang menyebut berdekatan dengan burung Elang Rajawali.
Kalimantan Barat telah mengusulkan di amandemen UUD Tahun 1945 terhadap pasal 36 menjadi pasal 36 A pada tahun 2000 kepada MPR RI.
Namun ketika UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan, pada pasal 48 tidak disebutkan siapa perancang lambang negara tersebut.
Padalah, lagu kebangsaan "Indonesia Raya" secara jelas dicantumkan nama Wage Rudolf Supratman sebagai penggubahnya.
Hal itu tercantum di Pasal 58 ayat (1) dari UU yang sama.
Terpidana Politik
Sultan Hamid II lahir pada 12 Juli 1913.
Ayahnya adalah Sultan Syarif Muhammad Al-Qadrie (Sultan Keenam/VI) dan ibunya adalah Syecha Jamilah Syarwani.
Menurut beberapa sumber, Sultan Hamid II menempuh pendidikan ELS (sekolah dasar) di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung.
HBS (sekolah lanjutan tingkat pertama) di Bandung satu tahun, THS (sekolah tinggi teknik) di Bandung, namun tidak tamat.
Ia kemudian melanjutkan pendidikan di Breda, Belanda, hingga tamat dan meraih pangkat Letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda.
Di era federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil daerah istimewa Kalimantan Barat.
Sultan Hamid II pernah memperoleh jabatan "Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden", yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai Asisten Ratu Kerajaan Belanda dan menjadi orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran.
Ia pernah menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio di masa Presiden Soekarno (Republik Indonesia Serikat), dan Ketua BFO atau Permusyawaratan Negara-negara Federal dalam Konferensi Meja Bundar.
Namun, namanya pun dianggap tersangkut dalam Peristiwa Westerling Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), meski berdasarkan putusan Mahkamah Agung Tahun 1953, meski di kemudian hari, tuduhan itu tidak terbukti.
Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) adalah milisi dan tentara swasta pro-Belanda yang didirikan pada masa Revolusi Nasional Indonesia.
Milisi ini didirikan oleh mantan Kapten DST KNIL Raymond Westerling setelah demobilisasinya dari kesatuan Depot Speciale Troepen (depot pasukan khusus KNIL) pada tanggal 09 Januari 1949
Pada 5 April 1950, Sultan Hamid II ditangkap.
Kemudian dijatuhi hukuman penjara 10 tahun, lalu mendapat potongan masa tahanan tiga tahun.
Tahun 1962, ia kembali ditahan setelah dibebaskan pada tahun 1958.
Bersama sejumlah tokoh lain, ia dituduh terlibat konspirasi untuk melakukan tindakan subversif terhadap negara.
Pada Jumat (12/7) sore, tepat satu abad peringatan kelahiran Sultan Hamid II, diluncurkan sebuah buku tentang biografi politik sang sultan.
Judulnya, "Sang Perancang Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila".
Buku setebal 600 halaman itu digarap bertiga oleh Turiman Fachturachman Nur, Nur Iskandar dan Dimyati Anshari.
Tokoh nasional asal Kalbar, Oesman Sapta mengatakan, Sultan Hamid II merupakan tokoh yang besar dengan rakyat.
Ia punya pengalaman dengan Sultan Hamid II saat bertamu di Jakarta 45 tahun silam.
"Saya pernah disuruh membangunkan beliau, padahal ada tamu, tapi sang sekretaris beliau, tidak berani membangunkan," ujar Oesman Sapta.
Turiman menegaskan, hingga kini belum ada pengakuan secara hukum kepada Sultan Hamid II selaku perancang lambang negara Indonesia.
"Siapa pencipta lagu Indonesia Raya, penjahit bendera Pusaka Sangsaka Merah Putih, pencipta lagu Garuda Pancasila, semua bisa menjawab.
Tetapi, siapa perancang lambang negara, tidak ada yang bisa menjawab," kata Turiman Fachturachman.
Ia berharap, buku tersebut dapat menggugah kesadaran berbangsa mengenai Sultan Hamid II yang hingga kini karyanya masih menjadi salah satu alat pemersatu bangsa, di samping meluruskan alur sejarah selama ini mengenai kiprah politik sang sultan.
Ada catatan singkat Sultan Hamid II di atas kertas berlogo Ronde Tafel Conferentie atau Konferensi Meja Bundar ketika menyerahkan arsip Rancangan Lambang Negara kepada Mas Agung (Ketua Yayasan Idayu - Jakarta), pada 18 Juli 1974.
Isinya, "mungkin ini adalah yang dapat saya sumbangkan kepada bangsa saya, dan mudah-mudahan sumbangan pertama saya (Lambang Negara) ini bermanfaat bagi negara yang dicintai oleh kita".
Sultan Hamid II wafat di Jakarta pada tanggal 30 Maret 1978.
Ia dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batu Layang, Pontianak Utara.
(Kompas.com/TribunJateng.com)