Ramadan 2020
Renungan Ramadan 21 - Meraih Keutamaan 10 Hari Terakhir Ramadan
Bahkan menurut Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW beri’tikaf selama 20 malam terakhir pada tahun di mana beliau wafat (HR al-Bukhari dan Muslim).
Penulis: Dewangga Ardhiananta | Editor: Maickel Karundeng
Oleh: Muhbib Abdul Wahab (Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - Ibarat sebuah kompetisi, peserta ibadah Ramadan itu banyak. Semua berlomba-lomba mencapai garis finish, bahkan menjadi pemenangnya. Akan tetapi, peserta kompetisi Ramadan itu tidak sedikit yang 'berguguran' pada babak penyisihan.
Peserta yang berhasil mencapai etape akhir atau babak final, relatif tidak banyak. Di manapun dan kapanpun, babak final sebuah pertandingan pasti pesertanya sedikit, karena telah melalui proses seleksi dan kualifikasi di babak-babak penyisihan.
Ramadan menyisakan sepuluh (10) hari terakhir. Menjelang akhir Ramadhan, perjuagan untuk meraih kemenangan makin 'berat'. Jalan yang dilalui semakin mendaki dan rawan.
Namun, tidak berarti bahwa shaimin dan shaimat (puasawan dan puasawati) tidak bisa mencapai garis finish Ramadhan. Boleh jadi, semua menyelesaikan 29 atau 30 hari berpuasa.
Akan tetapi, tidak semua berahasil meraih keutamaan 10 hari terakhir Ramadan. Shaimin dan shaimat yang berhasil meraih keutamaan dan kemuliaan 10 hari terakhir Ramadan itulah finalis dan pemenang sejati.
Lantas, apa keutamaan 10 hari terakhir Ramadhan yang harus diraih para finalis dan pemenang sejati? Aisyah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW selalu beri’tikaf pada 10 malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Bahkan menurut Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW beri’tikaf selama 20 malam terakhir pada tahun di mana beliau wafat (HR al-Bukhari dan Muslim).
Beri’tikaf atau berdiam diri di dalam masjid dengan niat beribadah kepada Allah SWT secara tekun, merupakan bagian integral dari “paket komplit” kurikulum Ramadan.
Artinya, berpuasa Ramadan tidak lengkap dan tidak afdal tanpa disempurnakan dengan beri’tikaf di masjid, meskipun hanya beberapa waktu lamanya. I’tikaf merupakan sunah muakkadah (sangat dianjurkan) yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah selama 9 kali beliau menjalani ibadah Ramadan.
I’tikaf merupakan ibadah mental spiritual yang sarat keutamaan. Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, selain merupakan bentuk ketaatan hamba, i’tikaf merupakan pendidikan hati dan pikiran untuk membiasakan tekun, khusyuk, fokus dan istikamah dalam beribadah kepada Allah di rumah-Nya Melalui i’tikaf shaimin dan shaimat diajak untuk merasakan nikmatnya “keabadian akhirat” di dalam masjid, sambil merenungi betapa rumah yang ditinggalinya selama ini hanyalah sementara, tidak abadi, dan pasti ditinggalkan.
Tinggal sejenak di rumah Allah merupakan kesempatan emas untuk merajut ketaatan dan kedekatan dengan Allah SWT.
Dengan beri’tikaf di sepuluh terakhir Ramadan, terutama di malam-malam ganjil, shaimin dan shaimat dididik untuk “keluar dari zona nyaman” (rumah tinggalnya) menuju rumah ibadah yang kemungkin akan disinggahinya sebelum diantarkan ke peristirahatan terakhirnya.
Mendekati akhir Ramadan, shaimin dan shaimat penting memfokuskan diri untuk lebih tekun beribadah, dalam rangka meraih kesempurnaan ibadah Ramadhan, khususnya malam lailatul qadar (malam kemuliaan).
Jadi, i’tikaf itu merupakan ibadah spesial yang dapat melejitkan kecerdasan spiritual untuk mencerahkan kehidupan pasca Ramadan secara lebih baik dan meningkat kualitasnya.