Kerusuhan di AS
Sikap Masa Bodoh & Rasisme, Donald Trump Disebut Coba Membuat Rakyat Saling Bentrok
Sikap dan pernyataan Trump itu bukan sekadar fantasi yang tak dapat diterima, akal sehat.
Ia masuk gereja, berlutut, dan berdoa? Tidak! Atau ia duduk berdoa khusuk mohon petunjuk dan kekuatan Tuhan untuk mengatasai situasi negara? Tidak juga!
Trump hanya berdiri di depan gereja, sama sekali tidak masuk gereja. Tangan kanannya mengangkat Kitab Suci, dan berfoto. Hanya itu!
Pun pula sebelum Trump tiba di depan gereja, para demonstran di tempat itu diusir dengan kekerasan.
Trump benar-benar menggunakan agama—dalam hal ini gedung gereja dan Kitab Suci–hanya sebagai backdrop, latar belakang, untuk menunjukkan bahwa dirinya orang beragama.
Trump berkerudung agama; berjubah agama.
Agama memang memiliki peran strategis dalam mengkonstruksi, dalam memberikan kerangka nilai dan norma dalam membangun struktur negara dan pendisplinan masyarakat.
Tetapi, kerangka dan nilai seperti apa yang hendak ditampilkan oleh Trump, ketika meremehkan kematian massal rakyatnya.
Agama hanya menjadi simbol formal saja, tapi minim instrumentasi nilai dan norma.
Maka itu, tidak berlebihan kalau mantan Menhan James Mattis mengatakan, Trump tidak mencoba menyatukan orang-orang Amerika—bahkan berpura-pura mencoba pun tidak.
Trump justru mencoba memecah belah (The Atlantic, 3/6). Menurut Mattis, Trump mencoba membuat rakyat saling bentrok satu sama lain. “Ini ancaman bagi Konstitusi,” kata Mattis.
Bahasa Politik
Kelle Carter Jackson menulis bahwa sejak awal sejarah AS, kerusuhan dan retorika kekerasan telah menjadi penanda patriotisme.
Karena itu, sejak zaman perjuangan untuk meraih kemerdekaan, semboyan-semboyan yang bernuansa kekerasan sudah digunakan.
Misalnya, “Hidup bebas atau mati”, “Beri aku kekebasan atau kematian”, atau “Perlawanan terhadap para tiran adalah kepatuhan pada Tuhan” bergema hingga kini.
Kekuatan dan kekerasan selalu digunakan sebagai senjata untuk mempertahankan kebebasan.
Apa yang pernah dikatakan John Adams (1735-1826) yang menjadi Presiden AS (1797-1801) merujuk pada perlakuan para penjajah oleh Inggris, bisa menjadi contoh.