Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Denyut Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet: Tim Psikolog Ajari Pasien Lupakan Masa Lalu

Sekira pukul 08.30 WIB, Selasa (5/5/2020), beberapa pasien di lantai 27 Rumah Sakit Darurat (RSD), Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta

Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
(https://twitter.com/jtuvanyx)
Pasien di RSD Wisma Atlet mengikuti senam ringan dipandu tenaga medis. 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Sekira pukul 08.30 WIB, Selasa (5/5/2020), beberapa pasien di lantai 27  Rumah Sakit Darurat (RSD), Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta, sudah berkumpul dekat ruang perawat. Mereka hendak mengikuti game yang diselenggarakan tim psikolog yang bertugas di Wisma Atlet.

WHO Sebut Menlu AS Spekulatif soal Corona

Sebelumnya, melalui pengeras suara yang terdengar ke seluruh lantai, diumumkan tim psikolog akan menemui pasien di lantai 27 untuk memberi layanan game dan konseling. Sekira pukul  09.00, Kapten Didon datang  dan  disambut gembira oleh para pasien.

Kapten Didon (Psikologi TNI AD) dan dua rekannya, Mayor Martin (Psikologi TNI AU) dan Letda Vina (Psikologi TNI AD), memperkenalkan diri sebagai tim psikolog yang bertugas di Wisma Atlet, "Ayo kita membuat lingkaran. Apakah Bapak dan Ibu sudah saling mengenal atau belum? Kalau belum, kita awali dengan mengenalkan diri ya," ajak Kapten Didon.

Pasien kemudian diminta menyebutkan nama secara ekpresif, dan mengatakan apa yang memotivasi ingin segera sembuh dan pulang ke rumah. Ajakan itu langsung disambut pasien secara gembira.

"Saya harus sembuh, harus pulang, anak dan istri menunggu," kata seorang pasien laki-laki. "Saya harus sembuh, harus lebaran di rumah, membuat opor," ujar seorang pasien perempuan.

"Strong!" ujar Kapten Didon sambil mengangkat tinju, diikuti oleh para pasien yang berjumlah 50 orang. Kapten Didon dan rekan-rekannya kemudian mengajak pasien untuk meregangkan otot, mulai dari kaki, jari, leher, dan pundak.

Kemudian pasien diminta memijit tulang di bawah leher menggunakan tangan kanan, dan perut sekitar pusar menggunakan tangan kiri. "Memijat tulang di bawah leher dan pusar untuk memperlancar aliran darah. Jadi Bapak dan Ibu lakukan itu tiap hari ya di kamar masing-masing," katanya.

Permainan dimulai. Martin, anggota tim psikolog memberi latihan konsentrasi kepada para pasien, caranya menghitung jumlah kata ayam dan itik yang ia sebutkan. Ternyata tidak mudah. Semua pasien meleset. Itu artinya tidak konsentrasi.

"Ayam, ayam, itik, ayam, itik, itik, itik, ayam, ayam, ayam, itik, ayam," ulang Martin cepat. Semua pasien mencoba menyebut jumlah kata ayam dan itik yang disebutkan, tapi lagi-lagi meleset.

Prediksi Sri Mulyani Meleset: Pertumbuhan Ekonomi hanya Tumbuh 2,97 Persen

"Itulah kita perlu konsentrasi. Jadi ini melatih konsentrasi kita. Ini ada maknanya," kata Martin.

Kedua psikolog itu kemudian menjelaskan, dalam hidup ini kita tak boleh terjerat oleh masa lalu dan  masa datang yang belum pasti. Manusia perlu konsentrasi pada apa yang dihadapi, tanpa terganggu  masa lalu dan masa datang yang belum jelas.

"Jadi apa yang dipikrian Bapak dan Ibu selama dirawat di Wisma Atlet harus konsentrasi pada satu hal, yaitu sembuh. Untuk segera sembuh, konsen pada apa yang dikatakan dokter dan perawat, makan banyak, olahraga dan istirahat  cukup. Jangan memikirkan masa lalu, mengapa saya bisa sampai ke Wisma Atlet. Juga jangan memikirkan bagaimana nanti setelah keluar dari sini,” katanya.

Setelah memberi penjelasan yang gamblang, teknik melatih konsentrasi dilanjutkan. Teknik yang diajarkan oleh tim psikolog itu cukup sederhana, tapi dampaknya bisa langsung melatih pikiran untuk konsentrasi.

Misalnya, instruktur menyerukan ,"Jalan," dan pasien harus melangkah. Kemudian berseru,"Stop," pasien pun berhenti. Kemudian di balik, yaitu ketika instruktur menyerukan,"Jalan," pasien diminta  berhenti.  Awalnya banyak pasien keliru,  namun lama-lama akhirnya terlatih.

Menjadi instruktur dalam konseling bagi Kapten Didon sudah hal biasa, karena memang sudah jadi pekerjaannya. Namun saat mendapat tugas di Wisma Atlet, sebagai manusia, terselip perasaan khawatir.

"Saya bertugas di Papua selama 18 bulan, tidak sekhawatir saat mendapat tugas ke sini. Kan di Wisma Atlet  ini tak jelas, yang kita hadapi mahluk  tidak kelihatan." katanya. Menurut Didon,  alumni Fakultas Psikologi Unisba dan magister di  UI,  para petugas punya masalah yang sama dengan pasien.

Didon bergabung bersama psikolog dari TNI AL, AU, Polri, warga sipil serta relawan. Psikolog yang bertugas di Wisma Atlet berjumlah 11 orang. Mereka berrtugas dari pukul 08.00 sampai pukul 20.00 secara bergantian.

Sejarah Masjid Lautze Bernuansa Klenteng: 1.531 Orang Etnis Tionghoa Jadi Mualaf

"Tapi sering juga di atas pukul 20.00 kami stanby, karena harus mendampingi pasien secara khusus atau personal," katanya, sambil menyebutkan ia baru saja mendatangi pasien secara personal karena perlu didengar keluhannya.

Selain kerap mendengarkan keluhan alias curhat para pasien,  ia juga menangani keluhan tim medis. Apa yang dirasakan  tenaga medis itu bisa dibilang lebih berat, karena selain nyawanya terancam dan memendam kerinduan pada keluarga, juga sering mendapat complain dari pasien yang kuran sabar.

"Tenaga medis itu pelaksana, bukan penentu kebijakan. MIsalnya dalam soal peraturan, kan awalnya kalau sekali swab hasilnya negatif, boleh pulang. Lalu berubah, boleh pulang kalau swabnya dua kali negatif. Nah tenaga medis hanya melaksanakan aturan, bukan yang membuat. Tapi pasien komplain dan ngeluhnya ke dokter dan perawat," katanya.  (cep)  

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved